Anak adalah dambaan dalam setiap rumah tangga. Bukan saja sebagai penerus keluarga namun juga wujud cinta kasih suami istri. Itu sebabnya, semua pasangan suami istri selalu mendambakan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan mereka.
Bersyukurlah bagi pasangan-pasangan yang tak mengalami kesulitan untuk menghadirkan anak dalam kehidupan mereka. Namun tak jarang, banyak pasangan yang harus berjuang ekstra untuk bisa memiliki anak. Bahkan, beberapa pasangan tak beruntung karena mereka tak kunjung dikaruniai anak.
Aku sendiri merasa cukup beruntung karena masih diberi kepercayaan memiliki anak, meskipun hanya seorang. Walau aku dan suami sudah berencana untuk menambah anak dan kami telah mengikuti saran dan anjuran dokter, ternyata kami tak kunjung mendapat tambahan anak.Yaaa... syukuri saja yang ada.
Kehadiran anak dalam rumah tangga memang membawa nuansa tersendiri. Rumah akan jadi lebih semarak dan hangat dengan hadirnya anak. Mungkin itu sebabnya, masyarakat Korea sangat peduli terhadap anak sehingga pada Hari Anak orangtua di Korea memberikan hadiah dan pakaian bagus untuk anaknya dan meluangkan waktu untuk bermain dan berlibur bersama mereka.
Mengapa di Indonesia tak ada tradisi seperti di Korea, ya? Apakah 'nilai' anak bagi masyarakat Indonesia tidak se-istimewa anak di Korea? Buktinya, di Indonesia banyak berita kekerasan terhadap anak-anak. Apa mungkin karena tingkat kesejahteraan masyarakat Korea jauh di atas masyarakat Indonesia? Masyarakat Korea yang sudah mapan dan tidak stress menghadapi beratnya kehidupan sehingga mampu memperlakukan anak dengan selayaknya. Ah, pikiranku jadi melantur kemana-mana nih....
Padahal, anak adalah segalanya bagi orang tua, bukan? Jadi masih terasa janggal saja setiap mendengar ada orang tua yang tega bertindak kejam pada anak-anaknya. Aku saja sekarang mulai sering merasa sepi di rumah, karena kesibukan Shasa semenjak duduk di bangku SMA ini makin padat saja. Saat melihatnya pulang, rasanya hati sudah lega. Meskipun jika sesampainya di rumah dia langsung ketiduran karena kecapekan, hati ini sudah tenang. Tenang dan lega melihatnya sehat dan baik-baik saja....
Hanya memiliki seorang anak memang tak bisa dipungkiri membuat aku dan (terlebih-lebih) suami (sedikit) over protective. Mau bagaimana lagi, hanya Shasa yang menjadi tumpuan perhatian dan kasih sayang kami. Walau demikian, aku berusaha keras untuk mendidiknya menjadi tidak terlalu manja dan egois. Hal yang tak mudah memang, apalagi eyang-eyangnya semuanya memanjakannya. Maklum, hanya Shasa cucu yang ada di Madiun bersama semua eyang-eyangnya, baik dari pihakku maupun suamiku.
Hanya memiliki seorang anak, memang membuatku sangat dekat dengan Shasa. Kami sering meluangkan waktu berdua untuk ngobrol, curhat dan jalan-jalan. Meski dia makin sibuk di sekolah dan aku makin sibuk di kantor, tapi kami masih berusaha meluangkan waktu untuk berdua.
Shasa hampir tak pernah pergi jauh tanpaku. Jika kuhitung, Shasa sudah 4 kali pergi ke luar kota dan bermalam tanpa aku. Yang pertama saat Shasa SMP dia pergi ke Malang dengan didampingi oleh gurunya. Selain itu saat Shasa dan teman-teman SMPnya ikut kegiatan study wisata ke Bali dan bermalam selama 4 hari. Terakhir, saat SMA, Shasa sudah pernah 2 kali pergi bermalam sehari di Malang karena ada acara sekolah bersama teman dan gurunya.
Saat Shasa pergi keluar kota tanpa aku, selalu saja aku dan suami gelisah. Kami selalu saja bertanya, Shasa sedang apa ya? Kalau Shasa terlambat memberi kabar sedikit saja kami makin gelisah, hehehe.... Padahal, Shasa sekarang sudah kelas XI SMA. Itu berarti 2 tahun lagi dia akan melanjutkan kuliah di kota lain, dan jauh dari kami. Belum apa-apa kami sudah membayangkan betapa sepinya tanpa Shasa di rumah.... #sigh
Aku salut dengan dek Uniek Kaswarganti yang telah berani melepas gadis kecilnya (Vivi) untuk melanjutkan ke Pondok Pesantren usai tamat SD. Apalagi ponpesnya bukan di Semarang, tapi di Magelang. Itu berarti kan dek Uniek tak bisa setiap saat setiap waktu jenguk Vivi ya? Etapi meskipun sering berpenampilan gahar, dek Uniek tetap saja seperti ibu-ibu lainnya yang meneteskan air mata saat berpisah dengan buah hati tercinta.
Sepertinya, saat kelak Shasa mulai melanjutkan kuliah di kota lain, aku harus konsultasi nih pada dek Uniek tentang bagaimana cara mengatasi kangen pada anak. Juga bagaimana cara menguatkan anak saat dia kangen pada kita.... Kebayang deh, kalau dapat telpon dari anak yang bilang kangen, rasanya pasti ingin segera terbang menemuinya, ya? Begitukah, dek Uniek?
Huaa, belum-belum kok sudah pengen mewek nih.
Bersyukurlah bagi pasangan-pasangan yang tak mengalami kesulitan untuk menghadirkan anak dalam kehidupan mereka. Namun tak jarang, banyak pasangan yang harus berjuang ekstra untuk bisa memiliki anak. Bahkan, beberapa pasangan tak beruntung karena mereka tak kunjung dikaruniai anak.
Aku sendiri merasa cukup beruntung karena masih diberi kepercayaan memiliki anak, meskipun hanya seorang. Walau aku dan suami sudah berencana untuk menambah anak dan kami telah mengikuti saran dan anjuran dokter, ternyata kami tak kunjung mendapat tambahan anak.Yaaa... syukuri saja yang ada.
Kehadiran anak dalam rumah tangga memang membawa nuansa tersendiri. Rumah akan jadi lebih semarak dan hangat dengan hadirnya anak. Mungkin itu sebabnya, masyarakat Korea sangat peduli terhadap anak sehingga pada Hari Anak orangtua di Korea memberikan hadiah dan pakaian bagus untuk anaknya dan meluangkan waktu untuk bermain dan berlibur bersama mereka.
Mengapa di Indonesia tak ada tradisi seperti di Korea, ya? Apakah 'nilai' anak bagi masyarakat Indonesia tidak se-istimewa anak di Korea? Buktinya, di Indonesia banyak berita kekerasan terhadap anak-anak. Apa mungkin karena tingkat kesejahteraan masyarakat Korea jauh di atas masyarakat Indonesia? Masyarakat Korea yang sudah mapan dan tidak stress menghadapi beratnya kehidupan sehingga mampu memperlakukan anak dengan selayaknya. Ah, pikiranku jadi melantur kemana-mana nih....
Padahal, anak adalah segalanya bagi orang tua, bukan? Jadi masih terasa janggal saja setiap mendengar ada orang tua yang tega bertindak kejam pada anak-anaknya. Aku saja sekarang mulai sering merasa sepi di rumah, karena kesibukan Shasa semenjak duduk di bangku SMA ini makin padat saja. Saat melihatnya pulang, rasanya hati sudah lega. Meskipun jika sesampainya di rumah dia langsung ketiduran karena kecapekan, hati ini sudah tenang. Tenang dan lega melihatnya sehat dan baik-baik saja....
Hanya memiliki seorang anak memang tak bisa dipungkiri membuat aku dan (terlebih-lebih) suami (sedikit) over protective. Mau bagaimana lagi, hanya Shasa yang menjadi tumpuan perhatian dan kasih sayang kami. Walau demikian, aku berusaha keras untuk mendidiknya menjadi tidak terlalu manja dan egois. Hal yang tak mudah memang, apalagi eyang-eyangnya semuanya memanjakannya. Maklum, hanya Shasa cucu yang ada di Madiun bersama semua eyang-eyangnya, baik dari pihakku maupun suamiku.
Hanya memiliki seorang anak, memang membuatku sangat dekat dengan Shasa. Kami sering meluangkan waktu berdua untuk ngobrol, curhat dan jalan-jalan. Meski dia makin sibuk di sekolah dan aku makin sibuk di kantor, tapi kami masih berusaha meluangkan waktu untuk berdua.
Shasa hampir tak pernah pergi jauh tanpaku. Jika kuhitung, Shasa sudah 4 kali pergi ke luar kota dan bermalam tanpa aku. Yang pertama saat Shasa SMP dia pergi ke Malang dengan didampingi oleh gurunya. Selain itu saat Shasa dan teman-teman SMPnya ikut kegiatan study wisata ke Bali dan bermalam selama 4 hari. Terakhir, saat SMA, Shasa sudah pernah 2 kali pergi bermalam sehari di Malang karena ada acara sekolah bersama teman dan gurunya.
Saat Shasa pergi keluar kota tanpa aku, selalu saja aku dan suami gelisah. Kami selalu saja bertanya, Shasa sedang apa ya? Kalau Shasa terlambat memberi kabar sedikit saja kami makin gelisah, hehehe.... Padahal, Shasa sekarang sudah kelas XI SMA. Itu berarti 2 tahun lagi dia akan melanjutkan kuliah di kota lain, dan jauh dari kami. Belum apa-apa kami sudah membayangkan betapa sepinya tanpa Shasa di rumah.... #sigh
Aku salut dengan dek Uniek Kaswarganti yang telah berani melepas gadis kecilnya (Vivi) untuk melanjutkan ke Pondok Pesantren usai tamat SD. Apalagi ponpesnya bukan di Semarang, tapi di Magelang. Itu berarti kan dek Uniek tak bisa setiap saat setiap waktu jenguk Vivi ya? Etapi meskipun sering berpenampilan gahar, dek Uniek tetap saja seperti ibu-ibu lainnya yang meneteskan air mata saat berpisah dengan buah hati tercinta.
Sepertinya, saat kelak Shasa mulai melanjutkan kuliah di kota lain, aku harus konsultasi nih pada dek Uniek tentang bagaimana cara mengatasi kangen pada anak. Juga bagaimana cara menguatkan anak saat dia kangen pada kita.... Kebayang deh, kalau dapat telpon dari anak yang bilang kangen, rasanya pasti ingin segera terbang menemuinya, ya? Begitukah, dek Uniek?
Huaa, belum-belum kok sudah pengen mewek nih.
Semoga Shasa menjadi anak yang shaleha ya mbak...
BalasHapus