Selasa, 17 Februari 2009

Mbah Cokro


Gambar diambil dari sini

Mbah Cokro adalah seorang wanita renta yang hidup sendiri di hari tuanya. Dia tipikal orang Jawa, yang masih setia dengan baju kebaya dan kain panjang (baca: jarit) meskipun di rumah. Rambut tipisnya selalu digelung di atas kepalanya.

Aku mengenal Mbah Cokro saat dia sudah uzur dimakan usia. Kulitnya sudah keriput semua. Tubuh kecilnya yang bongkok semakin menunjukkan kerapuhan dirinya. Ditambah lagi pandangan matanya yang sudah makin tidak awas dan pendengarannya yang semakin samar-samar. Semua itu semakin menguatkan tanda bahwa dirinya sudah sangat renta.


Gambar di atas diambil dari sini

Sehari-hari Mbah Cokro yang tak memiliki keturunan ini hanya ditemani oleh seorang cucu keponakan. Setelah melakukan aktivitas harian ala kadarnya (membersihkan rumah dan memasak), maka praktis keseharian Mbah Cokro hanya dihabiskan dengan duduk di kursi depan. Yang aku amati, tak banyak yang dilakukan Mbah Cokro dalam duduknya itu, kecuali duduk dalam diam sambil makan sirih.

Ketika sang cucu keponakan sedang pergi, maka tak ada lagi orang yang ada di rumah itu yang bisa diajaknya berkomunikasi. Sementara tetangga-tetangganya juga tidak selalu bisa menyempatkan waktu untuk sekedar menemaninya. Karena untuk berkomunikasi dengan Mbah Cokro juga harus dengan teriak-teriak agar dia mendengar. Dan, yang berbicara juga harus sangat dekat dengannya agar dia bisa mengenali wajahnya. Hmmm... repot memang.


Gambar diambil dari sini

Karena kondisi yang serba tidak mudah itulah, maka keseharian Mbah Cokro lebih banyak dihabiskan dengan duduk di kursi depan rumahnya. Seringkali aku merasa kasihan melihatnya. Aku jadi berpikir, apa yang kira-kira dirasakan Mbah Cokro dalam kesendiriannya ya ? Apakah dia merasa kesepian ? Apa yang ada dalam pikiran Mbah Cokro ketika dia tenggelam dalam duduknya ?

Tubuh ringkihnya membuatnya tak bisa leluasa bergerak kemana-mana. Di usianya yang sudah sangat lanjutpun, aku rasa hanya sedikit teman-teman seusianya yang masih ada. Kalaupun Mbah Cokro masih punya teman, sama seperti dirinya, teman-temannya itupun pasti sudah tak leluasa pergi kemana-mana sendiri. Jadi bisa dikatakan, Mbah Cokro hidup dalam dunianya sendiri... yang sepi !! Ah, andai saja Mbah Cokro bisa menceritakan semua perasaan dan pikirannya kepadaku.

Diam-diam dalam hati aku merasakan ketakutan. Aku tak ingin melewatkan hari tua seperti Mbah Cokro. Tak punya siapa-siapa dan tak berdaya apa-apa. Aku tak bisa membayangkan betapa hampanya hari tua jika tak ada orang yang bisa diajak berbagi rasa dan berbagi cerita. Ih.... pasti sedih sekali.


Gambar diambil dari sini

Maka, kadang aku hanya bisa duduk menemaninya tanpa banyak kata. Aku hanya mencoba mencari tahu apa yang tersimpan dalam hatinya maupun benaknya. Tapi yang kurasakan memang hanya kehampaan. Serasa hidup tak lagi punya warna. Sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk menghadap padaNya. Apa dia merasakan bahagia diberi umur panjang tapi dalam kesepian dan kehampaan?

Aku jadi teringat dengan seremonial ulang tahun. Setiap orang pasti mendoakan agar panjang umur. Tapi.., tak seorangpun membayangkan bahwa tak selamanya panjang umur bisa memberikan kebahagiaan. Bagaimanapun juga umur yang semakin menua justru membuat kemampuan yang ada makin menurun semua. Kalau dikaruniai panjang umur tapi justru terperangkap dalam sunyi, lantas buat apa?

Beberapa hari yang lalu aku mendengar berita tentang seseorang yang bisa hidup mencapai umur lebih dari 100 tahun! Oh My God..., semoga aja hidupnya tak sehampa Mbah Cokro. Karena teman-teman seusianya pasti sudah tak ada yang tersisa. Orang-orang yang masih bisa diajaknya berbincang saat ini hadir dari jaman yang berbeda. Mungkin pemikiran mereka sudah tak sejalan lagi dengannya. Dia juga tak lagi bisa mengunjungi teman-temannya karena mereka sudah tak ada semua. Jadi, tinggal kerabat dan tetangga dekat saja yang bisa menemaninya. Jadi, sekali lagi aku merasa bahwa bagaimanapun juga ada rasa hampa dan sepi yang hadir dalam hatinya.

Sampai sekarang pun aku belum tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan Mbah Cokro dalam duduk diamnya itu. Aku tak sempat menanyakan hal itu padanya, karena dia telah memenuhi panggilan-Nya. Sekarang aku hanya bisa berharap agar di tampat barunya Mbah Cokro bisa merasakan bahagia tanpa harus merasakan kesepian dan kesendirian lagi.

Yang tersisa kini hanya bayangan muram kesendirian di kursi Mbah Cokro....

5 komentar:

  1. Oo .. Mbak Cokro, andai masih ada, aku jadikan nenekku ..
    *hiks hiks .. nenekku dua duanya sudah meninggal *kesepian mode on*

    BalasHapus
  2. @kuyus : aku sendiri juga dah ga punya nenek, mbak. Tapi dari piahk suami, masih ada seorang nenek yang "tersisa". Jadi Shasa masih punya "nenek buyut" sekarang.

    BalasHapus
  3. jadi teringat nenek dari ayahku yg sekarang dah tua, beliau kerjaanya cuman duduk dan tiduran di kursi kesayanganya yg dibeliin ibuku :(

    BalasHapus
  4. udah gak punya kakek dan nenek lagi hiks
    ehm jadi inget buleknya papa udah sepuh juga, wen manggilnya eyang. beliaunya kmaren sambat sama papa sambil nangis, beliau tinggal sendiri, sedang sakit gak ada yg ngurus,anak2nya gak ada eh entah gak mau atau gimana juga gak ngerti gak meduliin si eyang inih, padahal salah satu anaknya tinggal satu kota dgn beliau ehm jadi miris dengernya mbak:(

    BalasHapus
  5. @aRai : Aktifits orang yg sudah tua memang jauh menurun, tapi yg kita gak tahu apakah masih ada keinginan di hati mereka utk melakukan suatu kegiatan yg bisa membantu mereka melupakan rasa bosan.

    @wendy : semgoa aja saat kita tua kelak kita tak akan merasakan hidup dalam kesepian dan kesendirian seperti itu, ya mbak.

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)