Ini adalah sebuah kisah tentang 'diskriminasi pendidikan' di sebuah kota antah berantah. Aku mendengar kisah ini beberapa waktu yang lalu. Kisah perbedaan perlakuan dari dinas pendidikan terhadap sekolah swasta dan sekolah negeri. Terus terang saja, saat mendengar kisah itu aku ikut merasa prihatin, mengapa sampai sekarang diskriminasi pendidikan masih ada. Bedanya, jika seringkali yang mendapat perlakuan istimewa adalah sekolah-sekolah swasta yang menuntut biaya mahal, namun dalam kisah yang aku dengar kali ini adalah sebaliknya.
Oke, daripada berteka-teki lebih lama, aku akan langsung cerita saja. Jadi, di sebuah kota antah berantah ada sebuah sekolah swasta yang relatif baru, karena baru tahun ini akan meluluskan muridnya yang kini duduk di kelas 6 SD. Sekolah swasta (SD) itu didirikan dengan semangat untuk memberikan kesempatan pada murid-muridnya mengembangkan kemampuannya sebaik mungkin. Selain itu, SD itu juga mengusung semangat cinta pada alam dan lingkungan.
Untuk setiap kelas, ada 2 orang guru yang bertugas mendampingi murid-muridnya belajar. Walau jumlah murid di setiap kelas tidak banyak, tetap ada 2 guru di setiap kelas. Memang, secara keseluruhan jumlah murid pada SD swasta itu tak banyak. Itu berarti, tak banyak pemasukan yang diterima oleh SD Swasta itu untuk membiayai operasional sekolah dan juga menggaji guru-gurunya. Saat aku mendengar berapa jumlah gaji yang diterima oleh masing-masing guru di SD swasta itu, aku nyaris tak percaya! Gaji mereka sangat kecil, tapi mereka tetap mendampingi dan mengajar murid-muridnya sepenuh hati.
Guru-guru pada SD swasta itu selalu bersemangat mendorong murid-muridnya untuk mengikuti berbagai ajang lomba. Mereka pun tak segan meluangkan waktu untuk memberikan pembinaan dan pembekalan bagi setiap murid yang akan mengikuti lomba. Mereka melakukan itu, tanpa menuntut imbalan sama sekali. Semua dilakukan demi kemajuan murid-murid dan juga sekolah mereka. Keseriusan guru-guru itu membuahkan hasil yang menggembirakan, karena murid-murid SD swasta itu telah berulang kali berhasil merebut kejuaraan di berbagai ajang lomba.
Ironisnya, dinas pendidikan pada kota antah berantah itu seolah menutup mata atas semua keberhasilan yang telah dicapai SD swasta itu. Pernah dalam suatu upacara hari besar nasional, diumumkan tentang prestasi murid-murid dari berbagai sekolah di kota antah berantah itu. Sayangnya, yang diumumkan pada upacara hari besar itu hanyalah prestasi dari murid-murid sekolah negeri saja, sementara prestasi dari murid-murid SD swasta itu tak disebutkan sama sekali.
Pernah suatu kali murid SD swasta itu berkesempatan mewakili kota antah berantah itu mengikuti lomba tingkat provinsi. Namun, dinas pendidikan tak memberikan bantuan sama sekali untuk pengiriman peserta di ajang lomba tingkat provinsi itu. Akhirnya, orang tua murid yang mau ikut lomba dan guru-guru di SD swasta itu pun patungan untuk bisa memberangkatkan muridnya mewakili kota mereka bertanding tingkat provinsi. Menyedihkan sekali....
Yang aku sayangkan, mengapa untuk urusan pendidikan harus ada diskriminasi. Memang, sejauh ini hanya lomba yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah saja yang diakui dan dihitung bobotnya untuk point saat memasuki jenjang pendidikan yang tinggi. Mungkin dasar pemikirannya adalah karena lomba yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dinilai lebih berkualitas. Oke, aku menerima pandangan dan tidak menyalahkan pandangan itu sama sekali. Tapi, kita tetap tak bisa menutup mata jika ada lomba yang tidak diselenggarakan oleh instansi pemerintah namun tak kalah berkualitas dari lomba yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Mau contoh? Salah satunya adalah Olimpiade Sains Kuark (OSK). Siapa yang berani menyangkal kualitas seorang Johanes Surya yang ada di balik gelaran OSK itu? Siapa yang tidak tahu bahwa tangan dingin Johanes Surya telah berulang kali membawa nama harum Negara Indonesia di ajang Olimpiade Fisika tingkat dunia? Tapi, apakah murid yang berprestasi dalam OSK 'dihargai' setinggi murid yang berprestasi pada olimpiade yang digelar instansi pemerintah? Ternyata tidak! Point yang diterima oleh juara OSK lebih rendah dari juara Olimpiade yang digelar oleh instansi pemerintah.
Selain itu, tak semua lomba yang diikuti murid diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Ada banyak jenis lomba yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Bagiku, yang terpenting adalah kesempatan bagi anak-anak untuk menggali potensi dirinya dan mengembangkan diri sebaik mungkin. Tak perlu terlalu ribet memandang siapa penyelenggara pendidikan atau siapa penyelenggara lomba. Bukankah seharusnya anak-anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bisa mengembangkan potensi dirinya, agar mereka kelak mereka dapat memberikan yang terbaik dari diri mereka sesuai kemampuan masing-masing.
Jika sekarang saja, prestasi murid SD swasta 'tidak diakui' oleh dinas pendidikan bisa jadi murid-murid itu lantas jadi patah semangat untuk meraih prestasi sebaik-baiknya. Dimanapun anak menimba ilmu atau menguji kemampuan diri lewat ajang lomba, tanpa melihat siapa lembaga penyelenggaranya, harusnya mereka mendapat support yang sama besarnya. Harusnya mereka diakui atas prestasi yang telah mereka peroleh melalui perjuangan. Biarkan mereka belajar dan berproses... tanpa perlu ribet soal hal-hal yang tak penting lainnya.
Itu menurutku..., bagaimana menurutmu?
Oke, daripada berteka-teki lebih lama, aku akan langsung cerita saja. Jadi, di sebuah kota antah berantah ada sebuah sekolah swasta yang relatif baru, karena baru tahun ini akan meluluskan muridnya yang kini duduk di kelas 6 SD. Sekolah swasta (SD) itu didirikan dengan semangat untuk memberikan kesempatan pada murid-muridnya mengembangkan kemampuannya sebaik mungkin. Selain itu, SD itu juga mengusung semangat cinta pada alam dan lingkungan.
Untuk setiap kelas, ada 2 orang guru yang bertugas mendampingi murid-muridnya belajar. Walau jumlah murid di setiap kelas tidak banyak, tetap ada 2 guru di setiap kelas. Memang, secara keseluruhan jumlah murid pada SD swasta itu tak banyak. Itu berarti, tak banyak pemasukan yang diterima oleh SD Swasta itu untuk membiayai operasional sekolah dan juga menggaji guru-gurunya. Saat aku mendengar berapa jumlah gaji yang diterima oleh masing-masing guru di SD swasta itu, aku nyaris tak percaya! Gaji mereka sangat kecil, tapi mereka tetap mendampingi dan mengajar murid-muridnya sepenuh hati.
Guru-guru pada SD swasta itu selalu bersemangat mendorong murid-muridnya untuk mengikuti berbagai ajang lomba. Mereka pun tak segan meluangkan waktu untuk memberikan pembinaan dan pembekalan bagi setiap murid yang akan mengikuti lomba. Mereka melakukan itu, tanpa menuntut imbalan sama sekali. Semua dilakukan demi kemajuan murid-murid dan juga sekolah mereka. Keseriusan guru-guru itu membuahkan hasil yang menggembirakan, karena murid-murid SD swasta itu telah berulang kali berhasil merebut kejuaraan di berbagai ajang lomba.
Ironisnya, dinas pendidikan pada kota antah berantah itu seolah menutup mata atas semua keberhasilan yang telah dicapai SD swasta itu. Pernah dalam suatu upacara hari besar nasional, diumumkan tentang prestasi murid-murid dari berbagai sekolah di kota antah berantah itu. Sayangnya, yang diumumkan pada upacara hari besar itu hanyalah prestasi dari murid-murid sekolah negeri saja, sementara prestasi dari murid-murid SD swasta itu tak disebutkan sama sekali.
Pernah suatu kali murid SD swasta itu berkesempatan mewakili kota antah berantah itu mengikuti lomba tingkat provinsi. Namun, dinas pendidikan tak memberikan bantuan sama sekali untuk pengiriman peserta di ajang lomba tingkat provinsi itu. Akhirnya, orang tua murid yang mau ikut lomba dan guru-guru di SD swasta itu pun patungan untuk bisa memberangkatkan muridnya mewakili kota mereka bertanding tingkat provinsi. Menyedihkan sekali....
Yang aku sayangkan, mengapa untuk urusan pendidikan harus ada diskriminasi. Memang, sejauh ini hanya lomba yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah saja yang diakui dan dihitung bobotnya untuk point saat memasuki jenjang pendidikan yang tinggi. Mungkin dasar pemikirannya adalah karena lomba yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dinilai lebih berkualitas. Oke, aku menerima pandangan dan tidak menyalahkan pandangan itu sama sekali. Tapi, kita tetap tak bisa menutup mata jika ada lomba yang tidak diselenggarakan oleh instansi pemerintah namun tak kalah berkualitas dari lomba yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Mau contoh? Salah satunya adalah Olimpiade Sains Kuark (OSK). Siapa yang berani menyangkal kualitas seorang Johanes Surya yang ada di balik gelaran OSK itu? Siapa yang tidak tahu bahwa tangan dingin Johanes Surya telah berulang kali membawa nama harum Negara Indonesia di ajang Olimpiade Fisika tingkat dunia? Tapi, apakah murid yang berprestasi dalam OSK 'dihargai' setinggi murid yang berprestasi pada olimpiade yang digelar instansi pemerintah? Ternyata tidak! Point yang diterima oleh juara OSK lebih rendah dari juara Olimpiade yang digelar oleh instansi pemerintah.
Selain itu, tak semua lomba yang diikuti murid diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Ada banyak jenis lomba yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Bagiku, yang terpenting adalah kesempatan bagi anak-anak untuk menggali potensi dirinya dan mengembangkan diri sebaik mungkin. Tak perlu terlalu ribet memandang siapa penyelenggara pendidikan atau siapa penyelenggara lomba. Bukankah seharusnya anak-anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bisa mengembangkan potensi dirinya, agar mereka kelak mereka dapat memberikan yang terbaik dari diri mereka sesuai kemampuan masing-masing.
Jika sekarang saja, prestasi murid SD swasta 'tidak diakui' oleh dinas pendidikan bisa jadi murid-murid itu lantas jadi patah semangat untuk meraih prestasi sebaik-baiknya. Dimanapun anak menimba ilmu atau menguji kemampuan diri lewat ajang lomba, tanpa melihat siapa lembaga penyelenggaranya, harusnya mereka mendapat support yang sama besarnya. Harusnya mereka diakui atas prestasi yang telah mereka peroleh melalui perjuangan. Biarkan mereka belajar dan berproses... tanpa perlu ribet soal hal-hal yang tak penting lainnya.
Itu menurutku..., bagaimana menurutmu?
iya mbak,,deskriminasi itu masih ada,,,nggak tau mengapa sampai zaman se modern ini masih ada yg namanya deskriminasi,,,kasian ya yg rumahnya pelosok,,,ini bisa saja dikatakan tidak adil,,
BalasHapushmm, miris baca postingan ini...kasian juga kalau begini...tapi salut ama gurunya yang berjuang buat kemajuan anak muridnya.
BalasHapussangat nggak adil mbak.
BalasHapusaku tau kok klo sekolah swasta jaman skrg itu bnyk yg kualitasnya lebih bagus drpada sekolah negeri.
tapi opini publik / awam yg blmpaham masih menganaktirikan sklolah swasta.
Sebenarnya, mengharapkan pemerintah menghargai sekolah swasta nampaknya masih jauh dari harapan. Sekolah swasta berjasa besar karena meringankan beban pemerintah untuk memberikan pendidikan pada rakyat kecilnya. Tapi bila pemerintah tidak mau merangkul sekolah swasta, maka sekolah swasta mestinya tidak usah mengemis bantuan kepada pemerintah. Demikian kalau ada prestasi yang menyangkut sekolah itu, ya nama sekolahnya saja yang disebut, tidak usah menyebut-nyebut "terima kasih kepada dinas pendidikan kota kami".
HapusOoh begitu ya, Mba.. aku baru tahu klo ada diskriminasi pendidikan ini, padahal anak2ku mau kusekolahin ke swasta aja.
BalasHapusMasih ada yang seperti itu sekarang? ck..ck...
BalasHapusKalau di Jakarta ... (at least Jabodetabek )
BalasHapusKondisinya (menurut pengamatan terbatas saya) justru kebalikannya ...
Sekolah Swasta (baik itu berbasis Umum, Islam, Kristen, Katolik dan sebagainya) justru lebih meraja lela ... mutu mereka diakui ... setara ... atau bahkan lebih tinggi dari sekolah negeri.
Dan itu diakui ...
Ini menurut pendapat pribadi saya
Salam saya Mbak
(3/4 : 3)
saya setuju salah besar jika ada diskriminasi pendidikan. Siapapun anak bangsa ini, harus sama dlm menerima pendidikan karena kita semua tinggal dalam satu atap, Indonesia. Dan siapapun yg melakukan diskriminasi ini, harus dibukakan 'mata'nya.
BalasHapusMemang tidak bisa dipungkiri Mbak bahwa kenyataannya seperti itu. Untuk itu akan lebih bagus kalau SD swasta tersebut bisa mencetak lulusan yang nantinya bisa masuk di sekolah-sekolah milik pemerintah atau sekolah swasta lain yang kompeten sehingga nantinya prestasi anak-anak bisa diakui oleh Pemerintah.
BalasHapusLha koq ya ironi ya Jeng, selama standarnya jelas kan bisa disandingkan nggih. Salam
BalasHapusAda kerja keras dan niat yang baik salut deh. Padahal swasta ya semangat mendidik yg patut di contoh.
BalasHapusdi makassar juga kejadian ini terjadi...saya malah beranggapan..mengapa murid2 dari sekolah swasta tidak disebutkan saat mereka berprestasi...mungkin karena pihak dinas terkait malu hati....karena dari sekolah yang dikelolal pemerintah kalah dengan sekolah swasta.......keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
BalasHapusMbak Renny,
BalasHapussaya juga baru mau menulis tentang ini, gemas karena seolah prestasi yang diraih oleh anak selain dalam instansi pemerintah tidak berharga!
Thanks for share mbak Renny ! Semoga kita bisa memperjuangkan melalui tulisan kita yaa
Anakku sekolah di negeri mbak, tapi aku juga nggak puas dg kredit penilaian. Misal lomba paskibra menang, masa 30 anak dalam satu pasukan itu dapat nilai dr diknas yg sama bobotnya anak2 yg ikut lomba individu.
BalasHapussama seperti Om NH, kalau ditempatku untuk swasta sekolahnya lebih tinggi mutu pendidikannya mbak. entah di daerah lain
BalasHapusHhhh kota yang aneh ... mudah2an saja bisa ada perbaikan setelah pemilu ini ...
BalasHapuspadahal Olimpiade Kuark itu bagus, ya
BalasHapusbila tingkat SD, di Garut yang swasta lebih bagus kualitasnya, mbak.
BalasHapus(btw ... link blog saya gak ada ya? perasaan dulu ada deh hehe ...)
diskriminasi pasti ada. Dinas pendidikan dan Departemen Agama kadang tidak sejalan. Dan beberapa kebijakan dibuat berbeda. Gaji di antara dua tempat ini pun berbeda. Dan jangan ditanya berapa gaji seorang guru honorer
BalasHapushmmm antara sedih, kesel, dan kecewa bacanya..
BalasHapusjangankan masalh itu mbk.. dalm mencari kerja yang diutamakan juga yg negeri.. pdhal gitu itu kan harus ngeliyat skillnya dia ya jgn melihat status skul aja ksian dong..
BalasHapusMeski cerita dari negeri antah brantah tapi nyata ya sob...dan kenyataan memng sperti tu bahkan sampe level PT
BalasHapussepertinya pemerintah lebih memprioritaskan masalah 'negeri' atau 'swasta', tapi tidak memprioritaskan kualitas/potensi si murid.
BalasHapusMungki sekolah swasta tidak melaporkan kegiatan mereka secara rutin ke dinas pendidikan sehingga kurang terpantau oleh instansi tersebut.
BalasHapusSekolah swasta tersebut tetaplah semangat mengabdi, tunjukkan prestasi. Suatu saat akan melihat hasilnya. Soal diskriminasi atau tidak jangan dipikirkan. Maju terus.
Salam hangat dari Surabaya
Sebenarnya sekolah itu tak ngaruh kok swasta atau negeri mah sama saja
BalasHapusTinggal siswanya mau serius belajar atau gak
Setuju dg pakde mungkin saja sekolah swasta tidak melaporkan prestasinya kepada dinas pendidikan
Dikriminasi merupakan sebuah tindakan yang harus dihapuskan di tanah air kita ini mbak, tetapi apa yang mau dibuat jika oknum-oknumnya masih tidak dapat dicegah, mereka lebih mementingkan pribadi sendiri daripada keperluan banyak orang
BalasHapusah... semoga saja diskriminasi seperti ini tak ada lagi... negeri & swasta sama-sama berperan aktif mencerdaskan anak bangsa!
BalasHapussetujuuuh, semua anak belajar itu ada prosesnya..dan seharusnya proseslah yg dinilai
BalasHapusAssalamualaikum Bunda,
BalasHapusMohon numpang share yaa....
PENERIMAAN SISWA BARU 2014/2015
Bintang Waktu Islamic Preschool & Daycare membuka pendaftaran siswa baru untuk tahun ajaran 2014/2015. Pendaftaran di mulai tanggal 1 Februari 2014, sampai kuota kelas terpenuhi
Proses pendaftaran:
1. Orang tua mendaftarkan calon siswa untuk melakukan free-trial (untuk Kelompok Preschool) dan paid trial (untuk Kelompok Daycare) selama 2 hari, yang jadwalnya akan disusun oleh bagian Marketing kami
2. Bila telah setuju, orang tua dapat langsung mendaftarakan siswanya dengan melalui tahapan berikut:
3. Mengisi Formulir Pendaftaran
• Menyelesaikan pembayaran melalui bank yang ditunjuk
• Menyerahkan kelengkapan:
o Fotocopy akte kelahiran/surat kenal lahir.
o Fotocopy KTP/Kartu Keluarga
o Bukti pembayaran
Pembagian Kelompok Usia:
1. Kelompok Bintang Kecil:
• Kelompok Usia 1,5-2thn : Kelahiran antara Oktober 2012-April 2013
• Kelompok Usia 2-3thn : Kelahiran antara Oktober 2011-September 2012
2. Kelompok Bintang Besar:
• Kelompok Usia 3-4thn: Kelahiran antara Oktober 2010-September 2011
• Kelompok Usia 4-5thn: Kelahiran antara Oktober 2009-September 2010
• Kelompok Usia 5-6thn: Kelahiran antara Juli 2008-September 2009
Kuota yang dapat diterima berdasarkan usia:
1. Kelompok Bintang Kecil
• Kelompok Usia 1,5-2thn
o Preschool : 3 anak
o Daycare : 2 anak
• Kelompok Usia 2-3thn
o Preschool : 3 anak
o Daycare : 1 anak
2. Kelompok Bintang :
• Kelompok Usia 3-4thn
o Preschool : 0 anak
o Daycare : 1 anak
• Kelompok Usia 4-5thn
o Preschool : 0 anak
o Daycare : 1 anak
• Kelompok Usia 5-6thn
o Preschool : 1 anak
o Daycare : 1 anak
Informasi lebih lanjut :
Bunda Metta 021-4241586 / 0896-90363770
Ini juga terjadi dengan anak saya. Dulu anak sy sekolah di swasta, namun sejak ayahnya meninggal 2 th terakhir ini sejak kelas 5 dan 6 di pindah ke SD Negeri di JKT. Nov 2013 lalu anak saya meraih medali Gold dalam olimpiade sains dan matematika tingkat asia dgn penyelenggara Prof. Yohanes Surya. Kmd dgn hati riang saya minta legalisir sertifikatnya ke dikdas Jkt Tim supaya anak saya bisa melalui jalur prestasi utk mendapatkan SMP favorit di Jkt, tp pihak dikdas saat itu dgn ringannya mengatakan, "kami belum tahu tentang olimpiade itu" mereka hanya mau terima OSN (olimpiade sains yang diadakan oleh pemerintah) saja, betapa kecewanya hati saya dan anak saya mendengar hal tersebut. Mengapa pihak kemendikbud dalam hal ini dikdas yang menerima saat itu sangat tidak menghargai hasil perjuangan dan jerih payah seorang anak bangsa untuk mendapatkan prestasi dan pendidikan.... apakah ini yang disebut keadilan di negeri ini, bahkan untuk sesuatu yang diperjuangkan dengan mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran pun tidak dihargai....
BalasHapusperlakuan yang berbeda juga sering terjadi antara murid kaya dan miskin.
BalasHapusMbak Reni klo ngomongin masalah pendidikan saya suka gemes, entah bagaimana nasib anak2 kita nantinya klo diskriminasi ini terus berkelanjutan. Kayaknya Indonesia harus move on dan menghapus segala bentuk diskriminasi dlm bidang pendidikan.
BalasHapus