Rabu, 02 September 2009

Lemparan Batu

Masih ada cerita tersisa dari perjalananku ke Jakarta. Semoga sahabat-sahabat yang membaca tidak bosen deh. (^_^) Kali ini aku mau cerita tentang kejadian yang aku alami selama perjalananku yang terakhir kali dengan Kereta Api beberapa hari yang lalu.

Pada saat kereta belum terlalu jauh meninggalkan stasiun Madiun, tiba-tiba terdengar suara benturan yang cukup keras di badan kereta. Rupanya ada orang jahil yang melempari kereta dengan menggunakan batu. Wah, kira-kira mengapa ya ada orang yang sampai berbuat seperti itu ?

Pengalaman itu belum cukup. Saat pulang dari Jakarta, tiba-tiba ada orang yang melempar batu lagi ke kereta yang aku tumpangi. Kali ini mengenai kaca kereta. Hal itu tentu saja mengagetkan penumpang yang duduk tepat di samping jendela, 2 kursi di depanku. Untungnya kaca jendelanya tidak sampai pecah, hanya retak saja. Seandainya kacanya pecah, bisa dipastikan penumpangnya pasti akan mengalami luka yang serius tuh.

Beberapa jam kemudian kejadian serupa terjadi lagi. Kali ini untungnya mengenai badan kereta, seperti saat keberangkatanku sebelumnya. Aku jadi semakin heran, mengapa semakin banyak yang melempari kereta dengan batu. Padahal pada 2 kali perjalananku ke Jakarta sebelumnya, dengan kereta juga, kejadian seperti itu tak terjadi.

Aku tak tahu tentang apa yang menyebabkan terjadinya pelemparan batu itu. Aku tak paham apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Kalau hanya iseng saja, aku tak yakin, karena tindakan itu bisa saja melukai dan mencelakai orang lain. Kalau dilakukan karena rasa tak suka, maka rasa tak suka itu ditujukan kepada siapa ?

Soal lemparan batu itu membuatku jadi teringat dengan buku yang beberapa hari yang lalu selesai aku baca. Buku itu berjudul "Stone in My Hand (sebuah pesan cinta)". Buku yang merupakan karangan Cathryn Clinton ini merupakan sebuah fiksi sejarah, yang menceritakan tentang seorang gadis bernama Malaak dan keluarganya, yang terjadi pada Kota Gaza pada tahun 1988 dan 1989. Pada saat itu Gaza sedang dalam pendudukan tentara Israel dan merupakan tahun awal dari kebangkitan Intifada yang pertama kali. Intifada secara harfiah berarti pembebasan.

Digambarkan, Malaak si gadis kecil itu sempat menjadi pribadi yang sangat tertutup dan pendiam sejak kematian ayahnya pada jaman pendudukan tentara Israel itu. Kehilangan sang ayah sangat memukul perasaan Malaak. Ditambah lagi adanya perubahan keadaan yang semula tentram dan damai menjadi situasi yang sangat tidak menentu dan tidak aman semenjak pendudukan tentara Israel. Dalam kesendiriannya, dan mencoba mencari jawab atas semua tanya yang tak jua menemukan jawabnya, Malaak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama seekor burung yang diberinya nama Abdo.

Setelah ayahnya meninggal, Malaak hidup bersama ibunya, Hend kakak perempuannya dan Hamid, kakak laki-lakinya. Malaak, kakak perempuannya dan ibunya memilih untuk tidak terlibat dalam konflik. Mereka beranggapan rasa aman dapat mereka peroleh jika mereka tidak ‘melawan’ Israel, dan terus menantikan kedamaian tiba kembali. Namun, berbagai kejadian akibat serangan tentara Israel terhadap penduduk setempat telah membuat Hamid terpanggil untuk menjadi pejuang cilik dalam Intifada melawan tentara Israel. Hal itu tentu saja membuat segenap keluarga khawatir, mengingat apa yang telah terjadi pada sang ayah.

Rakyat Palestina telah melakukan berbagai perlawanan untuk menghadapi tentara Israel. Rakyat Palestina, tua muda, telah berjuang dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka memperjuangkan 'kebebasan' yang telah terampas dari hidup mereka. Banyak hal yang telah dicoba Hamid untuk memberikan perlawanan kepada Tentara Israel. Namun seringkali gagal dilakukan jika kegiatan tersebut berhasil diketahui oleh keluarganya. Hamid memang seringkali terpaksa harus menahan diri dalam melakukan perlawanan kepada Tentara Israel mengingat luka yang tersimpan dalam hati keluarganya.

Kegiatan yang paling sering dilakukan Hamid dengan diam-diam melawan tentara Israel adalah melemparkan batu kepada Tentara Israel bersama sahabatnya Tariq. Kondisi Tariq sendiri lebih mengenaskan daripada Malaak. Semenjak sang ayah mati tertembak oleh tentara Israel dalam pangkuannya, Tariq menjadi pribadi yang membisu dan tertutup. Tak ada lagi cahaya dalam kehidupannya, sehingga Tariq nyaris menjadi pribadi misterius yang menyimpan luka.

Suatu kejadian membuat Tariq dapat keluar dari kehidupannya yang sunyi dan mendekatkannya dengan Malaak. Kejadian itu pula yang semakin mendekatkan Malaak kepada kakaknya, Hamid. Namun kekhawatiran akan bayang-bayang kehilangan Hamid membuat Malaak berusaha melawan segala ketakutannya dan rasa traumanya untuk menyelamatkan Hamid, dengan bantuan sebuah bendera Palestina.

Penulis : Cathryn Clinton
Kategori : Fiksi Sejarah
Penerbit : DAR! Mizan
Th. Terbit : 2004 (cetakan I)
Tebal : 231 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 11.000,- (diskon)

24 komentar:

  1. Wah, pengantar reviewnya unik, reviewannya pun menarik....:

    BalasHapus
  2. Wah, buku keren gitu murah ya ternyata....^_^

    BalasHapus
  3. memang setiap postingan mbak reni selalu seeppp...sukses sll..jangan lupa ya mbak untuk votenya di blog aku..

    BalasHapus
  4. Mudahan ringkasan cerita yang disampaikan bisa bermanfaat bagi yang membaca.
    Btw Mbak reni, aku kok jadi kepengen naik kereta api.

    Salam buat gadis kecil yang manis disana.

    BalasHapus
  5. jihad dalam lemparan batu
    sungguh menakjubkan

    Save Palestine

    BalasHapus
  6. Aku juga pernah ngalami Bu..kena kaca disebelahku. Untung batunya gak kena aku, hanya sedikit goresan pecahan kaca kena wajah... yyaaa gpp lah.. aku sdh maafin pelemparnya meskipun gak ketangkep...

    kembali ke buku... kayanya menarik neh ceritanya Bu... penasaran jadinya...

    BalasHapus
  7. Aksi lempar batu KA sudah ada sejak dulu mbak, gak jelas apa maksudnya. Kok gak pernah mikir, siapa tahu saudaranya atau temannya sedang naik kereta itu, lalu kena lemparan batu dan luka parah?

    Mbak, kayaknya ending bukunya kok ngambang ya? Lalu maksud penulisnya apa ya?

    BalasHapus
  8. Lho mbak yuk buru2 amat mertamunya,belum sempet dicipin juga kolek biji salaknya...tahu2 udah pulang aja nih...(^_^)

    BalasHapus
  9. Iseng banget ya mbak yg lempar batu..sepertinya ada unsur sengaja ya,masalahnya sampe tiga kali gitu..sebuah perjalanan yg sarat dng pengalaman ya mbak ...oh ya makasih banyak sudah nge-add saya di fb ya mbak yuk...

    BalasHapus
  10. Itulah mbak, beda batu Palestin dengan batu Indonesia. Batu itu mungkin serupa tapi, beda pada penggunaannya.

    Jadi inget waktu naik KA di Cilegon. Seumur2, baru pertama kali saya naik kereta di Indonesia. Dan, hasilnya sama, pelemparan batu. Kena kepala orang, bocor. Kesian mbak... :(

    BalasHapus
  11. ko' punya sii waktu buat ngebaca semua itu mba'..?!??! keren ajja saiia pikir.. di tengah2 kesibukan sebagai ibu rumah tangga... menghabiskan beratus2 buku (pastinya*) di riview... di tulis ulang di blog.. ck ck ck... saluddd!!!

    lhoohh ko' malah ngalor ngidul gni?!??! gpp kan mba'..??!?! hueheheh.. dasar pingin tauuuuu ajjahhh :(

    BalasHapus
  12. Lemparan batu yang menarik. Kalau yang di palestina, dimaksudkan untuk membebaskan diri dari kedzaliman, katanya.

    BalasHapus
  13. bukunya menarik mbak tapi setuju dengan mbak Fanda... ending bukunya kok ngambang?

    BalasHapus
  14. Saat ini kereta api Indonesia udah dipasangi film di kaca jendelanya buat mencegah lemparan batu memecah kaca yang potensial bisa melukai orang. Beberapa orang memang punya mental jelek dan tidak punya kesadaran untuk menjaga nyawa orang asing. Aku pernah baca ada masinis yang terpaksa pensiun gara-gara buta karena matanya kena pecahan kaca waktu kereta yang dijalaninnya dilemparin batu.

    Gara-gara takut lemparan batu itu, aku nggak pernah sudi duduk di pinggir jendela..

    BalasHapus
  15. jadi akhir ceritanya gimana nih mbak Reni?

    BalasHapus
  16. wah ternyata sebuah kisah mengingatkan akan kisah yang lainnya...sebuah cara untuk mereview dengan briliant nih.....yah khasnya mba reni!!!!!hehehehehe

    BalasHapus
  17. Sip deh repewnya....



    Jika : Kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu tanpa Kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan dan politik tanpa prinsip maka bersiap-siaplah menerima kehancuran. Manusia tidak bisa melakuk...an hal yang benar disatu sisi kehidupannya sementara disisi lainnya ia melakukan hal yang salah. Hidup adalah kesatuan yang tak terbagi-bagi. ( Mahatma Gandhi )

    BalasHapus
  18. Bukunya pasti sangat menarik .....
    yang satu melempar batu karena iseng sementara yang disana melempar batu untuk berjihad.

    BalasHapus
  19. Iya,miris sekali kalau melihat orang-orang yang negaranya masih terjajah.

    BalasHapus
  20. he he .. kalau lempar batu di kereta mah sudah dari dulu mbak, sampai sekarang. Kalau melakukan perjalanan kereta dari jakarta to bogor. minimal yah adalah satu kenang kenangan. he he ..
    tapi sesekali pernah sepi juga. Suamiku pernah kena, lecet di dahi. yah berdarah sedikit. waktu itu malah naik kereta ekonomi yang notabene jendelanya terbuka sana sini.

    Begitulah nasib kereta kita. Sudah memprihatinkan, eh rakyatnya tak menjaga keutuhan keretanya .. gimana gak pusing pemerintah ..

    BalasHapus
  21. @all : akhir buku "Stone in My Hand" memang menggantung. Hamid masih dalam kondisi antara hidup dan mati. Hanya tergambar tekad Malaak untuk membantu kesembuhan kakaknya.
    Soal kereta yg dilempari batu, aku sendiri merasa heran kenapa rakyat suka merusak barang-2 milik mereka sendiri ya? Bukankah kereta-2 itu juga mereka biayai dari pajak yg mereka bayar ? Ternyata masyarakat kita belum punya "rasa ikut memiliki"

    BalasHapus
  22. Mbak...aku numpang pinjam gambar cover buku ini + aku link posting ini untuk resensinya ya...

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)