Judul : Rantau 1 Muara
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Harga : Rp. 75.000
Tebal : xii + 407 halaman
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Harga : Rp. 75.000
Tebal : xii + 407 halaman
Jalan apa yang aku tempuh? Jalur mana yang aku ambil? Sampai ke mana tujuan yang aku ingin capai? Entahlah, semuanya terasa kabur.
Perjalanan hidup tak selamanya manis, pun tak selamanya mudah. Suatu saat seseorang akan terpaksa menghentikan langkah saat tak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya. Atau suatu saat terpaksa harus berputar arah kembali di saat menyadari bahwa jalan yang diambil tidak benar. Bahkan tak jarang akan bertemu banyak aral dan rintangan di tengah perjalanan.
Alif Fikri yang sedang dilambungkan kebanggaan luar biasa karena baru saja pulang dari Kanada sebagai Duta Muda dari Indonesia dan karena namanya mulai dikenal sebagai penulis yang patut diperhitungkan, harus menghadapi kenyataan pahit. Ijazah yang baru diraihnya plus pengalamannya di luar negeri harus berhadapan dengan krisis ekonomi dan reformasi yang justru menutup terbukanya peluang kerja.
Kebutuhan hidup tak dapat ditunda dan tak peduli krisis ekonomi. Di saat dia makin tersuruk dalam beratnya beban hidup, dia teringat akan salah satu mantra yang diperolehnya dulu di pondok pesantren. Mantra itu adalah : Man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan). Mulai saat itulah dia mulai secara serius mencari jalan yang akan mampu mengantarkannya ke muara yang ingin ditujunya. Setelah berpikir sekian lama akhirnya dia (merasa) menemukan jalannya, yaitu : dunia tulis menulis!
Semenjak menyadari jalan mana yang harus dipilih dan dilaluinya, dia pun mengerahkan segala daya dan upaya untuk menjalaninya. Dia yakin bahwa siapa yang menanam, dia menuai (man yazra yahsud). Akhirnya jalan pun terbuka : menjadi sebuah wartawan sebuah media terkemuka di ibukota. Namun, suatu saat dia kembali mempertanyakan apakah jalan yang selama ini ditekuninya adalah jalan yang benar.
Pada saat seperti itulah Alif mulai memikirkan jalan lainnya, yaitu : mencari ilmu. Kembali dia berjuang lebih dari yang orang lain lakukan untuk dapat meraih beasiswa S-2 ke Amerika, seperti yang dicita-citakannya selama ini. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, dia pun berhasil memenangkan beasiswa itu dan membawanya ke kota impiannya : Washington DC.
Kuliah dan (akhirnya) bekerja di Amerika laksana impian yang jadi nyata. Apalagi saat tak lama kemudian dia menikah dan membawa istrinya untuk hidup bersama di Amerika. Perlahan namun pasti kehidupan makin terasa mudah dan menyenangkan. Alif pun makin yakin akan jalan yang tengah dilaluinya. Namun ternyata, muara itu bukanlah Amerika.
Alif Fikri yang sedang dilambungkan kebanggaan luar biasa karena baru saja pulang dari Kanada sebagai Duta Muda dari Indonesia dan karena namanya mulai dikenal sebagai penulis yang patut diperhitungkan, harus menghadapi kenyataan pahit. Ijazah yang baru diraihnya plus pengalamannya di luar negeri harus berhadapan dengan krisis ekonomi dan reformasi yang justru menutup terbukanya peluang kerja.
Kebutuhan hidup tak dapat ditunda dan tak peduli krisis ekonomi. Di saat dia makin tersuruk dalam beratnya beban hidup, dia teringat akan salah satu mantra yang diperolehnya dulu di pondok pesantren. Mantra itu adalah : Man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan). Mulai saat itulah dia mulai secara serius mencari jalan yang akan mampu mengantarkannya ke muara yang ingin ditujunya. Setelah berpikir sekian lama akhirnya dia (merasa) menemukan jalannya, yaitu : dunia tulis menulis!
Semenjak menyadari jalan mana yang harus dipilih dan dilaluinya, dia pun mengerahkan segala daya dan upaya untuk menjalaninya. Dia yakin bahwa siapa yang menanam, dia menuai (man yazra yahsud). Akhirnya jalan pun terbuka : menjadi sebuah wartawan sebuah media terkemuka di ibukota. Namun, suatu saat dia kembali mempertanyakan apakah jalan yang selama ini ditekuninya adalah jalan yang benar.
Pada saat seperti itulah Alif mulai memikirkan jalan lainnya, yaitu : mencari ilmu. Kembali dia berjuang lebih dari yang orang lain lakukan untuk dapat meraih beasiswa S-2 ke Amerika, seperti yang dicita-citakannya selama ini. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, dia pun berhasil memenangkan beasiswa itu dan membawanya ke kota impiannya : Washington DC.
Kuliah dan (akhirnya) bekerja di Amerika laksana impian yang jadi nyata. Apalagi saat tak lama kemudian dia menikah dan membawa istrinya untuk hidup bersama di Amerika. Perlahan namun pasti kehidupan makin terasa mudah dan menyenangkan. Alif pun makin yakin akan jalan yang tengah dilaluinya. Namun ternyata, muara itu bukanlah Amerika.
Novel pamungkas dari Trilogi Negeri 5 Menara ini memang tetap semenarik kedua novel pendahulunya. Benar kata Andrea Hirata (penulis tetralogi Laskar Pelangi) bahwa orang Melayu sangat pandai bercerita. A.Fuadi adalah salah satu buktinya. Kedua novel terdahulunya best seller, jadi tak mengherankan apabila penulis dan juga hasil karyanya berhasil meraih beragam penghargaan sejak tahun 2010 hingga tahun 2013 ini. Dunia sastra Indonesia patut berbangga karenanya.
Harus diakui bahwa Trilogi Negeri 5 Menara memang memiliki daya tarik. Yang pertama tentu saja adalah gaya bercerita A.Fuadi memang menarik, hingga pembaca tak akan bosan membaca rangkaian kata-kata yang dipilihnya. Yang kedua, Trilogi Negeri 5 Menara adalah novel inspiratif. Pembaca akan terinspirasi sekaligus termotivasi saat dan setelah membaca karya A.Fuadi ini.
Ketiga novel dalam Trilogi Negeri 5 Menara ini memang serupa tapi tak sama. Persamaannya adalah :
Perbedaan muncul pada desain sampulnya. Jika novel pertama dan kedua didominasi warna kuning-coklat, tapi di novel ketiga justru dominan warna biru kehijauan. Selain itu, sampul Rantau 1 Muara terasa lebih “sepi” dibandingkan kedua novel pendahulunya, tapi justru itu daya tariknya. Adanya tambahan perahu kecil yang hanya berpenumpang 2 orang (Alif dan Dinara, istrinya) justru sangat kuat menggambarkan perantauan yang jauh dan melelahkan menuju muara!
Masih berkutat pada sampul novel, jika novel pertama sampulnya masih “biasa” tapi di novel kedua dan ketiga sudah berbeda. Untuk novel kedua, sampul bagian belakang lebih panjang dari sampul depan dan dilipat jadi dua. Sementara untuk Rantau 1 Muara, sampul depan dan belakang sama-sama panjang dan dilipat jadi dua. Memang desain yang menarik sebenarnya, tapi hal itu justru menyulitkan pemilik buku untuk menyampulnya. Hal ini tentu tak menjadi masalah bagi pembaca yang tak ingin menyampul novelnya. Rasanya perlu dipikirkan solusi lain untuk mendesain sampul agar tetap menarik, namun tetap bisa disampul dengan rapi.
Sebagai “pelengkap” adalah pembatas buku yang menarik. Jika pada novel pertama tak ada pembatas bukunya, namun di novel kedua dan ketiga sudah ada pembatas buku dengan model yang menarik. Mungkin pembatas buku adalah hal “sepele” tapi sangat berguna bagi pembaca. Memang menyenangkan jika tersedia pembatas buku yang menarik dan dengan desain yang unik. Hal itu tentu saja akan menambah nilai plus sebuah buku.
Pemilihan huruf dan besaran huruf dalam Rantau 1 Muara (dan kedua novel pendahulunya) sudah sesuai sehingga mata pembaca tak akan lelah dalam membacanya. Editingnya juga sangat rapi, sehingga nyaris sempurna. Hanya pada halaman 150 di dua baris terakhir itu, rasanya akan lebih pas jika ada tanda baca titik (.) antara kata “terpesona” dan “Raisa”. Selain itu, karena pengetahuanku tentang Bahasa Indonesia memang terbatas, aku jadi kagok saat menemukan pemenggalan kata yang tak biasa kulakukan, yaitu : “ken-apa” (halaman 130 baris ke-7).
Yang terasa agak berlebihan adalah halaman “tentang penulis” karena muncul 2 kali, di halaman 399-401 dan juga di bagian sampul belakang. Mungkin akan lebih baik jika “tentang penulis” ini muncul satu kali saja. Dan untuk novel yang aku punya (mungkin ini hanya kesalahan dalam penjilidan saja), halaman i-ii dobel alias ada dua. Semoga ini hanya terjadi pada novel yang kumiliki saja.
Pada prinsipnya Novel Rantau 1 Muara ini sangat menarik dan bermanfaat. Pembaca akan mendapatkan banyak sekali nasehat yang memotivasi. Selain itu novel ini akan membuka wawasan pembaca tentang dunia jurnalistik dan juga bagaimana cara mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Pembaca juga akan belajar untuk ikut mencari jalan yang harus ditempuhnya dan juga hakikat hidup.
Sebagaimana tertulis dalam sinopsis di cover belakang buku bahwa “hakikatnya hidup adalah sebuah perantauan. Suatu masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara.” Sebuah perantauan tak akan pernah melalui sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan. Selama kita tetap sabar dan konsisten berjalan di jalan yang benar, maka kita akan sampai juga ke muara.
Note : review di atas pernah dipublish di kompasiana untuk mengikuti lomba resensi Novel Rantau 1 Muara (tapi tak berhasil menang hehehe)
Harus diakui bahwa Trilogi Negeri 5 Menara memang memiliki daya tarik. Yang pertama tentu saja adalah gaya bercerita A.Fuadi memang menarik, hingga pembaca tak akan bosan membaca rangkaian kata-kata yang dipilihnya. Yang kedua, Trilogi Negeri 5 Menara adalah novel inspiratif. Pembaca akan terinspirasi sekaligus termotivasi saat dan setelah membaca karya A.Fuadi ini.
Ketiga novel dalam Trilogi Negeri 5 Menara ini memang serupa tapi tak sama. Persamaannya adalah :
- ketiganya selalu menyertakan legenda (keterangan yang berupa simbol-simbol pada peta agar peta mudah dimengerti oleh pembaca) di balik sampulnya. Pada novel pertama di balik sampul depan, pada novel kedua dan ketiga di balik sampul depan dan belakang.
- Ketiganya selalu menyelipkan “mantra” yang akan memotivasi pembaca. Novel pertama : man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil). Novel kedua : man shabara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung). Novel ketiga: man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan).
Perbedaan muncul pada desain sampulnya. Jika novel pertama dan kedua didominasi warna kuning-coklat, tapi di novel ketiga justru dominan warna biru kehijauan. Selain itu, sampul Rantau 1 Muara terasa lebih “sepi” dibandingkan kedua novel pendahulunya, tapi justru itu daya tariknya. Adanya tambahan perahu kecil yang hanya berpenumpang 2 orang (Alif dan Dinara, istrinya) justru sangat kuat menggambarkan perantauan yang jauh dan melelahkan menuju muara!
Masih berkutat pada sampul novel, jika novel pertama sampulnya masih “biasa” tapi di novel kedua dan ketiga sudah berbeda. Untuk novel kedua, sampul bagian belakang lebih panjang dari sampul depan dan dilipat jadi dua. Sementara untuk Rantau 1 Muara, sampul depan dan belakang sama-sama panjang dan dilipat jadi dua. Memang desain yang menarik sebenarnya, tapi hal itu justru menyulitkan pemilik buku untuk menyampulnya. Hal ini tentu tak menjadi masalah bagi pembaca yang tak ingin menyampul novelnya. Rasanya perlu dipikirkan solusi lain untuk mendesain sampul agar tetap menarik, namun tetap bisa disampul dengan rapi.
Sebagai “pelengkap” adalah pembatas buku yang menarik. Jika pada novel pertama tak ada pembatas bukunya, namun di novel kedua dan ketiga sudah ada pembatas buku dengan model yang menarik. Mungkin pembatas buku adalah hal “sepele” tapi sangat berguna bagi pembaca. Memang menyenangkan jika tersedia pembatas buku yang menarik dan dengan desain yang unik. Hal itu tentu saja akan menambah nilai plus sebuah buku.
Pemilihan huruf dan besaran huruf dalam Rantau 1 Muara (dan kedua novel pendahulunya) sudah sesuai sehingga mata pembaca tak akan lelah dalam membacanya. Editingnya juga sangat rapi, sehingga nyaris sempurna. Hanya pada halaman 150 di dua baris terakhir itu, rasanya akan lebih pas jika ada tanda baca titik (.) antara kata “terpesona” dan “Raisa”. Selain itu, karena pengetahuanku tentang Bahasa Indonesia memang terbatas, aku jadi kagok saat menemukan pemenggalan kata yang tak biasa kulakukan, yaitu : “ken-apa” (halaman 130 baris ke-7).
Yang terasa agak berlebihan adalah halaman “tentang penulis” karena muncul 2 kali, di halaman 399-401 dan juga di bagian sampul belakang. Mungkin akan lebih baik jika “tentang penulis” ini muncul satu kali saja. Dan untuk novel yang aku punya (mungkin ini hanya kesalahan dalam penjilidan saja), halaman i-ii dobel alias ada dua. Semoga ini hanya terjadi pada novel yang kumiliki saja.
Pada prinsipnya Novel Rantau 1 Muara ini sangat menarik dan bermanfaat. Pembaca akan mendapatkan banyak sekali nasehat yang memotivasi. Selain itu novel ini akan membuka wawasan pembaca tentang dunia jurnalistik dan juga bagaimana cara mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Pembaca juga akan belajar untuk ikut mencari jalan yang harus ditempuhnya dan juga hakikat hidup.
Sebagaimana tertulis dalam sinopsis di cover belakang buku bahwa “hakikatnya hidup adalah sebuah perantauan. Suatu masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara.” Sebuah perantauan tak akan pernah melalui sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan. Selama kita tetap sabar dan konsisten berjalan di jalan yang benar, maka kita akan sampai juga ke muara.
Note : review di atas pernah dipublish di kompasiana untuk mengikuti lomba resensi Novel Rantau 1 Muara (tapi tak berhasil menang hehehe)
Sdh ada buku barunya A. Fuadi ya, mbak
BalasHapusMakasih mbak infonya, jadi tambah ngebet baca keseluruhannya.
Jadi hidup di dunia ini sementara saja ya Mbak Reni..Bekerja keras dalam hidup hari ini untuk dipakai di hidup setelahnya :)
BalasHapusdalam hidup selalu ada pilihan ya mbak
BalasHapuspanjang sekali mbak... saingan sama novelnya. hihi
BalasHapusKeren reviewnya....
BalasHapusWah, saya belum pernah baca novel-novel A. Fuadi. Jadi dia pandai bercerita, ya? Saya jadi penasaran nih, hehe....
aduuh yang negeri 5 menara aja aku belom sempat baca Mbak...
BalasHapushiks
jadi penasaran dengan isi bukunya
BalasHapuspingin baca juga nie bukunya
jika N5M sama R3W aku lahap seketika keduanya muncul di pasaran dalam sekejap terhitung satu hari kurang, maka R1M ini agak terlambat karena agak jarang main ke toko buku. :)
BalasHapustapi, setelah melahap habis N5M sampai dibuat merinding bahkan menangis akhirnya saya hajar R3W seketika buku mendarat di rumah. alhasil saya mewek baca kisahnya sampai tuntas.
Fuadi satu sosok penulis yang saya kagumi. caranya menuangkan kisah nyata ke dalam novel membuat saya jatuh hati sama karya-karyanya. :)
Rantau 1 Muara? saya lahap dengan menggebu karena ini klimaks dan saya puas. semoga saja komik yg sedang digarap beliau bisa mewakili imajinasi para pembaca. :)
Waaaah udah keluar ya mba? Hdeeeeh udah lama ga ke toko buku sampe ketinggalan huhuhuuu....
BalasHapusSalam sukses dan terima kasih sudah berbagi cerita (",)
BalasHapusakhirnya novel yg saya tunggu2 ini muncul di toko buku.. saya juga lagi baca mbak.. baru setengah sih, karena agak sibuk.. kata2 mutiara dari filosofi islam nya yg paling saya suka.. ahh, great novel
BalasHapusbagus mbk, aku pernah beli buku itu,,
BalasHapusSaya masih bc negeri 5 menara blm kelar2 mbak :)
BalasHapusjadi penasaran sama nobelnya nih
BalasHapuscovernya kyk lima menara ya mbak? hehehe
BalasHapuskok habis liat covernya malah keinget Perahu Kertas, Hehe desainnya persis
BalasHapuswaa reviewnya lengkap..
BalasHapussaya blum sempet baca bukunya, tp bener pembatas bukunya keren yah :)
belajar review sama nak satu ini ahhhh hehe
BalasHapusRasanya sampulnya mirip dengan....
BalasHapuslama saya gak Blog Walking. Apa kabar?
Selamat berakhir pekan ya :)
Siap2 Hana minta dibelikan nih. :) Aku kalah sama anakku, Mbak. Malah dia yang udah baca 2 seri sebelumnya.
BalasHapusAduuuhh aku udah beli novelnya tapi belum baca, aku liat2 sekilas aja neh reviewnya mbak gak mau baca total hahahaha
BalasHapusreview-nya kumplit n detail, belajar ah dari mb Reni, biar aku juga bisa ngreview dg benar.
BalasHapusinspiratif ya mba novel2nya A. Fuadi, jadi pengin ikutan baca nih
huoo :o sugoi!!
BalasHapusgini hari lawatan dari palembang, numpang lewat aja. sembari senyum tentunya.
BalasHapusgaya reviewnya mbak reny enak banget untuk kubaca...kaya mbak cerita langsung
BalasHapusaku belom beres nih mbak baca buku ini *ups* hihihihi
BalasHapusudh pamungkas aja novelnya pdhl sy blm ada satupun novelnya yg dibaca :D
BalasHapussalam kenal,
BalasHapushidup selalu dihadapkan dengan dua pilihan ya
bagus jg cerita novelnya :D pantes si diah jg suka novel ini
BalasHapussaya sebenarnya heran..kalo bangsa kita menganggap bahwa amerika adalah pusat dari segala,,ibarat mutiara dari pusat dunia...semoga buku ini bisa memberikan pemahaman yang berbeda tentang hal itu...nice review....salam :-)
BalasHapuswow, amazing
BalasHapusrantau 1 muara
BalasHapusalias
merantau kemana2 untuk 1 tujuan
kira2 begitu ya
Terima kasih info bukunya yang bermanfaat!! Wah., bukunya pasti menarik, yang 5 menara aja kalo baca rasanya masuk ke dunia pesantren beneran!! :)
BalasHapusSalam kenal ya!!
Kunjungi juga Hon Book Store.., dapatkan diskon gedhe2an hingga 15% :D
http://www.honbookstore.com/
Jangan lupa tinggalkan jejak alias komen.
wahh .. baru pertama kali masuk ke blog sini ternyata banyak gudang Inspirasi ...
BalasHapusLangsung saiia Follow bu, Terima Kasih sebelumnya ...
★ http://www.adadeny.com/
uhuuuuuuy, saya gak envy lagi saat lihat postingan ini, karena saya udah baca juga.
BalasHapusdaaaan sukses besar buat saya envy dengan 'duo dynamic' ini, huhuh doakan saya bisa seperti mereka juga yah Mbak,, xiixixix *apasiihiniiihh*
@Hariyanti Sukma >> Ayo mbak buruan baca trilogi 5 menara, dijamin gak nyesel deh
BalasHapus@evi >> Sip... begitulah mbak Evi.
@Lidya >> Bener banget mbak, tinggal kita kudu pinter2 milih.
@Muhammad A Vip >> kepanjangan ya reviewnya? hehehe..
@ditter >> Coba aja baca karya A.Fuadi dan pasti akan setuju dg pendapatku :)
@Elsa >> kira2 sekarang mbak Elsa sudah baca belum ya Negeri 5 Menara?
@Lisa Tjut Ali >> silahkan hunting bukunya mbak... pasti suka.
@Arai >> Kayaknya ntar kalo komiknya keluar, kita kudu hunting lagi ya? hehehe...
@Mila Said >> Wah, jangan sampai ketinggalan lagi mbak. Buruan cari di toko buku :)
@Riecky >> sama2... semoga suka ya? :)
@Meutia Halida >> yups.. kita banyak belajar dari isi buku itu.
@Agen Casino >> Berarti sudah baca juga kan?
@Tarry >> pasti bacanya digangguin terus sama ALfi ya? hehehe
@Vina Devina >> silahkan baca aja mbak, biar gak penasaran lagi :D
@Yanuar Catur >> Enggak ah.. covernya beda banget kok.
@DB a.k.a Dilacous >> Menurutku sih gak mirip2 amat kok dg perahu kertas... tapi warnanya emang mirip sih.
@Nathalia >> iya aku suka banget ama pembatas bukunya mbak :)
@Hana >> aku juga sedang belajar review kok Mbak... :)
@Rian Ra-Kun >> mirip dengan apa hayooo...?
Bunda Hana & Muhammad >> Apakah Hana sudah dibelikan Mbak? hehehe
@Zasachi >> aku gak bocorin endingnya lo... hahaha. Gak usah takut kena spoiler :)
@Uniek >> Aduh mbak Uniek, aku juga masih belajar review nih.
@Nurmayanti Zain >> :D
@Gus Priyono >> senyumnya jangan kelamaan... kering entar :D
@Puteriamirillis >> Alhamdulillah jika suka mbak... semoga bermanfaat.
@Orin >> Semoga sekarang sudah beres mbak :)
@Keke Naima >> iya.. ini novel pamungkasnya mbak. Buruan yang lain dikelarin dulu.
@Mbak Iis >> Salam kenal kembali mbak...
@Ria Nugroho >> Oh ya.. Diah emang suka banget sama novel ini :)
@BlogS of Hariyanto >> untuk tahu lebih jauh, baca sendiri aja ya Pak... hahaha
@Bensap >> makasih...
@attayaya >> yah... begitulah kira2 Bang :)
@Hon BookStore >> iya.. sangat menarik kok :)
@Mas Deny >> Terimakasih banyak.
@Diah Alsa >> hahaha... gak perlu envy lagi ya? :)