Minggu, 17 April 2016

Alasan mempertahankan perkawinan

Setiap orang tentu mendambakan kehidupan perkawinan yang harmonis, bahagia dan bisa bertahan sampai maut memisahkan. Itu harapannya, tapi seringkali kenyataan tak sesuai dengan harapan yang ditanam. Selama kehidupan perkawinan memang akan banyak muncul masalah, mulai dari masalah yang sepele sampai masalah yang berat. Mulai dari masalah yang menyangkut anggota keluarga sampai masalah yang menyangkut keluarga dari pasangan hidup. Tentu saja, masalah-masalah yang ada harus dihadapi dan tak bisa dihindari.

Pertanyaannya sekarang, seberapa kuat pasangan-pasangan tersebut menghadapi masalah demi masalah selama kehidupan perkawinan mereka. Ada pasangan-pasangan yang pada akhirnya memilih menyerah dan mengakhiri perkawinan mereka. Namun tak sedikit pasangan yang masih mencoba bertahan untuk mempertahankan perkawinannya. Dan, alasan mengapa mereka mempertahankan perkawinan pun beragam. Seperti kisah yang dialami salah satu temanku, sebut saja namanya Atik.

Atik telah menjalani kehidupan perkawinannya dengan Hamid selama kurang lebih 21 tahun lamanya. Perkenalan mereka berawal dari hubungan korespondensi yang berjalan selama 2 tahun. Selama mereka berkorespondensi itu mereka hanya pernah 2 kali ketemu, maklum saja Atik dan Hamid berada di 2 kota yang berbeda. Itupun hanya pertemuan yang singkat. Meskipun begitu Atik tak keberatan saat Hamid menyatakan keinginannya untuk menikahi Atik. Meskipun Atik belum mengenal baik kepribadian Hamid dan orangtuanya menentang pernikahan itu, namun Atik tetap pada pilihannya untuk menikah dengan Hamid.

Pada kurang lebih 10 tahun pertama pernikahan, Atik dan Hamid tetap tinggal berjauhan. Hamid hanya mengunjungi istri dan anaknya setiap 4 bulan sekali. Ironisnya, setiap kali Hamid datang menemui istri dan anaknya, dia tak pernah membawa uang sepeserpun karena Hamid memang pengangguran. Sementara Atik, adalah seorang PNS. Barulah setelah anak kedua lahir, Hamid pindah ke kota tempat tinggal Atik, istrinya. Karena Hamid tak punya pekerjaan, maka Atik berinisiatif memberikan modal pada suaminya itu untuk berdagang, namun Hamid gagal. Meski sudah berulang kali Atik memberikan modal pada suaminya untuk berdagang, namun tak ada yang berhasil karena Hamid mengerjakannya tidak dengan sepenuh hati.

Lelah memberi modal pada suaminya, akhirnya Atik meminta suaminya mencari pekerjaan. Pada saat Hamid akhirnya mendapatkan pekerjaan, dia jarang masuk kerja. Kondisi tersebut tentu saja membuat Hamid diberhentikan dari pekerjaannya. Atik belum patah semangat, kali ini dibelinya sebidang tanah dengan harapan suaminya mau bercocok tanam di sana. Namun lagi-lagi suaminya tak mau mengerjakannya. Lelah melihat suaminya tak memiliki semangat untuk bekerja dan mencari nafkah untuk anak dan istrinya, akhirnya Atik hanya bisa pasrah melihat suaminya di rumah tanpa melakukan aktivitas apa-apa.

Sayangnya, Hamid itu bukan hanya pemalas tapi juga bukan tipe ayah dan suami yang penyayang. Meski anak atau istrinya sakit pun, Hamid tak pernah berinisiatif merawat dan mengobati anak istrinya yang sedang sakit. Untuk urusan antar jemput anak ke sekolah pun Hamid enggan melakukannya sehingga di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Atik harus pontang-panting antar jemput kedua anaknya ke sekolah. Hamid pun tak bisa sayang dan dekat dengan mertua dan saudara-saudara iparnya.

Meski tak punya kesibukan di rumah (selain makan dan tidur) Hamid tak pernah membantu urusan pekerjaan rumah. Semua urusan rumah dikerjakan Atik dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Meski Atik pontang panting mengerjakan urusan rumah sebelum ke kantor ataupun setelah pulang kantor, Hamid tak pernah berinisiatif membantu. Bahkan untuk bisa menjemur kasur pun Atik harus mengangkatnya sendiri karena suami tak pernah mau membantu.

Jika ada undangan, Hamid tak pernah mau datang. Meskipun itu undangan dari kantor Atik atau undangan perkawinan, Hamid tak pernah mau datang. Atik sudah terbiasa mendengar komentar dari orang lain yang mengatakan "punya suami kok gak pernah dibawa ke mana-mana". Singkatnya tak pernah ada aktivitas yang Hamid lakukan bersama istri dan kedua anaknya.

Untuk urusan makan pun, Hamid selalu ingin menang sendiri. Apapun makanan yang dia ingin makan, maka tak boleh orang lain memakannya bahkan sekedar mencicipinya pun tak boleh. Sudah ribuan kali anak-anaknya menangis karena tak boleh makan sesuatu yang mereka inginkan, karena makanan itu akan dimakan bapak mereka. Meski dia tak kerja, dia selalu ingin makan yang enak-enak dan banyak.

Kondisi rumah tangga yang tidak kondusif membuat perkembangan mental anak-anak Atik sedikit terganggu. Anak sulungnya sangat pasif, introvert dan pendiam, sementara anak kedua menjadi anak yang sangat agresif. Selain itu, ibu kandung Atik sudah ribuan kali tersakiti hatinya oleh sikap dan kata-kata Hamid yang tidak mengenakkan.

Sewaktu aku bertanya kepada Atik tentang alasannya bersikukuh mempertahankan perkawinan, Atik mengatakan bahwa alasannya adalah karena dia merasa bahwa menikah dengan Hamid adalah pilihannya dan oleh sebab itu dia akan bertanggungjawab atas pilihannya itu. Atik menambahkan bahwa seberat apapun akibatnya dia akan berupaya menanggung hasil dari keputusannya dulu.

Selanjutnya kutanyakan kepada Atik, apakah dia tahu bahwa pilihannya dulu (untuk menikah dengan Hamid) adalah pilihan yang salah. Atik mengiyakan dan mengakui bahwa itu adalah suatu kesalahan dan oleh sebab itu dia akan menanggung akibatnya.

Mendengar perkataan Atik tersebut kukatakan padanya bahwa sesungguhnya yang menanggung akibat dari kesalahannya bukan hanya dia semata. Kedua anaknya, orangtuanya bahkan saudara-saudara kandungnya juga ikut menanggung akibat dari pilihannya dulu. Mendengar perkataanku itu Atik terdiam. Selanjutnya Atik mengakui bahwa memang psikologis anak-anaknya terganggu karena sikap dan perilaku Ayah mereka. Bahkan, Atik mengakui bahwa anak-anak terlihat bebas dan bahagia saat Ayah mereka keluar dari rumah.

Kalau keadaannya sudah seperti ini, alasan apa lagi yang dibutuhkan untuk mempertahankan perkawinan? Apakah perkawinan seperti yang dijalani Atik dan Hamid sehat untuk diteruskan? Apakah Atik harus selamanya 'bertanggungjawab' atas pilihannya menerima Hamid sebagai suaminya?

Bagaimana pendapatmu, kawan?


13 komentar:

  1. miris membacanya, cuma bisa berdoa yanng terbaik untuk atik...

    BalasHapus
  2. Kasihan Atik. Biarn pun saya belum menikah, tapi saya bukan orang yang terbiasa tutup telinga ketika rekan kerja bercerita mengenai rumah tangganya.

    Mbak Atik, seharusnya pernikahan itu disudahi. Bukan soal pilihan yang keliru. Tapi Mbak Atik dan anaknya punya hak untuk bahagia. Jika gara-gara pilihan yang keliru harus dipertanggungjawabkan selamanya, kapan atuh kebenarannya akan dicicipi?

    Orang yang salah harus berubah menjadi yang benar. Janganlah terus-terus menyalahi diri sendiri soal ketidakkondusifan keluarga dengan membiarkan keadaannya tetap begitu. Bukan buat Mbak Atik, tapi buat anak-anak. Mereka harus mempunyai kisah hidup yang lebih cerah. mereka butuh itu, Mbak.

    Sebaiknya disudahi. Mbak Atik bukan pengangguran, tidak ada ketakutan soal makan bukan?

    BalasHapus
  3. Astaghfirullah... miris sekali :(
    entah mau berpendapat seperti apa karena saya sendiri pun juga belum menikah. Tapi semoga mbak atik diberi jalan keluar atas semua masalahnya, dan suaminya diberi hidayah :)

    BalasHapus
  4. nah itu lah salah satu alasan kenapa saya masih jomblo, mba. males kalo lagi sial dapet suami kyk gitu. kalo menurut aku sih tinggalin aja cowo matre males kayak gitu, meningan uangnya dipke buat anak. kesalahan itu bukan untuk disesali tapi buat belajar, gimana kita ga ngulangin kesalahan tapi sementara itu life goes on.

    BalasHapus
  5. Ya Allah Mbak, saat membaca sikap Hamid terhadap istri dan anak-anaknya di rumah, aku pingin jewer kuping si Hamid, pingin aku cubit, pingin aku teriakin, pingin aku...iiich, emosiku bergelora dan memanas ketika membaca bahwa si Hamid itu lebih mementingkan dirinya sendiri, pun urusan makan. Duh, Atik, jika ini memang alasan kamu untuk bertanggung jawab atas pilihanmu, ya enggak gitu dong, kasihan orangtua dan saudara-saudaramu, apalagi ada anak di sini, yang tidak merasa bebas jika ada ayahnya.

    Mbak Ren, keren banget penjiwaannya dalam menuliskan cerita ini

    BalasHapus
  6. Mungkin Atik merasa msh ada harapan untuk Hamid,tp apapun alasannya pernikahan seperti tdk baik untuk dipwrtahankan..

    BalasHapus
  7. Kasihan ya mba, tapi aku juga banyak emnemukan orang macam Atik ini, heran kenapa masih bisa dia bertahan.

    BalasHapus
  8. kasihan sekali atik, tapi semoga atik mampu mempertahakan pilihannya, dan semoga hamid lekas di beri jalan agar menjadi lebih baik

    BalasHapus
  9. Walaupun itu pilihannya, tetapi ketika di tengah jalan dia merasa itu nggak baik buat keluarganya apa nggak sebaiknya berpikir ulang? Saya sih jadi kasihan sama anak-anaknya :(

    BalasHapus
  10. Saya suka gemes kalau ada cerita2 serupa Atik dan Hamid. Kok ada laki2 seperti itu, kok si perempuan memilih bertahan? Tapi ketika pada posisi Atik, pasti banyak pertimbangan ketika dia memilih mempertahankan rumah tangganya.

    Hanya bisa berdo'a semoga Atik dan keluarganya mendapatkan jalan terbaik untuk kebaikan semua.

    BalasHapus
  11. meskipun itu pilihan tapi menurutku sih mending digugat cerai saja deh suaminya itu. Itu asli benalu banget menurutku. Itu kalau di Sumatra lelaki seperti itu sudah pasti dikucilkan dan dicibir orang.

    BalasHapus
  12. Kompleks memang situasinya ya mba. Tapi aku percaya pernikahan adalah perjalanan berdua. Suami istri scara setara. Kalau seperti cerita di atas aku juga ngg bisa terima mba

    BalasHapus
  13. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada Atik...

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)