Kamis, 15 Januari 2009

Televisi dan Anak

Pagi tadi aku menghadiri undangan ke sekolah Shasa. Acaranya : penyampaian hasil tes IQ anak dan konsultasi dengan psikolog. Dari kemarin Shasa udah wanti-wanti padaku agar aku jangan sampai gak datang. So, setelah ijin pada boss, aku berangkat ke sekolah Shasa jam 08.15 WIB.

Sampai di sekolah Shasa ternyata belum banyak wali murid yang datang. Tak lama menunggu, aku beserta wali murid yang lain dipersilahkan menandatangani daftar hadir. Setelah menerima hasil tes IQ anak kami, akhirnya kami memasuki ruang yang disediakan.

Hasil tes IQ Shasa gak mengecewakan. Tes IQ memang membantuku untuk lebih memahami kelebihan dan kekurangan Shasa, tapi aku gak akan menjadikan hasil tes IQ itu sebagai satu-satunya peganganku dalam menentukan masa depan Shasa. Karena IQ anak masih bisa berkembang dan IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang di masa depannya nanti (menurutku siy...).

Ternyata acara "konsultasi" yang ditulis di undangan bukanlah konsultasi dalam arti yang sebenarnya. Yang benar adalah sang psikolog menyampaikan materi yang menyangkut tumbuh kembang anak beserta tips menjadi orang tua yang "benar" untuk anak-anak.

Mengingat tema yang dibahas tidak jauh dari prestasi anak di sekolah, maka topik yang hangat dibicarakan oleh sang psikolog adalah mengenai cara-cara belajar anak. Disampaikan oleh sang Psikolog, bahwa agar anak bisa tumbuh kesadaran belajar adalah dengan menetapkan jadwal belajar bagi anak. Dan jadwal itu harus disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Sehingga jangan sampai ada anggota keluarga yang nyetel televisi di saat si anak sedang belajar. Dicontohkan juga bahwa ada 2 kelurahan di Yogyakarta yang telah berhasil menetapkan jam belajar bagi seluruh warganya. Pada saat jam belajar, semua warga dilarang menyalakan televisi dan apabila ada yang melanggar akan dikenakan sangsi. Hebat ya...?

Kemudian di ujung acara diadakan dialog. Sayangnya, sisa waktu untuk dialog sangat singkat. Yang menarik ada seorang bapak yang curhat bahwa dia sulit sekali melepaskan televisi dari anak-anaknya. Menanggapi curhat bapak tadi, ada seorang ibu yang menceritakan pengalaman pribadinya tentang "keberhasilannya" melepaskan anak dari televisi. Diceritakannya bahwa sudah selama 1 tahun ini televisi di rumahnya hanya dinyalakan pada hari Sabtu siang sampai Minggu siang. Selebihnya televisi dimatikan. Dan untuk memenuhi kebutuhan sang suami akan berita, maka diputuskan berlangganan surat kabar.

Wow..., sudah sangat bahayakah televisi di mata ibu itu sehingga dia mengambil sikap yang (menurutku) sangat ekstrim itu. Memang banyak "bahaya" yang datang dari tayangan televisi bagi anak-anak. Apalagi sinetron, infotainmen dan berita kriminalitas yang makin gak terkendali di televisi kita. Tapi menurutku (lagi), masih ada acara televisi yang layak untuk ditonton. Masih ada acara televisi yang bisa diambil nilai positifnya.

Ada acara televisi yang mampu menumbuhkan jiwa sosial dan solidaritas pada anak. Anak mungkin tidak akan tahu bagaimana sedihnya orang-orang yang tertimba bencana. Anak-anak mungkin tidak akan tahu bagaimana bahagianya seseorang yang menerima pertolongan di saat yang sangat sulit. Anak-anak juga mungkin tidak akan tahu bagaimana sulitnya seseorang berjuang mencari nafkah dan sebagainya. Tapi ada acara televisi yang merekam semua kejadian itu. Anak-anak bisa melihat sendiri melalui televisi. Walau mereka tidak mengalami sendiri, tapi saya yakin dengan melihat melalui tayangan televisi anak-anak bisa ikut merasakan. Anak-anak bisa ikut berempati.

Ada juga acara televisi yang menyuguhkan acara yang bersifat pengetahuan. Contohnya : cerdas cermat dan sejenisnya. Atau acara yang menampilkan flora dan fauna. Ada juga acara televisi yang mampu menumbuhkan inspirasi karena menyajikan informasi-informasi yang disampaikannya mampu menggugah semangat hidup orang lain / penontonnya.

Walau tidak banyak, ada juga film kartun yang layak untuk ditonton anak-anak. Sayangnya, tayangan-tayangan yang masih bersifat mendidik itu tidak semuanya ditayangkan pada hari Sabtu siang sampai Minggu siang! Trus, bagaimana dengan anak yang dibebaskan nonton televisi hanya pada hari Sabtu siang sampai Minggu siang itu? Berarti semua acara yang "disediakan" pada saat hari "bebas nonton televisi" itu bisa dinikmati tanpa pengecualian? Lantas, apakah efek negatif televisi dapat dibendung dengan sikap seperti itu?

Jadi semuanya tergantung pada kita selaku orang tua. Bagaimana kita mampu memilihkan acara yang tepat bagi anak-anak. Menjadi tugas orang tua untuk menentukan layak dan tidaknya suatu acara televisi ditonton oleh anak-anak. Dan yang penting adalah pendampingan dari orang tuanya agar anak bisa menangkap dengan benar apa yang sedang mereka lihat di televisi.

Mungkin ada orang tua yang mencoba memberikan buku sebagai pengganti televisi. Memang melalui buku seorang anak akan mendapat banyak "ilmu". Tapi bagaimana dengan anak yang gak suka membaca? Darimana anak-anak yang gak hobby baca ini akan mendapatkan 'ilmu'?

Tapi satu hal yang harus diakui, bahwa efek membaca dan melihat jauh berbeda. Seorang anak yang membaca berita tsunami hanya bisa membayangkan betapa dahsyatnya tsunami. Tapi bila seorang anak melihat sendiri (melalui televisi) tentang tsunami akan betul-betul mengetahui betapa dahsyatnya penderitaan masyarakatnya.

Bagaimanapun juga, jangan sampai anak-anak tidak memiliki wawasan yang luas tentang kehidupan ini. "Over protective" yang diberikan orang tua pada anak di usia dini, sangat mungkin akan membuat anak "tersesat" saat mereka mulai terjun langsung dalam masyarakat.

Itu semua menurut aku. Bagaimana menurut anda semua?

2 komentar:

  1. Ya benar mbak ..
    Acara Tv ada juga yang bagus untuk pendidikan anak ..
    Namun baiknya memang di dampingi. Sehingga setiap pertanyaan anak ataupun hal hal yang perlu diluruskan, bisa diberikan tanpa harus membiarkan mereka dengan pola fikir yang belum tentu benar.

    Cuman jaman saiki .. sinetronnya kok ya ndak mendidik ya?
    Cara bergaul yang bebas, gaya en fashion .. tutur kata yang lepas .. anak anak terlalu cepat dewasa sebelum waktunya.

    Saya jadi banyak belajar, dengan teman teman yang suka cerita soal itu ..
    Apalagi tidak selamanya orang tua bisa mendampingi anaknya menonton acara TV ..

    *masih perlu pencerahan nich*

    BalasHapus
  2. Di rumah aku juga gak pernah nonton sinetron. Tapi kalau pas lihat berita yang tentang bencana alam, investigasi tentang makanan-2 berbahaya dsb..., Shasa aku panggil utk ikut lihat dan aku beri tambahan penjelasan seputar hal itu.
    Syukur banget, waktu Madiun - Ngawi dan sekitarnya terendam banjir tahun lalu, Shasa ikut tergerak untuk menyiapkan paket yang akan kami kirim ke posko-2 bantuan bencana yang banyak terdapat di Kota Madiun.
    Melatih kepekaan anak sejak dini, mbak. Pelan-pelan sih....
    Tapi ternyata di antara sekian banyak dampak buruk televisi, aku masih menemuka hal positif yang dapat aku ambil dari televisi.
    Aku juga masih butuh pencrahan lagi kok. :)

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)