Kamis, 14 Oktober 2010

Ironi sang peminta-minta

Aku hampir selalu menjumpainya di sebuah perempatan jalan yang sama. Dia selalu tampil dengan setelan kaos plus celana pendeknya. Rambut keritingnya yang pendek selalu awut-awutan, tak tersisir. Tanpa bicara dia akan mengacungkan kaleng kepada pengendara kendaraan roda 2 dan roda 4, minta sekedar uang receh.

Setiap orang akan mudah untuk mengingatnya karena penampilan fisiknya. Tinggi tubuhnya kurang lebih 145 cm. Dari mimik mukanya dan cara berjalannya terkesan bahwa dia penderita retardasi mental (keterbelakangan mental). Meskipun sekilas dia tak lebih dari anak-anak, tapi aku yakin bahwa dia sudah cukup berumur.

Setiap bertemu dengannya, aku selalu berusaha memberi sekedar uang padanya. Entah mengapa, selalu ada rasa tak tega setiap kali aku memandangnya. Sebenarnya baju-baju yang dipakainya selalu tampak bersih, meski tak lagi baru. Kulitnya pun bersih dan tak legam meski selalu terpanggang panas matahari. Hanya karena rambutnya yang selalu awut-awutan sehingga mengesankan dia 'dekil'.

Suatu kali, sewaktu aku belanja di sebuah toko yang tak jauh dari tempatnya 'mangkal' sebagai peminta-minta, aku dapat informasi yang mengejutkan. Sewaktu pemilik toko melihatku sedang mengawasi sang peminta-minta itu, dia bercerita padaku. Kata pemilik toko, sang peminta-minta itu setiap hari selalu datang ke tokonya untuk menukarkan uang receh yang didapatnya. Kata pemilik toko itu lagi, sang peminta-minta itu  bisa menukarkan uang sebanyak Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 setiap harinya. Aku tercengang juga mendengarnya. Ternyata pendapatan peminta-minta itu besar juga.

Kemudian, suatu hari aku melihat lagi sang peminta-minta itu. Kali ini aku melihatnya sedang naik becak menuju tempatnya 'mangkal' sebagai peminta-minta. Aku takjub juga, karena ternyata dia mampu membayar becak yang (relatif) lebih mahal daripada naik angkutan kota. Aku pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Yang terbaru adalah kejadian pada hari Minggu yang lalu. Saat aku sedang belanja di Hypermart, aku melihatnya sedang belanja di sana juga. Dia tetap tampil dengan busana yang sama, setelan kaos dan celana pendek. Aku hanya bisa bengong menyaksikannya melenggang dengan santainya sambil membawa tas belanjaannya. Suamiku yang melihatku 'shock' malah mentertawakan aku.

Aku benar-benar dihadapkan pada ironi dari sang peminta-minta. Orang yang kuanggap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan, ternyata hidup dalam kecukupan. Lantas.., masih perlukah kita memberinya sedekah..?

19 komentar:

  1. ya kadang sering kita jumpai hal semacam itu. Mkanya aku lebih seneng (ihklas) memberikan sedekahku pada orang yang lanjut usia. Karna saat usia itulah "dia" tak mampu untuk bekerja.
    Makanya dia jadi seorang peminta.

    BalasHapus
  2. 200 - 300 ribu setiap hari? wah, kalau sebulan hasilnya lumayan sekali...

    BalasHapus
  3. gubraakk.. si peminta-minta ternyata penghasilannya bisa nyampe 200.000 O.o sebulan bisa berapa tuhh

    BalasHapus
  4. weh, ati-ati bu. ada peraturan yang ga boleh ngasi uang ke pengemis pinggir jalan lho. mending disalurkan ke badan resmi bu. cmiiw.

    BalasHapus
  5. pernah ada wawancara terhadap pengemis, ternyata penghasilannya melebihi pegawai negeri sipil pada umumnya.. sungguh ironis..

    BalasHapus
  6. iya ya... tulisan ni bener2 jadi cerminan deyh... follow nd komen balik yax!

    BalasHapus
  7. wah aneh juga tuh, aku jadi bingung juga mba ....

    BalasHapus
  8. pengemis jadi-jadian tuh mbak...
    kunjungan malam...dah lama sekali saya gak main ke sini... kangen sekali rasanya..

    BalasHapus
  9. IRONIS ,,,,

    kembali berkunjung mbak ,,,, ^_^

    BalasHapus
  10. ada lho mbak, juragan peminta-minta di Sby. dengan bangga dia pamer mobil CRV nya dari hasil minta2 sewaktu diwawancara oleh koran lokal...
    kok bangga ya?

    BalasHapus
  11. Berarti memang benar yah dulu aku pernah diberitahu salahsatu pegawai BNI kalau bbrp peminta-minta itu pendapatannya lebih dari pegawai kantoran. Huh... males banget sih

    BalasHapus
  12. wkwkwkwkwk..........ternyata ada juga ya..............


    tapi kalo dihitung-hitung gedean dia dunk pendapatannya sebulan dibandingkan saya!?!?!?!?

    BalasHapus
  13. Ironis memang Mbak..
    Barangkali ada yang lebih dia butuhkan, selain menyedekahinya duwit. Butuh sedekah saran. Butuh ada yang mengingatkan;

    BalasHapus
  14. ada iklan layanan masyarakat diperempatan jalan2 di jogja, kalimatnya "jangan memberi uang pada para peminta".

    lha gimana wong mereka kalo lagi nyantai sering mian ponsel berukuran layar lebar sekelas berry

    BalasHapus
  15. Sekarang mengemis pun merupakan sebuah profesi ya mbak :)

    BalasHapus
  16. Pagi Mb..ya terkadang kita sulit untuk menghadapi hal ini ya mb...siapa yang benar2 butuh pertolongan dan siapa yang seharusnya tidak kita berikan.
    Karna topeng dari itu kita tidak tau...begitu pintarnya seseorang untuk mendapatkan uang yang tidak perlu bercapek2 atau berlama-lama.

    BalasHapus
  17. waah ndak bgs banget ya, tu orang malas bekerja maunya minta2 tok.. iya lbh baik memberi pada orang yang sepuh ato yang cacat fisiknya. kalo orang spt crt diatas,eman2 he..he..

    BalasHapus
  18. hoalah
    banyak yang kayak gitu mba
    jadi kudu hati2 kalo mau ngasi
    di kampus chika ada yang minta2 malah maksa
    kalo gx dikasi kita disumpahin

    BalasHapus
  19. walah Mbak... yang begitu itu bnyaaaak
    meminta adalah profesi
    bukan sebuah keterpaksaan.

    makanya, aku males banget ngasih sedekah ke para peminta minta
    menidngan uang zakat disalurkan ke badan yang dapat dipercaya
    dan lebih jelas penyalurannya

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)