Sejak Shasa masuk Sekolah Menengah Atas, aku sudah sering cerita (baca: curhat) tentang sekolahnya itu. Ada saja hal-hal 'baru' dan berbeda dalam hal pendidikan, yang kurasakan tak sama dengan saat Shasa di SD dan SMP dulu. Setiap sekolah memang punya kebijakan sendiri-sendiri, termasuk di dalamnya adalah dalam hal melatih kemandirian siswa. Demikian juga dengan sekolah Shasa.
Aku melihat, sekolah Shasa punya kebijakan tersendiri dalam melatih kemandirian siswa-siswanya. Tapi entah mengapa dalam pemahamanku, apa yang dilakukan oleh sekolah Shasa bukanlah bentuk upaya melatih kemandirian siswa, tapi cenderung "membiarkan" siswa melakukan semuanya sendiri. Mungkin saja apa yang aku pikirkan dan aku rasakan ini salah. Tapi, okelah... sebelum kalian mengatakan aku salah atau benar, aku akan menceritakan kondisi di sekolah Shasa yang membuatku punya pemikiran dan pendapat seperti itu.
Yang pertama masalah ekstra kurikuler. Shasa di sekolah mengikuti 2 ekstra kurikuler, yaitu English Club dan Teater. Untuk kedua ekstra kurikuler itu, ternyata tak ada guru pembimbingnya. Jadi, setiap jadwal ekstra kurikuler, kakak kelas yang melatih dan membimbing adik-adiknya yang duduk di kelas X. Saat Shasa ditunjuk untuk mewakili debat Bahasa Inggris bersama 2 orang temannya yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi swasta di Madiun, kakak kelasnya yang melatih Shasa dan teman-temannya. Bahkan saat berlomba, tak ada guru dari sekolah yang datang untuk mendampingi mereka.
Kedua dalam hal lomba. Ternyata, untuk lomba-lomba yang tidak diselenggarakan oleh instansi pemerintah, maka jika siswa-siswa ingin mengikutinya, mereka harus melakukan semuanya secara "mandiri". Mereka harus berlatih secara mandiri dan membiayai sendiri. Shasa sebenarnya sudah beberapa kali diminta kakak kelasnya untuk mengikuti lomba debat Bahasa Inggris di Malang, Solo dan Jakarta. Namun, Shasa selalu menolak untuk berangkat karena tidak dapat ijin dari ayahnya.
Sebenarnya, ayahnya mau membayar biaya lombanya berikut transport dan akomodasinya. Tapi ayahnya tidak mengijinkan Shasa dan teman-temannya berangkat sendiri tanpa ada pengawalan dari pihak sekolah. Info yang didapatkan Shasa dari kakak-kakak kelasnya adalah setiap ada lomba di luar kota yang diselenggarakan perguruan tinggi, siswa-siswa harus mandiri.
Yang dimaksud dengan "mandiri" disini adalah tak ada pembinaan/pelatihan dari sekolah, tak ada bantuan dana dari sekolah bahkan tak akan ada guru yang mendampingi saat lomba. Ayahnya tentu saja keberatan (baca: kuatir) jika putri semata wayangnya pergi jauh tanpa ada pengawalan dan pengawasan dari pihak sekolah. Ayahnya baru memberikan ijin jika ada guru yang bertanggung jawab selama siswa-siswa berlomba ke luar kota. Sayangnya... itu tak pernah terjadi #sigh.
Hal itu tentu saja "merugikan" siswa seperti Shasa yang sebenarnya memiliki semangat untuk berkompetisi. Hanya karena tak ada guru yang bertanggungjawab atas keberangkatan siswa-siswa itu ke luar kota, mereka jadi batal mengikuti lomba. Sementara bagi siswa lain yang tak memiliki cukup materi untuk membiayai kegiatan lomba itu, hal itu juga akan jadi penghalang untuk melangkah maju.
Tapi, masih menurut cerita kakak kelas Shasa, meski siswa diharap untuk mandiri dalam segala hal, kalau ternyata siswa-siswanya mencatatkan prestasi sekolah akan "mengambil keuntungan". Prestasi yang diraih oleh para siswa lewat perjuangan mereka sendiri, tetap saja diakui sebagai prestasi sekolah. Makin sebel jika kemudian ada guru yang meng-klaim keberhasilan siswa tersebut adalah hasil dari pembinaan guru.
Sekolah baru akan "ikut campur" jika sekolah akan mengirimkan siswa-siswanya untuk mengikuti perlombaan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Contohnya lomba dalam rangka Pekan Seni Pelajar yang diselenggarakan oleh Pemkot Madiun beberapa waktu yang lalu. Saat itu, teater yang diikuti Shasa ikut berlomba. Untuk itu, sekolah menyediakan dana untuk menyewa pelatih dan membiayai perlengkapan beserta konsumsi saat lomba. Tapi tetap saja, saat lomba dilaksanakan aku tak melihat ada guru sekolah Shasa yang datang untuk mendampingi siswa-siswanya.
Terus terang aku kaget dengan "perlakuan" sekolah pada siswa-siswa di sekolah Shasa. Menurutku, cara melatih kemandirian siswa "gak gitu-gitu amat" lah. Atau mungkin aku sudah terlanjur terbiasa dengan perhatian guru-guru Shasa saat SD dan SMP dulu, ya? Dulu, saat Shasa masih SD dan SMP, setiap kali Shasa akan berlomba mewakili sekolah (baik itu lomba yang diselenggarakan instansi pemerintah maupun swasta) selalu saja ada guru yang melatih dan mendampingi. Dan ternyata guru-guru SMA Shasa berbeda seratus delapan puluh derajat dari guru-gurunya saat SD dan SMP dulu. Hal itulah yang membuatku kaget.
Emm... apa memang "gaya" melatih kemandirian pada siswa SMA berbeda dengan siswa SD dan SMP ya? Atau aku yang berharap terlalu banyak dari sekolah? Apakah menurut guru-guru di sekolah Shasa, siswa-siswa sudah bisa "dilepas" sendiri tanpa ada pembinaan, pendampingan dan pengawasan? Aku jadi berpikir, apakah upaya melatih kemandirian siswa (versi sekolah Shasa) sebenarnya adalah wujud lain dari ketidakpedulian para guru terhadap murid-muridnya. Padahal, sekolah Shasa adalah sekolah favorit, tapi mengapa guru-gurunya tak peduli dengan siswa-siswanya ya? Apakah sekarang memang tak ada lagi guru-guru yang peduli pada para siswanya?
Ah, kalau dikatakan tak ada lagi guru yang peduli pada para siswanya... itu gak benar juga. Aku punya teman, seorang guru yang luar biasa yang sangat peduli pada siswanya. Yang selalu dipikirkannya adalah bagaimana caranya agar anak-anak tidak mampu tetap bisa sekolah, bagaimana caranya agar siswa-siswanya yang tak mampu jangan sampai putus sekolah. Guru yang luar biasa itu namanya adalah SUSI SUKAESIH atau dikenal dengan nama Suzie Icus.
Karena kepeduliannya itulah, dia menjadi founder sekaligus guru pada SMK Itaco. Dia juga yang menginspirasi berdirinya Siswa Wirausaha. Telah banyak upaya yang dilakukannya agar anak-anak tak mampu bisa sekolah. Agar siswa-siswanya yang kurang mampu tak sampai putus sekolah, dia telah melakukan banyak cara untuk menghasilkan uang demi kelangsungan pendidikan siswa-siswanya tersebut. Dia melibatkan para siswanya untuk ikut berkreasi. Selain menghasilkan uang, anak-anak jadi memiliki ketrampilan untuk bekal hidup mereka kelak.
Nah, untuk apa yang telah dilakukan oleh Dek Suzie Icus ini aku sependapat bahwa yang dia lakukan adalah untuk melatih kemandirian siswa. Dek Icus bukan hanya mengajarkan beragam ketrampilan pada para siswanya, tapi dia juga mengajarkan tentang pemasarannya. Dengan begitu, anak-anak dilatih untuk mandiri sejak dini, agar mereka bisa menghasilkan uang sendiri, setidaknya untuk membiayai sekolah mereka sendiri tanpa membebani orang tua mereka. Syukur-syukur jika ketrampilannya itu bisa menjadi mata pencaharian mereka kelak.
Melatih kemandirian siswa yang telah dilakukan oleh Dek Suzie Icus ini berbeda sekali kan dengan "melatih kemandirian siswa" sebagaimana yang dilakukan guru-guru di sekolah Shasa. Apakah kalian sependapat denganku, kawan ?
Aku melihat, sekolah Shasa punya kebijakan tersendiri dalam melatih kemandirian siswa-siswanya. Tapi entah mengapa dalam pemahamanku, apa yang dilakukan oleh sekolah Shasa bukanlah bentuk upaya melatih kemandirian siswa, tapi cenderung "membiarkan" siswa melakukan semuanya sendiri. Mungkin saja apa yang aku pikirkan dan aku rasakan ini salah. Tapi, okelah... sebelum kalian mengatakan aku salah atau benar, aku akan menceritakan kondisi di sekolah Shasa yang membuatku punya pemikiran dan pendapat seperti itu.
Yang pertama masalah ekstra kurikuler. Shasa di sekolah mengikuti 2 ekstra kurikuler, yaitu English Club dan Teater. Untuk kedua ekstra kurikuler itu, ternyata tak ada guru pembimbingnya. Jadi, setiap jadwal ekstra kurikuler, kakak kelas yang melatih dan membimbing adik-adiknya yang duduk di kelas X. Saat Shasa ditunjuk untuk mewakili debat Bahasa Inggris bersama 2 orang temannya yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi swasta di Madiun, kakak kelasnya yang melatih Shasa dan teman-temannya. Bahkan saat berlomba, tak ada guru dari sekolah yang datang untuk mendampingi mereka.
Kedua dalam hal lomba. Ternyata, untuk lomba-lomba yang tidak diselenggarakan oleh instansi pemerintah, maka jika siswa-siswa ingin mengikutinya, mereka harus melakukan semuanya secara "mandiri". Mereka harus berlatih secara mandiri dan membiayai sendiri. Shasa sebenarnya sudah beberapa kali diminta kakak kelasnya untuk mengikuti lomba debat Bahasa Inggris di Malang, Solo dan Jakarta. Namun, Shasa selalu menolak untuk berangkat karena tidak dapat ijin dari ayahnya.
Sebenarnya, ayahnya mau membayar biaya lombanya berikut transport dan akomodasinya. Tapi ayahnya tidak mengijinkan Shasa dan teman-temannya berangkat sendiri tanpa ada pengawalan dari pihak sekolah. Info yang didapatkan Shasa dari kakak-kakak kelasnya adalah setiap ada lomba di luar kota yang diselenggarakan perguruan tinggi, siswa-siswa harus mandiri.
Yang dimaksud dengan "mandiri" disini adalah tak ada pembinaan/pelatihan dari sekolah, tak ada bantuan dana dari sekolah bahkan tak akan ada guru yang mendampingi saat lomba. Ayahnya tentu saja keberatan (baca: kuatir) jika putri semata wayangnya pergi jauh tanpa ada pengawalan dan pengawasan dari pihak sekolah. Ayahnya baru memberikan ijin jika ada guru yang bertanggung jawab selama siswa-siswa berlomba ke luar kota. Sayangnya... itu tak pernah terjadi #sigh.
Hal itu tentu saja "merugikan" siswa seperti Shasa yang sebenarnya memiliki semangat untuk berkompetisi. Hanya karena tak ada guru yang bertanggungjawab atas keberangkatan siswa-siswa itu ke luar kota, mereka jadi batal mengikuti lomba. Sementara bagi siswa lain yang tak memiliki cukup materi untuk membiayai kegiatan lomba itu, hal itu juga akan jadi penghalang untuk melangkah maju.
Tapi, masih menurut cerita kakak kelas Shasa, meski siswa diharap untuk mandiri dalam segala hal, kalau ternyata siswa-siswanya mencatatkan prestasi sekolah akan "mengambil keuntungan". Prestasi yang diraih oleh para siswa lewat perjuangan mereka sendiri, tetap saja diakui sebagai prestasi sekolah. Makin sebel jika kemudian ada guru yang meng-klaim keberhasilan siswa tersebut adalah hasil dari pembinaan guru.
Sekolah baru akan "ikut campur" jika sekolah akan mengirimkan siswa-siswanya untuk mengikuti perlombaan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Contohnya lomba dalam rangka Pekan Seni Pelajar yang diselenggarakan oleh Pemkot Madiun beberapa waktu yang lalu. Saat itu, teater yang diikuti Shasa ikut berlomba. Untuk itu, sekolah menyediakan dana untuk menyewa pelatih dan membiayai perlengkapan beserta konsumsi saat lomba. Tapi tetap saja, saat lomba dilaksanakan aku tak melihat ada guru sekolah Shasa yang datang untuk mendampingi siswa-siswanya.
Terus terang aku kaget dengan "perlakuan" sekolah pada siswa-siswa di sekolah Shasa. Menurutku, cara melatih kemandirian siswa "gak gitu-gitu amat" lah. Atau mungkin aku sudah terlanjur terbiasa dengan perhatian guru-guru Shasa saat SD dan SMP dulu, ya? Dulu, saat Shasa masih SD dan SMP, setiap kali Shasa akan berlomba mewakili sekolah (baik itu lomba yang diselenggarakan instansi pemerintah maupun swasta) selalu saja ada guru yang melatih dan mendampingi. Dan ternyata guru-guru SMA Shasa berbeda seratus delapan puluh derajat dari guru-gurunya saat SD dan SMP dulu. Hal itulah yang membuatku kaget.
Emm... apa memang "gaya" melatih kemandirian pada siswa SMA berbeda dengan siswa SD dan SMP ya? Atau aku yang berharap terlalu banyak dari sekolah? Apakah menurut guru-guru di sekolah Shasa, siswa-siswa sudah bisa "dilepas" sendiri tanpa ada pembinaan, pendampingan dan pengawasan? Aku jadi berpikir, apakah upaya melatih kemandirian siswa (versi sekolah Shasa) sebenarnya adalah wujud lain dari ketidakpedulian para guru terhadap murid-muridnya. Padahal, sekolah Shasa adalah sekolah favorit, tapi mengapa guru-gurunya tak peduli dengan siswa-siswanya ya? Apakah sekarang memang tak ada lagi guru-guru yang peduli pada para siswanya?
Ah, kalau dikatakan tak ada lagi guru yang peduli pada para siswanya... itu gak benar juga. Aku punya teman, seorang guru yang luar biasa yang sangat peduli pada siswanya. Yang selalu dipikirkannya adalah bagaimana caranya agar anak-anak tidak mampu tetap bisa sekolah, bagaimana caranya agar siswa-siswanya yang tak mampu jangan sampai putus sekolah. Guru yang luar biasa itu namanya adalah SUSI SUKAESIH atau dikenal dengan nama Suzie Icus.
Karena kepeduliannya itulah, dia menjadi founder sekaligus guru pada SMK Itaco. Dia juga yang menginspirasi berdirinya Siswa Wirausaha. Telah banyak upaya yang dilakukannya agar anak-anak tak mampu bisa sekolah. Agar siswa-siswanya yang kurang mampu tak sampai putus sekolah, dia telah melakukan banyak cara untuk menghasilkan uang demi kelangsungan pendidikan siswa-siswanya tersebut. Dia melibatkan para siswanya untuk ikut berkreasi. Selain menghasilkan uang, anak-anak jadi memiliki ketrampilan untuk bekal hidup mereka kelak.
Nah, untuk apa yang telah dilakukan oleh Dek Suzie Icus ini aku sependapat bahwa yang dia lakukan adalah untuk melatih kemandirian siswa. Dek Icus bukan hanya mengajarkan beragam ketrampilan pada para siswanya, tapi dia juga mengajarkan tentang pemasarannya. Dengan begitu, anak-anak dilatih untuk mandiri sejak dini, agar mereka bisa menghasilkan uang sendiri, setidaknya untuk membiayai sekolah mereka sendiri tanpa membebani orang tua mereka. Syukur-syukur jika ketrampilannya itu bisa menjadi mata pencaharian mereka kelak.
Melatih kemandirian siswa yang telah dilakukan oleh Dek Suzie Icus ini berbeda sekali kan dengan "melatih kemandirian siswa" sebagaimana yang dilakukan guru-guru di sekolah Shasa. Apakah kalian sependapat denganku, kawan ?
Wah Shasa keren, bahasa Ingrrisnya mesti casciscus
BalasHapusTiap sekolah emang beda-beda, kadang sekolah favorit yg kita kira care sama murid berprestasi ternyata gak juga
BalasHapusWaktu bungsuku msh TK-SD, di satu sekolah aja masing2 guru punya standar kepedulian sendiri2. Yg paling care waktu itu adl guru inggrisnya.
Lha Shasa udah SMa? Hahaha berarrti saya udah rada lama gak ke sini ya, Mbak :)
BalasHapusKalau menurut saya sih itu bukan melatih mandiri sih... Tapi tidak peduli. Karena bagaimanapun, anak-anak paling tidak didampingi. Biasa info lomba juga yang menginfokan sekolah, walau mungkin sekolah tidak mengeluarkan dana tapi paling tidak sekolah dalam hal ini guru hendaknya mendampingi. Toh, yang dibawa anak-anak juga nama sekolah.
BalasHapusSalut dengan Suzie Icus. Siswa-siswanya jadi mandiri, bisa membiayai sekolah sendiri dari hasil karya mereka, berbagai produk buatan mereka bagus-bagus.
BalasHapusBeberapa kali merasakan hal yang sama, Mbak Reni. Seharusnya sih, tetaplah didampingi. Toh, anak-anak ini bawa nama sekolah.
BalasHapusWah semangat kak Sasha luar biasa sekilas mirip semangatnya murid ibu guru Icuzz yang luar biasa dalam berkarya :)
BalasHapuskeren lho metodenya mbak, biar anak2 siap menghadapi kerasnya dunia
BalasHapusYa ampun.. dulu waktu sy sring maen ke blog mb Reni, Shasa msh SD kl tdk salah.. dan mb Reni msh istiqomah blogging smpe skrg :) Kabar baik selalu mb..
BalasHapuswah lagi bahas neng icus disini hihihii...
BalasHapusaku masih gak percaya klo shasa udah SMA...dulu waktu baru2 ke blog mba reni shasa masih kecil banget.
keren lah pokoknya Icus ya mbak Ren
BalasHapusWah shasa udah sma ya mba ...
BalasHapusbaru mau buka ttg Mba Suzie Icus nih mba