Selasa, 23 Juni 2009

Berselimut kecewa

>Minggu pagi ketika aku sedang menyapu di depan rumah, aku melihat seseorang yang aku kenal di ujung jalan. Bu Gito namanya. Dia adalah penjual nasi pecel yang berkeliling dengan membawa sepeda. Setiap pagi dia selalu lewat di kompleks perumahanku untuk menjajakan nasi pecelnya. Sebenarnya, penjual nasi pecel keliling di kompleks perumahanku ada 2 orang, tapi aku dan keluarga lebih suka dengan pecel yang dijual Bu Gito.

Biasanya Bu Gito lewat di depan rumahku kurang lebih pukul 06.30 pagi, sayangnya pada jam-jam itu aku dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju tempat kami masing-masing beraktivitas. Sehingga hanya pada hari Sabtu dan Minggu saja biasanya aku dapat bertemu dengan Bu Gito. Bahkan dulu, hampir setiap Sabtu dan Minggu pagi kami sekeluarga sering membeli pecel pada Bu Gito, tapi semenjak hampir setengah tahun ini kebiasaan itu sudah tidak ada lagi. Semenjak Bu Gito selalu berusaha menghindar dariku.

Seperti yang aku duga, pada Minggu pagi itu Bu Gito kembali menghindar dariku. Meskipun aku yakin dia tadi melihatku sedang menyapu di depan rumah, ternyata dia memilih untuk berbelok ke gang yang ada di ujung jalan. Terhadap kenyataan ini, perasaan yang paling dominan aku rasakan adalah .... kekecewaan.

Sebenarnya semua berawal dari suatu permohonan yang disampaikan Bu Gito padaku, di suatu Sabtu pagi kurang lebih 6 bulan yang lalu. Setelah dia melayani pesanan nasi pecelku, dia menyampaikan permintaan hendak meminjam uang padaku. Uang yang ingin dipinjamnya tidak banyak sebenarnya, tapi dia mengatakan dia sedang sangat membutuhkannya. Saat itu dia berjanji untuk segera mengembalikan di awal bulan berikutnya setelah uang arisannya keluar. Akhirnya, aku mengambil uang untuk membayar nasi pecel yang kubeli sekaligus untuk memberikan pinjaman uang untuknya.

Ternyata, pada hari yang ditentukan, Bu Gito tidak muncul di rumahku untuk menepati janjinya. Dia juga tak tampak lagi lewat di depan rumahku, atau mungkin aku saja yang tidak tahu dia lewat, karena setiap Senin sampai Jumat aku sudah berangkat ke kantor pagi-pagi. Tapi ternyata, pada hari Sabtu dan Minggu pun dia tak tampak lewat di depan rumahku.

Baru kurang lebih 3 minggu kemudian aku melihat Bu Gito lewat di depan rumahku. Kebetulan aku melihatnya, maka aku memanggilnya. Bukan untuk menagih hutangnya, tapi untuk membeli nasi pecel seperti biasa. Pada saat itulah Bu Gito berkata padaku bahwa uang yang akan dibayarkan padaku terpaksa terpakai untuk keperluan lain. Selain itu Bu Gito juga menceritakan kepadaku bahwa hutangnya kepada tetanggaku yang lain (Bu Anna) juga belum bisa dilunasinya.

Itulah komunikasi terakhirku dengan Bu Gito, karena setelah hari itu aku tak pernah lagi melihatnya. Kalaupun dia berjualan di kompleks perumahanku, seperti kejadian Minggu pagi itu, dia akan berbalik arah ketika melihatku. Dia akan berusaha untuk menghindar dariku.

Terus terang aku kecewa dengan sikapnya. Aku tak hendak mempersoalkan uang yang dipinjamnya dariku, namun yang membuatku kecewa adalah sikapnya yang tidak berterus terang dan sembunyi-sembunyi dariku. Seandainya saja pada hari yang telah dijanjikannya untuk membayar hutang padaku itu dia datang dan menjelaskan kerepotannya, aku malah akan dengan senang hati membantunya. Sayang sekali, justru pada hari itu dia tak datang dan tidak memberikan penjelasan apa-apa ataupun untuk minta maaf.

Pada pertemuan terakhirku dengan Bu Gito itupun tidak ada kata maaf yang diucapkannya karena tak sanggup menepati janjinya. Dia malah lebih sibuk menceritakan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya seolah mencari pemakluman dariku atas ketidakmampuannya melunasi hutang pada saat yang telah dijanjikannya.

Sebenarnya setelah pertemuan terakhirku dengannya, aku sudah mengikhlaskan uang itu. Aku tidak berharap bahwa uang itu akan kembali. Namun, ternyata Bu Gito masih saja dengan sengaja menghindar dariku dan aku tak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Yang aku sayangkan, gara-gara hutang piutang, suatu hubungan yang dulunya telah terjalin baik menjadi rusak. Sudah banyak contoh kasusnya, malah ada yang persaudaraannya menjadi berantakan. Pihak yang memberikan hutang seringkali serba salah dalam menagih uangnya kepada saudara sendiri. Pihak yang berhutang seringkali merasa sakit hati kalau terus-menerus ditagih. Akhirnya..., kedua belah pihak memilih saling menjauh... dan hubungan persaudaraan jadi terputus.

Meskipun aku sudah tak menghrapkan uang itu kembali, tapi aku masih diselimuti rasa kecewa dengan sikapnya yang tidak mau jujur dan terbuka. Salahkah aku memiliki perasaan seperti itu... ? Bagaimana menurutmu, kawan?

*) Keterangan : gambar diambil dari sini

24 komentar:

  1. kalo boleh mau bikin kapling dulu mumpung PERTAMAXXXX

    BalasHapus
  2. hhmmm...sudah mengihlaskan itu sikap yang terpuji, nah klo soal perasaan kecewa saya kira tuh wajar. yang ga wajar adalah kenapa sekarang jadi susah nyari nasi pecel yah?? kemana lagih ku harus beli nasi pecel klo bu gito ga lewat?

    BalasHapus
  3. Benar mbak...kadang2 kita merasa kecewa jika janji seorang pada kita tidak ditepati...

    BalasHapus
  4. gara gara uang mslh timbul lagi. yahh ikhlas aja n mungkin bener kata mbak. kalo kejujuran sbnrnya hal yg paling penting wlpn susah mudah tuk melakukannya.
    btw pecel madiun aku mau donk....

    BalasHapus
  5. Seperti biasa, soal2 begini memang selalu mewarnai kehidupan sosial kita. Ga salah kalo mbak Reni merasa kecewa. Memang yg terbaik adalah ikhlas aja mbak, ikhlas duitnya dan ikhlas ga makan pecelnya bu Gito. Yg lebih susah lagi adalah org yg menjadikan berhutang (dan tidak membayar) itu sebuah kebiasaan. Mau dikasih kok ya kasian, mau dikasih kok kita lantas dijadikan sinterklas terus menerus. Bingung ya? Kalo sdh yg parah kayak gini, malah aku yg menghindar. hehehe...

    BalasHapus
  6. semua orang pasti kecewa mbak kalau di gituin. kita ngasih pinjaman gampang, tapi baliknya susah, dan yang paling bikin kecewa, sudah nggak bayar hutang, eh malah menghindar nggak ada omongan n permintaan maaf.

    BalasHapus
  7. memang ada kalanya orang yang kita bantu bersikap demikian membuat kita kecewa... tetapi terkadang orang seperti bu gito itu takut untuk mengutarakan ketidak mampuannya membayar hutang.. jadinya kata2 yang keluar adalah hanya kesulitan yg ia alami berharap ibu reni mengerti...
    walau apapun alasannya jika bu gito itu punya niat baik pasti gak akan menghindari ibu reni dengan cara seperti itu...

    ya sabar aja ya bu.... maaf nih jadi panjang deh ;)

    BalasHapus
  8. gara2 uang silaturahmi pecah, hiks!

    eniwei, berdoa dan selalu tersenyum aja mbak, supaya hati kita gak diselimuti kekecewaan terus ;)

    BalasHapus
  9. wah gimana ya mba, saya juga ada dalam masalah ini sih, yang punya utang pura2 lupa,

    kalau utang dianjurkan untuk di tagih mba, tapi kalau direlain ya lebih oke.

    BalasHapus
  10. masya alloh....moga kita bisa selalu ikhlas ya mbak...karena kalo udah iklas keknya nggak ada kata kecewa...heheehhehe

    BalasHapus
  11. memang aling menyebalkan dengan orang yang sudah kita bantu namun dia memberikan sikap tidak jujur.

    ambil hikmahnya aja mbak reni

    BalasHapus
  12. Ya ikhlasnya mbak Reni ini sudah indah, tidak usah dipikir lagi mbak. Semoga ada penjual pecel yang lain, muncul pagi2 di halaman mbak Reni.

    BalasHapus
  13. Kecewa ya wajar, mbak reni, yang penting jangan sampai terlalu bikin hati kita gundah. Memang begitu sikap sebagian orang yang gak mau mengaku salah, bukannya minta maaf malah main kucing-kucingan.

    BalasHapus
  14. saya juga sering mengalami hal yang sama mbak..
    akhirnya saya ikhlaskan aja..
    kalo yg ngutang ga mau diajak ngobrol atau menghindar ya udah..
    kan masih banyak yg lain..
    yg penting kita udah berbuat kebaikan..

    BalasHapus
  15. Kecerdasan emosional orang beda2.
    Seperti bu. Gito tadi, dia blm bisa berpikir seperti yang bu reni pikirkan, pas jatuh tempo, blm ada uang lalu bicara terus terang, itu yg belum bisa.
    Memang kebanyakan (maaf) mental orang desa. Itu yg saya perhatikan dari dulu.
    May be bedanya orang yang berpendidikan dan yang tidak bisa tercermin dari situ ya:)
    Namun jika menemui situasi seperti itu baiknya ikhlaskan dan maklumkanlah, dan bersyukur atas kondisi kita sekarang yang lebih baik dari orang tsb.
    Insya allah itu lebih mendamaikan hati kita.

    Terima kasih

    BalasHapus
  16. Ibu gito tidak memiliki keberanian seperti yang kita harapkan. Sebaiknya tak perlu kecewa mbak. Toh tak semua orang memiliki cara berfikir seperti kita. Mungkin Ibu Gito malu, atau merasa tak enak hati. Jadi begitulah cara Ibu Gito sementara *diharapkan* menjaga hatinya agar lebih tenang.

    Kadang yang terbaik menurut ibu gito, tentu belum tentu baik untuk orang lain. Namun tak apalah ..
    Seng penting niat baik mbak, sudah dicatat sebagai satu kebaikan yang tak pernah bisa digantikan.

    Semoga ibu gito bisa melihat keihklasan mbak reni, sehingga tak perlu merasa sungkan untuk berterus terang . ^.^

    tetap semangat

    BalasHapus
  17. wah aku sering ketemu dengan org seperti itu mba
    bahkan sepertinya mereka dengan sengaja melupakan sesuatu kewajibannya terhadapku yaitu "meminta maaf"
    ya sudahlah
    toh yg sengsara mereka sendiri
    untuk selanjutnya aku tidak mempercayai mereka

    BalasHapus
  18. wajar kalo mbak kecewa..sebenarnya mbak mungkin ga terlalu mengharap uang itu dikembalikan, tapi mungkin kecewa karena janji yang nggak ditepati. ikhlaskan aja mbak, mungkin memang dia sedang kesusahan sekarang, siapa tau lain waktu dikembalikan.

    BalasHapus
  19. Sebagai manusia, apa yang dirasakan mbak itu memang wajar kok... niat yang baik... belum tentu akan dibalas juga dengan kebaikan... namun yang utama... meski kecewa, mbak pasti akan menerima dengan tangan terbuka bila suatu saat Bu Gito kembali ke embak dengan permintaan maaf dan mau berusaha memperbaiki hubungan yang sudah koyak... salam terkasih dari seorang sahabat...

    BalasHapus
  20. SALAM SOBAT,,wah jadi kangen pecel nich,,baca artikelnya mba,,,salam buat bu GITO ya,,dr ALJUBAIL.S.A

    BalasHapus
  21. kangen ma ibu gito bunda. ;) pecel2... madiun mau dunk

    BalasHapus
  22. @trimatra : itulah.., aku jadi repot kalau pengen makan pecel pagi-2 hehe
    @dinoe : seperti itulah yg aku rasakan..
    @dunia polar : mau pecel ? Ke Madiun aja...
    @fanda : persis mbak.. malah kita jadi yang serba salah.
    @jimox : itulah.., sampai sekarang dia terus menghindariku.
    @voila : sepertinya memang aku dilatih utk lebih sabar dan ikhlas ya?
    @penikmat buku : ya, awalnya niat baik utk membantu sesama, tapi kenapa silaturahmi jadi retak ya?
    @jonk : aku gak ada niat utk nagih nih Jonk..
    @buwel : sepertinya emang kudu lebih ikhlas lagi ya ?
    @JengSri : sedang berusaha JengSri,, ^_^
    @newsoul : aku masih menunggu datangnya penjual nasi pecel yg lain mbak.
    @eha : sedang mengontrol rasa kecewa agar gak keterusan, mbak...
    @budiawan : bener juga ya, Bang.
    @agoez3 : bisa jadi emang begitu ya..?
    @kuyus : okelah.., yang penting niat kita aja ya, mbak ?
    @attayaya : emang sulit utk membangun kepercayaan lagi..
    @henny : iya deh... Setuju..
    @cahyadi : Semoga saat itu terjadi ya ?
    @nura : wah, salamnya gak bisa disampaikan karena gak pernah ketemu bu Gito lagi..
    @awal sholeh : suka pecel juga to ?

    BalasHapus
  23. Mbak, banyak kejadian kayak gini. Uang tidak mengenal saudara mungkin, niat mengikhlaskan semasa hendak meminjamkan adalah lebih baik. Supaya kita tidak berharap untuk kembali tuh duit. Kalau rizki yah syukur alhamdulilah uang itu akan di bayar.

    Tapi, kalau kayak gini khan malah jadi kesel. Saya juga sering mbak hehehe... Semoga dengan berbagi mbak Reni merasa lebih tenang :) dan Allah, akan memberikan penggantinya tanpa di sangka-sangka. Wallahu'alam

    BalasHapus
  24. @anazkia : memang sih.., setelah bisa mengeluarkan uneg-uneg jadi lebih lega... Makasih ya..

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)