Sepatu Dahlah adalah buku pertama dari Trilogi Novel Inspirasi Dahlan Iskan yang ditulis oleh Khrisna Pabichara. Sepatu Dahlan bercerita tentang kisah masa kecil Muhammad Dahlan (dari SD sampai SMA) yang tinggal di sebuah desa kecil dan miskin di Magetan yang bernama : Kebon Dalem.
Meskipun hidup miskin, Dahlan beserta kedua orang tuanya dan juga saudara-saudaranya hidup dalam kehangatan cinta. Ibu yang penuh kasih pada anak-anaknya dan Ayah yang pekerja keras dan pandai mendongeng membuat anak-anaknya merasakan kehidupan yang menyenangkan.
Kelaparan adalah hal biasa bagi Dahlan dan Zain, adiknya. Terkadang, Dahlan terpaksa harus mencuri tebu sekedar untuk dapat mengganjal perut yang keroncongan. Di lain waktu, demi mengisi perut yang keroncongan mereka memilih minum air kelapa. Cara lain untuk menahan lapar adalah dengan melilitkan sarung dengan ketat di perut.
Kerja keras sudah menjadi bagian dari kehidupan Dahlan kecil. Berbagai pekerjaan dilakukannya agar bisa makan, seperti menjadi nguli nyeset, nguli nandur ataupun jadi pelatih tim volly. Meskipun semua anggota keluarga sudah bekerja keras, namun tetap saja kemiskinan masih enggan meninggalkan mereka.
Trenyuh hati saat membaca bagaimana beratnya masa kecil yang dilalui Dahlan dan keluarganya dalam kemiskinan. Meskipun begitu, semangat untuk maju sangat kuat dalam keluarga itu. Sekolah adalah nomor satu. Demi sekolah apapun dilakukan, termasuk jalan kaki ke sekolah tanpa alas kaki sepanjang 12 Km setiap hari. Untungnya, Dahlan mampu berprestasi di sekolahnya.
Cita-cita Dahlan saat itu adalah punya sepeda dan sepatu. Pertama kali Dahlan memakai sepatu bekas saat lomba volly saat kelas 3 SMP. Sepatu bekas itu pun hadiah dari teman-temannya bagi Dahlan yang akan mewakili sekolah ikut lomba volly. Sepatu bekas itu kekecilan di kaki Dahlan sehingga sempat melukai kaki Dahlan saat lomba volly berlangsung.
Barulah saat SMA Dahlan berhasil membeli sepeda dan sepatu bekas dari hasil kerha kerasnya. Sengaja Dahlan membeli 2 sepatu bekas sekaligus karena dia ingin adiknya, Zain, dapat pergi ke sekolah dengan menggunakan sepatu juga. Ada rasa haru dalam hatiku saat akhirnya Dahlan berhasil juga membeli sepatu yang diidamkannya sejak kecil.
Membaca kisah perjuangan Dahlan, tak heran jika kini Dahlan menjadi orang yang berhasil karena keuletannya. Kerasnya kehidupan masa kecil telah menempa Dahlan menjadi sosok manusia yamg kuat. Aku belajar banyak dari kisah hidup Dahlan ini. Aku salut akan semangatnya yang tak kenal lelah.
Yang "menghibur" adalah kisa cinta (monyet) antara Dahlan dan Aisha. Lucu sekali membaca bagaimana anak-anak SMP saat itu mulai mengenal cinta. Cerita persahabatan antara Dahlan dengan teman-temannya juga sangat menghibur, lucu dan menyentuh.
Secara singkat kukatakan bahwa aku sangat menikmati membaca buku ini. Namun, ada beberapa hal yang "mengganjal" hatiku
1. Soal harga barang-barang yang menurutku kurang sesuai pada saat itu
Harga beras sebesar Rp. 14/kg. (Tahun 1961)
Sepeda ringsek dihargai dengan 3 ekor kambing, padahal harga seekor kambing adalah Rp. 25.000. Jadi harga sepeda ringsek itu Rp. 75.000 (tahun 1963)
Sepatu baru dari salah seorang teman Dahlan seharga Rp. 125.000 (tahun 1964)
Dahlan bisa membeli 2 sepatu bekas seharga Rp. 30.000 (tahun 1965)
Rasanya penggambaran harga di dalam novel ini kurang tepat, karena tahun 1995 aku menerima gaji CPNS kurang lebih Rp. 120.000 sementara harga sepatu baru tahun 1964 seharga Rp. 125.000. Padahal saat ini harga sepatu baru kurang lebih sekitar Rp. 150.000
2. Arti Bahasa Jawa yang kurang tepat
Diceritakan dalam novel itu bahwa "Kupat" berasal dari kata : kulo lepat artinya aku lupa. Padahal, dalam Bahasa Jawa "lepat" itu bukan berarti "lupa" tapi "salah". Jadi kulo lepat harusnya artinya adalah saya salah.
Secara keseluruhan dapat kukatakan bahwa novel ini menarik dan akan semakin menarik lagi apabila 'ketidak sesuaian' harga-harga di atas dapat disesuaikan dengan masanya saat itu. Bagaimanapun aku terinspirasi oleh perjalanan Dahlan yang luar biasa.
Meskipun hidup miskin, Dahlan beserta kedua orang tuanya dan juga saudara-saudaranya hidup dalam kehangatan cinta. Ibu yang penuh kasih pada anak-anaknya dan Ayah yang pekerja keras dan pandai mendongeng membuat anak-anaknya merasakan kehidupan yang menyenangkan.
Kelaparan adalah hal biasa bagi Dahlan dan Zain, adiknya. Terkadang, Dahlan terpaksa harus mencuri tebu sekedar untuk dapat mengganjal perut yang keroncongan. Di lain waktu, demi mengisi perut yang keroncongan mereka memilih minum air kelapa. Cara lain untuk menahan lapar adalah dengan melilitkan sarung dengan ketat di perut.
Kerja keras sudah menjadi bagian dari kehidupan Dahlan kecil. Berbagai pekerjaan dilakukannya agar bisa makan, seperti menjadi nguli nyeset, nguli nandur ataupun jadi pelatih tim volly. Meskipun semua anggota keluarga sudah bekerja keras, namun tetap saja kemiskinan masih enggan meninggalkan mereka.
Trenyuh hati saat membaca bagaimana beratnya masa kecil yang dilalui Dahlan dan keluarganya dalam kemiskinan. Meskipun begitu, semangat untuk maju sangat kuat dalam keluarga itu. Sekolah adalah nomor satu. Demi sekolah apapun dilakukan, termasuk jalan kaki ke sekolah tanpa alas kaki sepanjang 12 Km setiap hari. Untungnya, Dahlan mampu berprestasi di sekolahnya.
Cita-cita Dahlan saat itu adalah punya sepeda dan sepatu. Pertama kali Dahlan memakai sepatu bekas saat lomba volly saat kelas 3 SMP. Sepatu bekas itu pun hadiah dari teman-temannya bagi Dahlan yang akan mewakili sekolah ikut lomba volly. Sepatu bekas itu kekecilan di kaki Dahlan sehingga sempat melukai kaki Dahlan saat lomba volly berlangsung.
Barulah saat SMA Dahlan berhasil membeli sepeda dan sepatu bekas dari hasil kerha kerasnya. Sengaja Dahlan membeli 2 sepatu bekas sekaligus karena dia ingin adiknya, Zain, dapat pergi ke sekolah dengan menggunakan sepatu juga. Ada rasa haru dalam hatiku saat akhirnya Dahlan berhasil juga membeli sepatu yang diidamkannya sejak kecil.
Membaca kisah perjuangan Dahlan, tak heran jika kini Dahlan menjadi orang yang berhasil karena keuletannya. Kerasnya kehidupan masa kecil telah menempa Dahlan menjadi sosok manusia yamg kuat. Aku belajar banyak dari kisah hidup Dahlan ini. Aku salut akan semangatnya yang tak kenal lelah.
Yang "menghibur" adalah kisa cinta (monyet) antara Dahlan dan Aisha. Lucu sekali membaca bagaimana anak-anak SMP saat itu mulai mengenal cinta. Cerita persahabatan antara Dahlan dengan teman-temannya juga sangat menghibur, lucu dan menyentuh.
Secara singkat kukatakan bahwa aku sangat menikmati membaca buku ini. Namun, ada beberapa hal yang "mengganjal" hatiku
1. Soal harga barang-barang yang menurutku kurang sesuai pada saat itu
Harga beras sebesar Rp. 14/kg. (Tahun 1961)
Sepeda ringsek dihargai dengan 3 ekor kambing, padahal harga seekor kambing adalah Rp. 25.000. Jadi harga sepeda ringsek itu Rp. 75.000 (tahun 1963)
Sepatu baru dari salah seorang teman Dahlan seharga Rp. 125.000 (tahun 1964)
Dahlan bisa membeli 2 sepatu bekas seharga Rp. 30.000 (tahun 1965)
Rasanya penggambaran harga di dalam novel ini kurang tepat, karena tahun 1995 aku menerima gaji CPNS kurang lebih Rp. 120.000 sementara harga sepatu baru tahun 1964 seharga Rp. 125.000. Padahal saat ini harga sepatu baru kurang lebih sekitar Rp. 150.000
2. Arti Bahasa Jawa yang kurang tepat
Diceritakan dalam novel itu bahwa "Kupat" berasal dari kata : kulo lepat artinya aku lupa. Padahal, dalam Bahasa Jawa "lepat" itu bukan berarti "lupa" tapi "salah". Jadi kulo lepat harusnya artinya adalah saya salah.
Secara keseluruhan dapat kukatakan bahwa novel ini menarik dan akan semakin menarik lagi apabila 'ketidak sesuaian' harga-harga di atas dapat disesuaikan dengan masanya saat itu. Bagaimanapun aku terinspirasi oleh perjalanan Dahlan yang luar biasa.
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Terbit : Mei 2012
Tebal : 392halanam
Harga : Rp. 62.500,-
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Terbit : Mei 2012
Tebal : 392halanam
Harga : Rp. 62.500,-
akhir akhir ini sosok dahlan iskan selalu menjadi berita yang dinanti, sosok fenomenal dengan karya yang luarbiasa..termasuk buku-buku-nya....salam :-)
BalasHapusharga sepatu yang murah banget, iya mbak agak ganjal ya...
BalasHapusato itu sepatu memang sepatu yg jaman sekarang udah 10 jutaan...
ga mungkin yaaa????
halo mbak reni...
aku hrs nunggu sampai ke kampungku lagi di sana mbak buat bisa novel ini :)
BalasHapuswah, saya udah pernah baca ni mbaaak,
BalasHapussederhana banget bahkan miskin masa kecilnya yaaa..
banyak yang termotivas, semoga
bu...
BalasHapusbukannya tahun tahun itu angka inflasi indonesia sempat menggila persis seperti waktu suksesi dari orde baru ke orde refotnasi..?
kayaknya ceritanya inspiatif. tapi kenapa ya kalo baca yang semacam itu yang kepikiran cuma suksesnya doang. masa masa susahnya ogah...
Aku belum baca loh mbak bukunya
BalasHapusmungkin salah satu dari sedikit orang baik yang sekarangg duduk di tempat tinggi.. :)
BalasHapusinspiratif bgt ya mbak bukunya?
sepertinya menarik mbak bukunya.. wajar ada salah-salah mungkin editornya lagi ngantuk jadi korelasi realita jaman itu tidak bisa digambarkan dengan tepat :)
BalasHapusaku belum baca nih. kayaknya menarik ya
BalasHapusMungkin buku itu kurang menjelaskan inflasi tahun 60-an yang gila-gilaan, mbak. Bisa jadi bener.
BalasHapustahun 60-an, inflasi di Indonesia mencapai 600%. Terpaksa tanya google sih tuk jawab ini.
Saat itulah (1965) redenominasi pertama di Indonesia diberlakukan dengan mencoret 3 angka dibelakang.
@Jeng Sri >> walah... gak laku aku jadi tukang edit mbak hehehe
BalasHapus@BlogS of Hariyanto >> Iya Pak, kita belajar dari kisah hidup salah satu tokoh di negara kita : Dahlan Iskan :D
@puteriamarillis >> itulah, aku sendiri bingung soal harga sepatu yang terpaut jauh dg harga beras saat itu.
@duniaely >> ntar pas sampai kampung halaman, numpuk deh tuh buku2 yang ingin dibeli mbak hehehe
@yudi darmawan >> iya, emang masa kecilnya Dahlan Iskan sangat memprihatinkan. Semoga menginspirasi kita.
@Rawins >> nah itu dia Kang, aku belum lahir tahun 60-an itu. Apa mungkin memang saat itu harga sepatu sedemikian mahalnya? Bahkan lebih mahal dari harga kambing??
@Lidya >> buruan baca mbak... pasti seneng deh
@Arif Chasan >> bener, bagiku sangat menginspirasi
@papapz >> memang menarik kok, aku seneng sempat membaca buku ini :)
@Sang Cerpenis >> masak belum baca? wah... kejutan ini! biasanya mbak Fanny selalu lebih dulu drpd aku lo
@Susi Susindra >> oh gitu ya mba? sebenarnya sih di novel itu disinggung sedikit tentang harga2 yang melambung tinggi tapi gak ada cerita ttg redenomisi. Tapi masak iya harga kambing lebih murah dari harga sepatu baru mbak?
buku ini sangat mengisnpirasi
BalasHapusyang nulis review juga teliti banget
cocok jadi editor, mbak
wah wah ... lengkap nih reviewnya ...
BalasHapusbahasanya jg 'enak' loh
semoga menang yaa
lagi banyak review novel ya mba.. :)
BalasHapusseneng sih jd tertolong sudah diringkaskan ^^
@Seiri Hanako >> Hehehe.. belum ada yang nawarin aku jadi editor mbak :)
BalasHapus@Arga Litha >> review ini bukan utk lomba kok. BTW makasih utk pujiannya
@Hilsya >> malah akhir2 ini sedang gak rajin review buku lagi mbak.
udah punya bukunya tapi gak kelar bacanya mbak. ;( gak tau kenapa tapi aku kok males nerusinnya keknya ceritanya gak sama kayak kisah hidup dahlan.
BalasHapus