Akhir-akhir ini aku sering mendengar tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) namun belum banyak tahu tentang hal itu. Aku bahkan tidak tahu jika ternyata peserta ASKES (Asuransi Kesehatan Indonesia) otomatis terdaftar sebagai peserta BPJS. Rupanya ketidaktahuanku itu dialami juga oleh teman-teman PNS yang lain. Maklum saja, sampai dengan saat ini belum ada sosialisasi dari ASKES di kotaku terkait BPJS itu terhadap PNS di tempatku bekerja. Atau jangan-jangan PNS di kantorku yang kelewat cuek ya? (^_^)
Selama ini berita tentang BPJS yang aku dengar adalah tentang masih carut marutnya pelaksanaannya, yang memang masih tergolong "baru" karena baru dilaksanakan mulai 1 Januari 2014. Gara-gara seringnya mendengar berita kurang menyenangkan tentang BPJS, aku (dan beberapa teman kantor) sempat bergurau bahwa sebaiknya untuk saat ini siapapun jangan sampai sakit, sebelum BPJS benar-benar berjalan lancar. Namun, siapa sangka jika aku malah (terpaksa) "mencicipi" BPJS tak lama setelah bergurau seperti itu.
Ceritanya, tanggal 15 Januari 2014 (19.00 WIB) lalu Shasa jatuh saat hendak pulang dari rumah temannya. Bukan hanya jatuh sekali, namun 2 kali! Sesampainya di rumah, Shasa buru-buru meluncur turun dari boncengan ayahnya dan berkata bahwa jari kakinya (kelingking kiri) sakit. Waktu aku sentuh, Shasa menjerit dan berkata bahwa jarinya itu sakit sekali. Sebenarnya saat itu juga aku ingin memeriksakannya ke rumah sakit, namun suamiku memintaku bersabar dulu. Dia menganggap bahwa jari Shasa hanya kesleo saja, apalagi Shasa tidak tampak terlalu kesakitan. Bahkan Shasa masih jalan-jalan walau terpincang-pincang.
Kamis tanggal 16 Januari 2014 Shasa tidak masuk sekolah. Rencananya, suamiku hendak memeriksakan Shasa ke dokter hari itu. Namun, lagi-lagi batal... karena tampaknya suamiku (dan juga Shasa) sepakat bahwa jarinya hanya kesleo saja. Selama itu, jari kaki Shasa yang tampak bengkak itu hanya diolesi dengan Coun***pain. Sejauh itu, Shasa tetap beraktivitas seperti biasa di rumah, hanya tetap dengan kaki yang terpincang-pincang. Sejujurnya aku kuatir, namun Shasa dan suamiku tampaknya menganggap sepele jari kaki Shasa yang bengkak itu.
Jum'at tanggal 17 Januari 2014 Shasa memutuskan untuk masuk sekolah. Karena tidak bisa mengenakan sepatu, dia menggunakan sandal. Sebenarnya, Jumat pagi itu Shasa dan suamiku sudah mulai berubah pikiran. Sebelum berangkat sekolah, mereka mampir ke dokter, namun sayang dokternya tutup. Jadi, Shasa langsung diantar ke sekolah. Walau masih dengan terpincang-pincang dia tetap memaksakan diri masuk sekolah dan naik ke lantai 2 (karena kelas Shasa memang di lantai 2).
Jum'at siang sepulang sekolah, suamiku memberi kabar bahwa dia sedang memeriksakan Shasa ke rumah sakit San** ***ra Madiun. Suamiku bilang bahwa Shasa akan di-rontgen. Aku di kantor harap-harap cemas menunggu hasil pemeriksaannya. Tak lama kemudian, suamiku memberi kabar bahwa ternyata jari kaki kelingking kiri Shasa patah dan harus dioperasi. Maka, tanpa membuang waktu aku pun buru-buru membereskan barang-barangku, sementara laptop kantor kuminta untuk dibereskan oleh temanku. Aku segera meluncur ke rumah sakit tempat Shasa dan suamiku menunggu.
Sesampainya di rumah sakit, dokter yang ada di UGD menyambutku dengan ramah. Dia memberitahuku (dan suamiku) tentang kondisi Shasa. Dia juga menjelaskan bahwa rumah sakit tersebut tidak bisa melayani ASKES (mungkin karena melihatku datang dengan mengenakan seragam KORPRI). Selanjutnya dikatakannya jika aku hendak menggunakan ASKES maka ada 3 rumah sakit yang bisa melayani untuk pembedahan tulang. Dengan ramah disebutkannya nama ketiga rumah sakit tersebut : 1 rumah sakit provinsi dan 2 rumah sakit swasta. Setelah berunding dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk membawa Shasa ke rumah sakit yang bisa melayani ASKES. Dia pun lantas membuatkan surat pengantar. Sungguh, kami sangat terkesan dengan keramahan dokter di rumah sakit tersebut, bahkan saat aku dan Shasa menunggu kendaraan (suamiku pulang untuk mengambil mobil), dokter dan perawat yang ada di UGD itu mengajak kami ngobrol dengan ramahnya.
Setelah mobil datang, Shasa didorong ke luar dari UGD oleh perawatnya dan dibantu masuk mobil. Selanjutnya kami meluncur menuju ke RSI, namun sayang sekali kamarnya penuh. Selanjutnya, kami menuju ke RS Gri** ***ada. Memang saat itu RS provinsi menjadi pilihan terakhir kami. Sepanjang jalan kami berdoa semoga di RS Gri** ***ada masih ada kamar kosong. Alhamdulillah, doa kami terkabul.
Perasaan lega kami tak sepenuhnya membuat kami senang saat itu, karena ternyata pelayanannya jauh berbeda dari RS San** ***ra. Dokternya tidak ramah, perawatnya juga tidak ramah. Walau suara mereka dalam melayani tetap terkesan halus, namun keramahan itu tidak muncul dalam senyum dan mata mereka. Saat aku mengatakan bahwa kami menggunakan ASKES, barulah saat itu aku tahu bahwa ASKES sudah termasuk dalam BPJS! Aku konsultasi masalah "paket" yang akan kami terima melalui pelayanan BPJS itu dan bertanya apakah bisa kami mengambil "paket" yang lebih tinggi dengan tambahan biaya sendiri. Saat itu perawatnya hanya berkata bahwa sebaiknya aku ikut saja sesuai dengan "paket" yang seusai dengan BPJS-ku, karena menurutnya ASKES dan BPJS tak sama. Masih menurutnya, perhitungannya lebih rumit, jadi lebih baik aku mengambil sesuai dengan paket saja. Akhirnya, aku menuruti saja apa kata perawat itu.
Setelah Shasa menjalani rontgen lagi (kali ini untuk dadanya), dan diambil darahnya, Shasa diminta untuk segera makan siang. Selanjutnya mulai pukul 14.00 Shasa diminta untuk puasa dan rencananya operasi akan dijalankan pada pukul 20.00 WIB. Shasa sudah terlihat bete dan tidak nyaman selama menunggu di ruang UGD itu. Selain karena UGD itu banyak orang yang keluar masuk, juga karena Shasa tidak nyaman dengan sikap dokter dan perawatnya yang dirasakannya tidak seramah di RS San** ***ra.
Setelah menunggu cukup lama untuk dipindahkan ke kamar (menurut perawatnya, kamarnya sedang disterilkan), akhirnya Shasa didorong untuk dipindahkan ke kamarnya pada kurang lebih pukul 15.00 WIB. Saat baru saja Shasa masuk ke kamarnya, ada petugas yang terbirit-birit masuk dan mengatakan bahwa kamarnya belum dibersihkan! Terus terang saja, saat itu kami jengkel sekali, karena waktu kami menunggu di UGD perawatnya bilang kamarnya sedang disterilkan. Namun ternyata saat kami hendak masuk kamar, ternyata kamarnya belum dibersihkan. Sementara itu petugas dari UGD dan petugas yang bertanggung jawab di situ bersitegang sendiri. Petugas UGD bilang bahwa dia diperintahkan untuk memindahkan pasien ke kamar, sementara petugas yang bertanggung jawab atas kamar itu mengatakan bahwa tidak ada informasi padanya bahwa pasien akan dipindahkan. Akhirnya, petugas kamar itu berinisiatif membawa Shasa ke kamar lain dulu sementara menunggu kamarnya disterilkan.
Shasa dimasukkan ke dalam sebuah zaal, yang terdiri dari 5/6 ranjang. Untungnya saat itu pasiennya hanya ada 3 orang. Sekali lagi, Shasa terlihat tidak nyaman dan terganggu sekali setiap kali ada orang lalu lalang di depannya dan mengintipnya dari balik tirai. Shasa berulang kali minta segera dipindahkan ke kamarnya. Aku dan suami hanya bisa memintanya untuk bersabar menunggu kamarnya siap untuk ditempati.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Shasa dipindahkan juga. Shasa menempati kamar sendiri, dengan fasilitas kipas angin dan televisi. Walau kamarnya tidak terlalu besar, namun Shasa cukup nyaman karena dia tidak harus merasa risih karena banyaknya orang lalu lalang di sekitarnya. Setelah berada di kamarnya, Shasa terlihat tenang. Barulah setelah Bapak dan Ibuku datang menemani Shasa, aku dan suami beranjak pulang untuk menyiapkan keperluan Shasa bermalam di rumah sakit.
Jumat tanggal 17 Januari 2014 pukul 19.30 WIB Shasa sudah didorong menuju ke ruang ICU. Selama di ruang ICU, Shasa ditemani oleh ayahnya dan aku menunggu di depan kamar operasi. Pukul 20.00 suamiku keluar dari ruang ICU dan aku lihat lampu kamar operasi menyala pada pukul 20.45 WIB. Lampu kamar operasi padam pada kurang lebih pukul 21.30 WIB. Aku dan suami bergiliran mengintip Shasa di ruang ICU, namun rupanya Shasa masih tidur terkena pengaruh obat biusnya. Mengetahui Shasa sudah ada di ruang ICU, Bapak Ibu pun pulang setelah sebelumnya melihat keadaan Shasa di ruang ICU. Karena hanya 1 orang yang boleh menemani di ruang ICU, suamiku memutuskan dia yang akan menemani Shasa sementara aku dimintanya beristirahat di kamar Shasa.
Shasa menunggu untuk operasi
Shasa di ruang ICU pasca operasi
Jari kelingking kaki kiri Shasa sebelum dan sesudah operasi
Kurang lebih pukul 23.00 suamiku memberi kabar bahwa Shasa sudah sadar kembali. Barulah pada Sabtu tanggal 18 Januari 2014 pukul 04.00 WIB aku menggantikan suamiku untuk menemani Shasa di ruang ICU. Selanjutnya, pada kurang lebih pukul 09.00 WIB aku dipanggil untuk menyelesaikan administrasinya. Dijelaskan padaku berapa total biaya operasi Shasa, kemudian aku diminta untuk membaya DP sebesar kurang lebih 75% dari total biaya tersebut. Petugas kasir itu menjelaskan bahwa kelak jika sudah diketahui berapa banyak biaya operasi itu yang ditanggung BPJS aku akan dihubungi untuk menerima "pengembalian" atau "sisa" dari uang DP setelah diperhitungkan dengan BPJS. Namun, saat itu pun aku sudah diminta untuk mengeluarkan uang sebesar lebih dari 200 ribu untuk mengganti biaya obat yang tidak ditanggung oleh BPJS.
Yang terpikirkan olehku saat itu cuma satu, jika seandainya keluarga pasien tidak sanggup membayar DP sebesar 75% dari total biaya di RS tersebut apa yang terjadi? Jadi, meskipun seluruh warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS, bukan serta merta bebas keluar masuk rumah sakit semaunya. Keluarga pasien sebaiknya tetap memiliki dana tunai yang dibutuhkan untuk membayar DP (sebesar 75%) dari total biaya rumah sakit jika hendak membawa pasien keluar dari rumah sakit.
Jadi, itulah ceritaku (yang maaf, panjang banget hehehe) tentang pengalaman "mencicipi" BPJS di awal kehadirannya.
Selama ini berita tentang BPJS yang aku dengar adalah tentang masih carut marutnya pelaksanaannya, yang memang masih tergolong "baru" karena baru dilaksanakan mulai 1 Januari 2014. Gara-gara seringnya mendengar berita kurang menyenangkan tentang BPJS, aku (dan beberapa teman kantor) sempat bergurau bahwa sebaiknya untuk saat ini siapapun jangan sampai sakit, sebelum BPJS benar-benar berjalan lancar. Namun, siapa sangka jika aku malah (terpaksa) "mencicipi" BPJS tak lama setelah bergurau seperti itu.
Ceritanya, tanggal 15 Januari 2014 (19.00 WIB) lalu Shasa jatuh saat hendak pulang dari rumah temannya. Bukan hanya jatuh sekali, namun 2 kali! Sesampainya di rumah, Shasa buru-buru meluncur turun dari boncengan ayahnya dan berkata bahwa jari kakinya (kelingking kiri) sakit. Waktu aku sentuh, Shasa menjerit dan berkata bahwa jarinya itu sakit sekali. Sebenarnya saat itu juga aku ingin memeriksakannya ke rumah sakit, namun suamiku memintaku bersabar dulu. Dia menganggap bahwa jari Shasa hanya kesleo saja, apalagi Shasa tidak tampak terlalu kesakitan. Bahkan Shasa masih jalan-jalan walau terpincang-pincang.
Kamis tanggal 16 Januari 2014 Shasa tidak masuk sekolah. Rencananya, suamiku hendak memeriksakan Shasa ke dokter hari itu. Namun, lagi-lagi batal... karena tampaknya suamiku (dan juga Shasa) sepakat bahwa jarinya hanya kesleo saja. Selama itu, jari kaki Shasa yang tampak bengkak itu hanya diolesi dengan Coun***pain. Sejauh itu, Shasa tetap beraktivitas seperti biasa di rumah, hanya tetap dengan kaki yang terpincang-pincang. Sejujurnya aku kuatir, namun Shasa dan suamiku tampaknya menganggap sepele jari kaki Shasa yang bengkak itu.
Jum'at tanggal 17 Januari 2014 Shasa memutuskan untuk masuk sekolah. Karena tidak bisa mengenakan sepatu, dia menggunakan sandal. Sebenarnya, Jumat pagi itu Shasa dan suamiku sudah mulai berubah pikiran. Sebelum berangkat sekolah, mereka mampir ke dokter, namun sayang dokternya tutup. Jadi, Shasa langsung diantar ke sekolah. Walau masih dengan terpincang-pincang dia tetap memaksakan diri masuk sekolah dan naik ke lantai 2 (karena kelas Shasa memang di lantai 2).
Jum'at siang sepulang sekolah, suamiku memberi kabar bahwa dia sedang memeriksakan Shasa ke rumah sakit San** ***ra Madiun. Suamiku bilang bahwa Shasa akan di-rontgen. Aku di kantor harap-harap cemas menunggu hasil pemeriksaannya. Tak lama kemudian, suamiku memberi kabar bahwa ternyata jari kaki kelingking kiri Shasa patah dan harus dioperasi. Maka, tanpa membuang waktu aku pun buru-buru membereskan barang-barangku, sementara laptop kantor kuminta untuk dibereskan oleh temanku. Aku segera meluncur ke rumah sakit tempat Shasa dan suamiku menunggu.
Sesampainya di rumah sakit, dokter yang ada di UGD menyambutku dengan ramah. Dia memberitahuku (dan suamiku) tentang kondisi Shasa. Dia juga menjelaskan bahwa rumah sakit tersebut tidak bisa melayani ASKES (mungkin karena melihatku datang dengan mengenakan seragam KORPRI). Selanjutnya dikatakannya jika aku hendak menggunakan ASKES maka ada 3 rumah sakit yang bisa melayani untuk pembedahan tulang. Dengan ramah disebutkannya nama ketiga rumah sakit tersebut : 1 rumah sakit provinsi dan 2 rumah sakit swasta. Setelah berunding dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk membawa Shasa ke rumah sakit yang bisa melayani ASKES. Dia pun lantas membuatkan surat pengantar. Sungguh, kami sangat terkesan dengan keramahan dokter di rumah sakit tersebut, bahkan saat aku dan Shasa menunggu kendaraan (suamiku pulang untuk mengambil mobil), dokter dan perawat yang ada di UGD itu mengajak kami ngobrol dengan ramahnya.
Setelah mobil datang, Shasa didorong ke luar dari UGD oleh perawatnya dan dibantu masuk mobil. Selanjutnya kami meluncur menuju ke RSI, namun sayang sekali kamarnya penuh. Selanjutnya, kami menuju ke RS Gri** ***ada. Memang saat itu RS provinsi menjadi pilihan terakhir kami. Sepanjang jalan kami berdoa semoga di RS Gri** ***ada masih ada kamar kosong. Alhamdulillah, doa kami terkabul.
Perasaan lega kami tak sepenuhnya membuat kami senang saat itu, karena ternyata pelayanannya jauh berbeda dari RS San** ***ra. Dokternya tidak ramah, perawatnya juga tidak ramah. Walau suara mereka dalam melayani tetap terkesan halus, namun keramahan itu tidak muncul dalam senyum dan mata mereka. Saat aku mengatakan bahwa kami menggunakan ASKES, barulah saat itu aku tahu bahwa ASKES sudah termasuk dalam BPJS! Aku konsultasi masalah "paket" yang akan kami terima melalui pelayanan BPJS itu dan bertanya apakah bisa kami mengambil "paket" yang lebih tinggi dengan tambahan biaya sendiri. Saat itu perawatnya hanya berkata bahwa sebaiknya aku ikut saja sesuai dengan "paket" yang seusai dengan BPJS-ku, karena menurutnya ASKES dan BPJS tak sama. Masih menurutnya, perhitungannya lebih rumit, jadi lebih baik aku mengambil sesuai dengan paket saja. Akhirnya, aku menuruti saja apa kata perawat itu.
Setelah Shasa menjalani rontgen lagi (kali ini untuk dadanya), dan diambil darahnya, Shasa diminta untuk segera makan siang. Selanjutnya mulai pukul 14.00 Shasa diminta untuk puasa dan rencananya operasi akan dijalankan pada pukul 20.00 WIB. Shasa sudah terlihat bete dan tidak nyaman selama menunggu di ruang UGD itu. Selain karena UGD itu banyak orang yang keluar masuk, juga karena Shasa tidak nyaman dengan sikap dokter dan perawatnya yang dirasakannya tidak seramah di RS San** ***ra.
Setelah menunggu cukup lama untuk dipindahkan ke kamar (menurut perawatnya, kamarnya sedang disterilkan), akhirnya Shasa didorong untuk dipindahkan ke kamarnya pada kurang lebih pukul 15.00 WIB. Saat baru saja Shasa masuk ke kamarnya, ada petugas yang terbirit-birit masuk dan mengatakan bahwa kamarnya belum dibersihkan! Terus terang saja, saat itu kami jengkel sekali, karena waktu kami menunggu di UGD perawatnya bilang kamarnya sedang disterilkan. Namun ternyata saat kami hendak masuk kamar, ternyata kamarnya belum dibersihkan. Sementara itu petugas dari UGD dan petugas yang bertanggung jawab di situ bersitegang sendiri. Petugas UGD bilang bahwa dia diperintahkan untuk memindahkan pasien ke kamar, sementara petugas yang bertanggung jawab atas kamar itu mengatakan bahwa tidak ada informasi padanya bahwa pasien akan dipindahkan. Akhirnya, petugas kamar itu berinisiatif membawa Shasa ke kamar lain dulu sementara menunggu kamarnya disterilkan.
Shasa dimasukkan ke dalam sebuah zaal, yang terdiri dari 5/6 ranjang. Untungnya saat itu pasiennya hanya ada 3 orang. Sekali lagi, Shasa terlihat tidak nyaman dan terganggu sekali setiap kali ada orang lalu lalang di depannya dan mengintipnya dari balik tirai. Shasa berulang kali minta segera dipindahkan ke kamarnya. Aku dan suami hanya bisa memintanya untuk bersabar menunggu kamarnya siap untuk ditempati.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Shasa dipindahkan juga. Shasa menempati kamar sendiri, dengan fasilitas kipas angin dan televisi. Walau kamarnya tidak terlalu besar, namun Shasa cukup nyaman karena dia tidak harus merasa risih karena banyaknya orang lalu lalang di sekitarnya. Setelah berada di kamarnya, Shasa terlihat tenang. Barulah setelah Bapak dan Ibuku datang menemani Shasa, aku dan suami beranjak pulang untuk menyiapkan keperluan Shasa bermalam di rumah sakit.
Jumat tanggal 17 Januari 2014 pukul 19.30 WIB Shasa sudah didorong menuju ke ruang ICU. Selama di ruang ICU, Shasa ditemani oleh ayahnya dan aku menunggu di depan kamar operasi. Pukul 20.00 suamiku keluar dari ruang ICU dan aku lihat lampu kamar operasi menyala pada pukul 20.45 WIB. Lampu kamar operasi padam pada kurang lebih pukul 21.30 WIB. Aku dan suami bergiliran mengintip Shasa di ruang ICU, namun rupanya Shasa masih tidur terkena pengaruh obat biusnya. Mengetahui Shasa sudah ada di ruang ICU, Bapak Ibu pun pulang setelah sebelumnya melihat keadaan Shasa di ruang ICU. Karena hanya 1 orang yang boleh menemani di ruang ICU, suamiku memutuskan dia yang akan menemani Shasa sementara aku dimintanya beristirahat di kamar Shasa.
Shasa menunggu untuk operasi
Shasa di ruang ICU pasca operasi
Jari kelingking kaki kiri Shasa sebelum dan sesudah operasi
Kurang lebih pukul 23.00 suamiku memberi kabar bahwa Shasa sudah sadar kembali. Barulah pada Sabtu tanggal 18 Januari 2014 pukul 04.00 WIB aku menggantikan suamiku untuk menemani Shasa di ruang ICU. Selanjutnya, pada kurang lebih pukul 09.00 WIB aku dipanggil untuk menyelesaikan administrasinya. Dijelaskan padaku berapa total biaya operasi Shasa, kemudian aku diminta untuk membaya DP sebesar kurang lebih 75% dari total biaya tersebut. Petugas kasir itu menjelaskan bahwa kelak jika sudah diketahui berapa banyak biaya operasi itu yang ditanggung BPJS aku akan dihubungi untuk menerima "pengembalian" atau "sisa" dari uang DP setelah diperhitungkan dengan BPJS. Namun, saat itu pun aku sudah diminta untuk mengeluarkan uang sebesar lebih dari 200 ribu untuk mengganti biaya obat yang tidak ditanggung oleh BPJS.
Yang terpikirkan olehku saat itu cuma satu, jika seandainya keluarga pasien tidak sanggup membayar DP sebesar 75% dari total biaya di RS tersebut apa yang terjadi? Jadi, meskipun seluruh warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS, bukan serta merta bebas keluar masuk rumah sakit semaunya. Keluarga pasien sebaiknya tetap memiliki dana tunai yang dibutuhkan untuk membayar DP (sebesar 75%) dari total biaya rumah sakit jika hendak membawa pasien keluar dari rumah sakit.
Jadi, itulah ceritaku (yang maaf, panjang banget hehehe) tentang pengalaman "mencicipi" BPJS di awal kehadirannya.
Makasih atas seringnya ya....:)
BalasHapusSama-sama... semoga bermanfaat :)
Hapusmba , mau tanya dong kalau sya berobat pakai askes terus minta kamar vvip terus nambah biaya bisa enggak ya . makasih :)
HapusMasyaAllah, Shasa abis operasi gmana keadaanya sekarang Mbak? udah baikan kan?? istirahat dulu yah Shasa.
BalasHapusyaampuuunn ini BPJS koq makin ribet yah? mana tuh pengobatan gratis?? ckckkckk
Alhamdulillah Shasa sudah baikan Mak diah.. tinggal tunggu waktu utk lepas jahitan dan lepas kawat di kakinya itu.
HapusIya, ternyata BPJS ribet juga....
Makasih sharingnya mbak.
BalasHapusbeberapa kali lewat kantor askes, dari akhir desember papan namanya sudah berubah menjadi bpjs. Namun sampai sekarang juga belum ada sosialisasi dikantor.
Ternyata BPJS sudah sosialisasi via radio... cuma masalahnya sudah jarang yg dengerin radio jadi ya percuma aja masyarakat banyak yang gak tahu.
Hapussemoga lekas sembuh, jadi untuk anggota PNS yang sudah punya kartu Askes otomatis terdaftar BPJS ya...
BalasHapusIya, yang duku ikut ASKES dan JAMSOSTEK otomatis sudah tergabung dalam BPJS. Itu yang aku tahu.... karena kemarin aku ngurus administrasi rumah sakit pake ASKES gak ditolak kok.
Hapushaduwh, ribet bangett mba.. >_<
BalasHapusmungkin krn aku kerja di perusahaan swasta kali yah. pas di UGD, nunjukin kartu asuransi, penanganannya serba ramah dan serba cepat. nyaman bgt..
semoga shasha cepet sehat. itu yg terpenting ^_^
Cuma masalahnya semua warga negara kudu ikut program BPJS ini.
HapusEntahlah... akan bagaimana uang iuran mereka itu jika mereka memilih utk tidak mau berobat dg BPJS. Jadi kan uang mereka utuh.
saya punya kartu askes juga belum tahu kapan mau diganti bpjs, semoga lekas sembuh
BalasHapusYang aku tahu otomatis kok Pak Eka... soalnya kemarin aku urus administrasi rumah sakit masih pake ASKES dan tetap diproses kok
HapusWaaah.... rumit banget ya mak. Mestinya waktu pasien keluar, sudah bisa diketahui total biayanya & harus disetujui pasien, sama kyk kita opname dg biaya sendiri, tinggal dibagi saja prosentase yang diijinkan. Kalau nunggu2 spt itu kan ada peluang kekeliruan atau bahkan mark-up.
BalasHapusSetelah 2 minggu aku baru dapat kabar dari pihak rumah sakit berapa total biaya yg ditanggung BPJS dan berapa yang menjadi tanggunganku.
HapusLumayan lama juga menunggunya Mak...
Kok Jadi takut ikutan BPJS ya? padahal udah niat pengen daftar kalo udah ada sosialisasi disini, Ayahku juga pengguna Askes namun hanya tinggal adikku yg menjadi tanggungan. sekarang pelayanan rumah sakit masih ramah-ramah aja waktu ibuku masuk RS, bahkan kami cuma bayar gak lebih dari 20% dari total biaya, gak tau ya nanti setelah jadi BPJS.
BalasHapusMeski takut, semua kudu ikut program BPJS ini lo. Tanpa kecuali.
HapusKalo utk opreasi Shasa kemarin ternyata aku harus bayar kurang lebih 50% dari total biaya.
ini program tdk jls bu reni, semrawut pokonya...
BalasHapusyg ptg ada program, tdk th duit ngalir kmn tu...
Masalahnya semua penduduk harus ikut program ini, yang gak mampu baru dibayarin pemerintah.
HapusCuma pertanyaannya, kalo orang2 mampu harus ikut iuran BPJS ini kemudian mereka gak memakainya saat sakit... trus uang iuran mereka dikemanain ya?
kok bingung bu ?
HapusUangnya untuk :
1. Tabungan buat nanti jika sakit
2. Menolong orang lain yang sedang sakit
Jadi kalo tangunggan sasha itu uangnya ya dari orang lain
Masak keberatan membantu orang lain bu ?
saya setuju poin nomor 2. menolong orang lain yang sedang sakit, Walaupun ada yang korupsi, gapapa, asalkan kita bisa ikhlas untuk menolong yang lain :)
HapusKurang ramahnya pelayanan di RS Pemerintah sepertinya hampir merata ya mba, didaerah kamipun sepertinya tak jauh beda :(
BalasHapusSaya juga sejak jadi PNS 2007 silam, belum pernah mencicipi ASKES yang sekarang jadi BPJS, selain terkesan ribet juga karena Alhamdulillah selama ini tidak mengalamai sakit yang terlalu serius, biasanya cukup ke dokter umum & semoga kedepanpun tetap diberi kesehatan. Pengalaman berharga, terima kasih telah berbagi mba, semoga Shasa lekas sembuh & kembali beraktifitas seperti biasa.
Selama ini aku juga jarang banget memanfaatkan ASKES utk periksa ke dokter ASKES. Namun utk urusan rumah sakit aku baru memakainya... namun sayangnya kok ya kurang menyenangkan to pengalamanku dalam memanfaatkan BPJS itu.
HapusSemoga cepat sembuh! Aamiin!
BalasHapusAamiin... terimakasih banyak utk doanya :)
HapusHalo Sasha, semoga cepat pulih dan kembali beraktivitas ya.
BalasHapusJeng Reni, matur nuwun sharingnya ya, berharap perbaikan pelayanan kesehatan di negeri kita.
Salam sehat
Alhamdulillah shasa kini sudah jauh membaik, sudah masuk sekolah lagi.
HapusIya Mbak, sangat berharap ada perbaikan dalam pelayanan kesehatan di negara kita.
Harus jadi PNS atau gimana sih mbak untuk jadi peserta bpjs
BalasHapusGak harus PNS... tapi semua warga negara wajib ikut program ini Mak
HapusIya dengar-dengar soal BPJS ini ramai diperbincangkan. Malahan ada teman sodara yang cerita kalau isitrinya mau melahirkan tapi tidak bisa menggunakan BPJS dengan alasan BPJS hanya berlaku untuk yang bekerja saja. Walaupun istri sudah terdaftar di BPJS tetap saja kalau masuk RS harus bayar sendiri.
BalasHapusSaya juga punya askes tapi belum sekalipun saya pakai. Jadi ragu apa bisa saya menggunakan BPJS sedangkan saya tidak bekerja. Dan kalau misalny tidak bisa digunakan percuma dong saya bayar askes setiap bulan?
Menurut Mbak Reni gimana, apa bener BPJS hanya berlaku buat yang bekerja saja?
Apa mungkin kasusnya sama seperti yang dialami Dek Shasa, masuk RS harus bayar DP dulu 75%? Bukan apa-apa takutnya uang kembaliannya nanti beribet urusannya..
Shasa bisa tuh pake BPJS, dalam tanggunganku pembayaran iuran tiap bulannya.
HapusAku selama ini memang hampir gak pernah pake ASKES utk periksa kesehatan ke dokter ASKES, tapi aku memanfaatkannya utk biaya pengobatan ke RS.
Nah itu dia, kalo tidak kita pake kan buat apa kita bayar tiap bulan.
Kemarin aku keluar dg bayar DP sebesar 75% dari total biaya... dan baru 2 minggu kemudian aku dikabarin kalo ternyata BPJS hanya menanggung 60% dari total biaya. Jadi aku diminta utk mengambil sedikit kelebihan dari DP yang aku bayarkan kemarin itu
Situasi pelayanan di rumah sakit di Indonesia ini sekarang sedang tidak ramah terhadap customer (pasien), dan juga tidak ramah terhadap kaum medisnya sendiri (dokter, perawat, bidan, apoteker, dan lain-lainnya). Memang betul sekarang pemilik kartu Askes dan Jamsostek kini sudah dialihkan menjadi pengguna kartu BPJS. Menggunakan kartu BPJS berarti disuruh untuk memilih pilihan paket yang sudah disediakan. Pelayanan yang diberikan akan disesuaikan dengan pilihan yang sudah dipilih itu.
BalasHapusBagian yang menyebalkan, karena sudah kadung memilih pilihan tertentu, maka pasien hanya bisa mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan apa yang sejak awal dipilihnya. Dia tidak boleh minta lebih. Misalnya jika ketentuan BPJS hanya membolehkan dia mendapatkan obat kelas B, maka dia tidak boleh mendapatkan obat kualitas kelas A. Ini yang merepotkan karena pasien sudah kadung sepakat untuk bayar premi kelas B, ternyata dia tidak puas dengan pelayanan di kelas B.
Permintaan pasien sendiri untuk pindah ke kelas pelayanan yang lebih tinggi ternyata sulit. Karena sekedar untuk minta itu, pasien harus tanda tangan persetujuan tetek-bengek yang sangat merepotkan kerjaan petugas rumah sakit. Ini membuat stress petugas rumah sakit sehingga muncul anggapan bahwa "petugas rumah sakit tidak ramah".
BPJS adalah cerminan betapa morat-maritnya pelayanan asuransi untuk kesehatan di Indonesia. Tapi BPJS ini sebenarnya menolong untuk orang-orang yang kepingin berobat dengan "harga discount". Aku nggak memungkiri bahwa harga discount selalu mengakibatkan "kualitas pelayanan juga ikut discount", secara disengaja atau tidak.
Wah terimakasih banyak penjelasannya dr. Vicky.... aku jadi lebih tahu tentang BPJS ini. Soalnya memang aku masih miskin informasi ttg program jaminan kesehatan nasional ini
HapusBPJS dengan segala morat maritnya dan ""harga discount bagi yg...(yg sebenarnya tidak juga... Dikarenakan ini adalah wajib untuk seluruh warga negara tidak terkecuali.. Untuk menggenjot pemasukan dari peserta mandiri terutama)
HapusDengan dalih apapun... Semua petugas RS (dokter,perawat,admin..dsb) diharapkan memperlakukan pelayanan yang setara pasien bpjs dan non bpjs... Berlakulah profesional.. bukankah anda telah di sumpah untuk melayani pasien di atas segala2nya bukan di karenakan uang ataupun goro2ne peserta BPJS!
Perlakuan dan pelayanan yang berbeda memang nyata adanya antara BPJS dan non...
Bicara BPJS katanya sudah bisa daftar online ya Mba ?
BalasHapusShasa udah baikan blum Mbak ?
BalasHapusAh iya kalo ngomongin soal pelayanan medis terkadang memang bikin 'ngenes', tapi terus terang saya lebih suka ke rumah sakit swasta Mbak, dan gak pake ASKES dan apalah segala macem malah ribettt...#pengalaman pribadi... :(
wah,ribet bener ya mbk....
BalasHapusbpjs juga untuk karyawan swasta juga ya mbak?
BalasHapusHarusnya sih kesehatan itu ditanggung negara sepenuhnya. Masalah keluar-masuk rumah sakit, pemerintah juga harus bisa melakukan teknik pencegahan (tanpa biaya). Seperti konsultasi kesehatan atau propaganda.
BalasHapusya Allah semoga Shasa cepat pulih dan sehat kemblai seperti biasa ya. Walaupun hanya jari kelingking itu termasuk operasi besarkah mb Ren ? koq sampai masuk ICU ? ICU buatku kesannya ruang utk pasien yg betul2 dlm keadaan gawat.
BalasHapuswahhh Q sempet penasaran sama bpjs, eh skrg sdh diulas sama mb Reni.
BalasHapusIntinya tetep harus bayar dulu walaupun nanti uang dikembalikan, sama aja :(
keluargaku beberapa kali masuk RS; kebanyakan karna patah tulang (biasa, anak muda suka coba matahin tulang sndiri haha) dan alhamdulillah nggak pernah pakai askes, karna kata mama ngurusnya ribet banget, kdg dari rumah sakit jg nggak ramah atau dipersulit hehe...
masya allah...shasa abis kena musibah ya mbak .
BalasHapussyukurlah udah membaik.
semoga lekas pulih ya mbak.
kalo aku sendiri udah sering denger BJPS tapi blm paham gmn pelaksanaannya.
baca artikel ni jd sedikit2 ngerti,
intinya tetep harus sedia duit buat DP RS tuh..
terima kasih sudah berbagi pengalamannya, mbak. aku belum ngerti soal yang kaya gini soalnya, hehehe. semoga shasa cepat pulih ya :)
BalasHapusAku sendiri kalo gak mengalami juga gak ngerti soal BPJS karena emang sosialiasinya sangat kurang.
HapusMakasih doanya buat Shasa
Padahal program ini sekarang sedang gencar diiklankan di radio radio di tempat saya mBak, eh nggak tahunya pelaksanaannya nggak sesuai denganyang diiklankan,
BalasHapusNah itu dia Pak... ternyata emang sosialisasinya di kotaku juga lewat radio... padahal pendengar radio juga sudah tak sebanyak dulu. Mungkin sengaja lewat radio karena emang yang "disasar" adalah kaum menengah ke bawah kali ya? Mungkin dianggap yg butuh BPJS adalah kaum menengah ke bawah. Padahal kan seluruh masyarakat diwajibkan untuk ikut program itu.
Hapussemoga Shasa cepat pulih .... bisa beraktivitas spt biasa lagi
BalasHapussmg pemerintah lebih memperhatikan pelayanannya ya, mbak
Aamiin... terimakasih banyak utk doanya buat Shasa mbak...
HapusMaaf OOT
BalasHapusBlogwallking jangan lupa kunjugin juga yaah ^^
Terimakasih sudah mampir :)
HapusJadi kudu bayar dulu dooong?
BalasHapusIyaa.. kita kudu bayar dulu sampai BPJS membayar biaya yg jadi kewajibannya kepada pihak RS mak
HapusOalaaah Shasa skrg gmana kabarnya? sudah bisa beraktifitas spt biasakah?
BalasHapuswah, ada miskomunikasi antar petugas RS yah mbak... kayaknya aku perlu catet nih pelayanan bpjs mba.. :-D
apa kabar mbak reni? semoga sehat selalu yaa.. ^_^
Alhamdulillah Shasa sudah lebih baik, sudah masuk sekolah. Hari ini rencananya akan dilepas jahitannya.
HapusItulah, miskomunikasi antar petugas rumah sakit membuat pasien jadi gak nyaman Mbak.
hmmm makasih buat pengalamannya mbak....jadi mikir lagi untuk daftar
BalasHapusLo jangan kelamaan mikir... karena seluruh penduduk wajib lo ikutan BPJS ini
HapusKeren ceritanya, sangat menarik :)
BalasHapusTerimakasih :)
Hapusribet banget keliatannya BPJS itu ya Mak.
BalasHapusBegitulah mak.. menurutku juga ribet kok
Hapusjadi ingat ibu saya. bbrp kali kirim sms ke saya biar cepet2 daftar bpjs. tp sayanya mlh jd takut sendiri.
BalasHapusDaftar aja sekarang.. pilih paket yang bagus (walau yang bagus itu mahal biaya iurannya).
Hapusbanyak yg mengeluh BPJS justru memberatkan pasien mak.....
BalasHapusItulah keluhan yang aku dengar juga selama ini Mak
HapusWaduh patah mak? Auw sakitnya .... sekarang sudah sembuh total kan?
BalasHapusSayangnya belum sembuh total Mak...
HapusNanti sore jadwalnya kontrol lagi dan lepas jahitan
Aku pernah menggunakan layanan tersebut pada Nov 2012. Saat itu aku operasi pemasangan pen karena tulang selangka di bahu patah akibat terjatuh dari motor. April 2013 aku kembali operasi pengangkatan pen. Pengalamanku saat itu kira-kira samalah dengan pengalaman Shasa dan Mbak Reni, hehe... Nah, baru2 ini aku kembali mendatangi RS pemerintah bermaksud cek darah di lab. Aku bersedia bayar sendiri. Namun aku ditolak karena harus periksa lagi sama dokter di RS tsb. Lha aku kan dah periksa di dokter umum dan sdh mendapat pengantar untuk cek darah, koq susah amat ya meski aku sanggup bayar sendiri untuk di lab? Akhirnya aku memilih di lab swasta biar lumayan mahal tapi aku langsung mendapatkan layanan yang aku inginkan. Hasil lab tersebut ternyata aku positif tipus. Nah...gimana kalau sampai aku pingsan ya hanya karena ribetnya mengurus layanan pengobatan?
BalasHapusooo tak pikir cuma nunjukin kartu aja, seperti kalau kita ikut asuransi2 "asing", ternyata riweh juga ya mba...
BalasHapusdi RSUPF Jakarta Selatan Istri saya mendapatkan Pelayanan yang ramah , selama kurang lebih 13 Hari karena Cholelitiasis (batu empedu) , walau harus 3 x bulak - balik (hari ke 3 baru dpt rujukan rawat) saya bukan dari PNS (umum) istri saya daftarkan jadi BPJS dengan iusran 60 Rb / Hari . tentu saja mungkin layanan BPJS belum maksimal di setiap daerah ya BU .. tapi ini saya MRI juga di RSCM dengan BPJS free kok bu (kalau bayar sekitar 2-3 JT Rupiah)
BalasHapusSalam
Sebenarnya kalau pakai bpjs.harus tau aturan mainnya.kalau tidak hati hati waktu di rumah sakit.bukanya dapat jaminan tapi malah keluar uang.harus berani tanya tanya.tapi saran saya kalau mau cepat di tangani usahakan bikin link ke orang rsnya.pasti lancaar.
BalasHapusribet ya mbak pakai BPJS...saya baru mau buat tapi kalau masih harus bayar percuma juga ya
BalasHapusTerlepas dari banyak komentar miring soal pelayanan dan prosesnya, saya menilai dari segi premi BPJS sangat-sangat murah dibandingkan asuransi kesehatan. Kebetulan, saya berkecimpung banyak dengan asuransi kesehatan.
BalasHapusDi asuransi kesehatan, untuk kamar Rp 500 ribu sehari, preminya per orang sudah sekitar Rp 500 ribu per bulan (bandingkan dgn BPJS yang kamar kelas 1 hanya Rp 60 rb) dan asuransi kesehatan masih menerapkan plafond utk setiap biaya perawatan (tidak semua full cover tagihan).
Di asuransi kesehatan dikenal pre-condition, artinya penyakit yang sudah ada sebelumnya, tidak akan ditanggung oleh asuransi. Mislanya, Anda sudah punya diabetes, maka kemungkinan besar asuransi kesehatan tidak akan meng-cover.
Sejauh ini, saya lihat BPJS tidak menerapkan pre-condition. Ini tentu saja sangat membantu buat Anda yang sudah punya penyakit sebelumnya.
Setiap program pasti ada kelemahan di awalnya, tapi saya yakin dengan niat baik pemerintah untuk menyelenggarakan BPJS Kesehatan. Seiring berjalannya waktu sistem akan diperbaiki sehingga kondisi ideal pelan-pelan akan dapat dicapai. Kita perlu mengawal dan memberikan koreksi demi perbaikan tersebut. Mohon bersabar dalam proses tersebut. Terimakasih dan salam
BalasHapusSaya sudah merasakan BPJS dan tidak ada masalah untuk istri saya yang baru saja melahirkan dengan caesar.
BalasHapusTerima kasih Tuhan dan BPJS karena sudah memberikan jalan dan harapan untuk terus maju.
Maaf saya mau brtanya apakah susa meminta surat rujukan dr puskesmas untuk operasi sesar.. karna saya jg sedang hamil anak ke 2 dan brncana membuat bpjs. Thx sblm nya
Hapusmaaf bu..., yang saya alami kok gak sesuai yang saya harapkan. apakah BPJS cuma berlaku untuk pegawai negri..., hari ini anak asuh saya mau menjalani operasi hernia.., dan udah saya urus kartu BPJS. tapi biaya yang harus saya keluarkan di rumah sakit masih besar.., saya harus bayar DP untuk operasi 7jt lebih.., dan rincian biaya semua yang saya terima kalau saya total hampir 12jt lebih., apa emang segitu biaya operasi menggunakan kartu BPJS. dan kalau gak makai kartu BPJS berapa biayanya..., Trims
BalasHapusLagi cari info bpjs, mampir di blog ini, banyak info2 dan share, makasih ya
BalasHapusLagi cari info bpjs
BalasHapuskakak saya kena DBD 3 hari di rawat hanya bayar 200 ribu. Kakak ipar saya usus buntu total 7-8 juta tanpa bayar sepeser pun pelayanan ramah. fasilitas nyaman. di rumah sakit Zahira Jagakarsa . Hanya memang harus pintar tentang pengetahuan nya, Kakak saya guru jd dia sangat mengerti. sempat CS rumah sakit tidak mau merawat suaminya yg sudah kesakitan karena usus buntu,krna tidak ada rujukan dr faskes 1. Kakak saya bersi keras bilang jika faskes 1 sedang tutup. dan mengancam jika suaminya tidak di terima dia akan melaporkan ke Media. Saat itu CS nya langsung memproses dgn cepat. Jadi intinya harus punya informasi akurat. dan pelayanan tergantung RS tersebut.
BalasHapuspengalaman saya operasi jari tangan dan anak usus buntu juga tidak ada penambahan sepersen pun dengan pelayanan yang cukup ramah dan baik kalau antri ya memang yang sakit kan banyak jadi ya harus sabar ... eh saya di salah satu rumah sakit di Sidoarjo Jatim
BalasHapusMaaf ya mau tanya saya juga patah tulang jari kelingking kan dipasang pen semacam kawat apakah sasha juga seperti saya.. dan brpa bulan dicabut pen ny dan bagaimana rasanya..trims
BalasHapusIya kawatnya dicabut setelah 3 bulan, dan kata shasa ga sakit kok.
HapusSaya kok cuma 1 bulan yah.. rencana nya hari ini.. shasa dibius atau tidak??trims
BalasHapusWaktu diambil kawatnya ga pake dibius kok. Gak sakit juga.
Hapus