Siang itu seorang teman kantor terpaksa mengajak anaknya yang baru pulang sekolah untuk ikut ke kantor. Kebetulan, pembantu yang biasa menemani anaknya di rumah sedang pulang kampung. Alhasil, daripada si anak sendirian di rumah, maka temanku itu membawa anaknya ke kantor.
Tak lama setelah mereka duduk dalam ruangan, aku mendengar mereka bercakap-cakap. Sang anak menceritakan kejadian yang dialaminya hari itu di sekolahnya. Sementara sang mama (temanku itu) asyik mendengarkan cerita anaknya.
Dalam salah satu dialog mereka, aku mendengar sang anak berkata : "Ma, tadi di sekolah teman-temanku ada yang meminta bekalku."
"Terus sama adik dikasih ?" tanya sana mama.
"Iya ma....,"
Spontan kudengar temanku berkata pada anaknya, "Lho... ya nggak boleh. Mama membawakan bekal itu untuk adik. Bukan buat teman-teman adik."
"Tapi tadi bu guru bilang kalau kita bawa bekal terus ada teman yang minta, ya harus diberi," jawab sang anak membela diri.
Gambar diambil di sini
Kemudian temanku itu melihat padaku dan langsung "curhat" padaku. Intinya, dia merasa kecewa dengan kebijakan sang guru yang menyuruh murid-muridnya berbagi bekal sekolah. Menurutnya kebijakan sang guru tersebut tidak adil.
Alasan temanku atas keberatannya itu adalah bahwa selama ini dia sudah terbiasa membekali anaknya dengan makanan yang "bermutu", tidak asal-asalan. Sementara banyak sekali teman-teman sekelas anaknya yang sama orang tuanya tidak dibawakan bekal dari rumah. Sebagai gantinya mereka hanya dibekali sejumlah uang untuk dibelanjakan oleh anak-anak sendiri di sekolah. Alhasil, anak-anak membelanjakan uang saku itu semau mereka sendiri tanpa perduli dengan "mutu" jajanan yang mereka beli.
Keadaan itu yang membuat temanku merasa dalam kondisi tidak adil. Sementara anaknya membagikan makanan yang bermutu pada teman-temannya tapi di sisi lain sang anak tidak bisa mendapatkan "ganti" makanan yang bermutu juga dari teman-temannya. Temanku juga merasa bahwa seharusnya setiap orang tua perduli dengan bekal yang dibawa naka-anaknya ke sekolah. Harapan temanku, kalau tiap anak membawa bekal ke sekolah yang bagus, pasti mereka tidak akan menginginkan bekal milik temannya.
Mendengar cerita temanku itu, aku hanya bisa tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Aku memahami dan bisa memaklumi apa yang dia inginkan. Aku dapat melihat masalah itu dari kacamatanya, tapi aku toh tidak berkata apa-apa. Karena aku selama ini punya kacamata sendiri yang berbeda dengan kacamatanya.
Aku jadi teringat bahwa selama ini, hampir setiap pagi Shasa-ku selalu sibuk menyiapkan bekal ke sekolah yang akan dibaginya dengan teman-teman sekolahnya. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak dia duduk di bangku TK B sampai sekarang. Malah terkadang Shasa menghitung jumlah makanan yang dibawanya sejumlah teman yang rencananya akan diberinya nanti di sekolah.
Pernah suatu hari Shasa membawa 6 buah roti kukus kecil ke sekolah. Ternyata, menurut cerita Shasa, sewaktu di sekolah Shasa akhirnya hanya kebagian 1 buah roti. Karena kelima roti yang lainnya diperebutkan oleh teman-temannya yang lain karena menurut mereka roti itu enak. Shasa bercerita dengan tertawa bahagia mengingat betapa asyiknya mereka makan ramai-ramai di sekolah tadi.
Kejadian seperti itu bukan sekali dua kali terjadi, tapi sudah berkali-kali. Aku tidak melarang Shasa membawa banyak makanan ke sekolah. Aku tak akan melarang Shasa membagikan makanan itu ke sekolah. Aku tidak mempermasalahkan bahwa ternyata dari sekian banyak bekal yang dibawa Shasa ke sekolah ternyata Shasa hanya mendapat bagian sedikit saja. Toh, tak jarang Shasa mendapatkan bekal sekolah temannya yang lain pula.
Memang aku berusaha sekuat tenaga mengajari Shasa untuk berbagi dengan orang lain. Kenapa ? Karena sampai saat ini Shasa masih saja merupakan anak semata wayang bagi kami. Kami hanya tak ingin dalam "kesendiriannya" Shasa terbiasa hanya memikirkan dirinya sendiri. Kami tak ingin Shasa menjadi anak yang egois. Seandainya Shasa punya adik, pasti dengan sendirinya Shasa akan belajar untuk berbagi dengan adiknya. Tapi berhubung sampai saat ini Shasa belum juga mempunyai adik, maka bukan berarti Shasa tak bisa belajar untuk berbagi bukan ?
Memang tidak mudah mengajari Shasa untuk berbagi pada awalnya. Shasa yang biasa mendapatkan segala sesuatu hanya untuk dirinya awalnya sulit untuk berbagi dengan orang lain. Bahkan dengan saudara sepupunya sekalipun !! Tapi setelah melalui proses yang lama dan panjang, akhirnya Shasa menemukan keindahan dalam berbagi. Shasa mulai bisa merasakan kebahagiaan setelah berbagi, apalagi setelah melihat orang lain merasa senang mendapatkan sesuatu darinya. Shasa mulai bisa merasakan bahwa makan bersama-sama dengan teman ternyata lebih menyenangkan daripada makan sendirian.
Gambar diambil dari sini
Jadi kami tidak menilai dari besar kecilnya apa yang telah dibagikan Shasa kepada orang lain. Kami juga tidak menilai besar kecilnya apa yang diterima Shasa dari teman-temannya. Kami hanya ingin Shasa belajar untuk berbagi. Hanya itu saja...
Tak lama setelah mereka duduk dalam ruangan, aku mendengar mereka bercakap-cakap. Sang anak menceritakan kejadian yang dialaminya hari itu di sekolahnya. Sementara sang mama (temanku itu) asyik mendengarkan cerita anaknya.
Dalam salah satu dialog mereka, aku mendengar sang anak berkata : "Ma, tadi di sekolah teman-temanku ada yang meminta bekalku."
"Terus sama adik dikasih ?" tanya sana mama.
"Iya ma....,"
Spontan kudengar temanku berkata pada anaknya, "Lho... ya nggak boleh. Mama membawakan bekal itu untuk adik. Bukan buat teman-teman adik."
"Tapi tadi bu guru bilang kalau kita bawa bekal terus ada teman yang minta, ya harus diberi," jawab sang anak membela diri.
Gambar diambil di sini
Kemudian temanku itu melihat padaku dan langsung "curhat" padaku. Intinya, dia merasa kecewa dengan kebijakan sang guru yang menyuruh murid-muridnya berbagi bekal sekolah. Menurutnya kebijakan sang guru tersebut tidak adil.
Alasan temanku atas keberatannya itu adalah bahwa selama ini dia sudah terbiasa membekali anaknya dengan makanan yang "bermutu", tidak asal-asalan. Sementara banyak sekali teman-teman sekelas anaknya yang sama orang tuanya tidak dibawakan bekal dari rumah. Sebagai gantinya mereka hanya dibekali sejumlah uang untuk dibelanjakan oleh anak-anak sendiri di sekolah. Alhasil, anak-anak membelanjakan uang saku itu semau mereka sendiri tanpa perduli dengan "mutu" jajanan yang mereka beli.
Keadaan itu yang membuat temanku merasa dalam kondisi tidak adil. Sementara anaknya membagikan makanan yang bermutu pada teman-temannya tapi di sisi lain sang anak tidak bisa mendapatkan "ganti" makanan yang bermutu juga dari teman-temannya. Temanku juga merasa bahwa seharusnya setiap orang tua perduli dengan bekal yang dibawa naka-anaknya ke sekolah. Harapan temanku, kalau tiap anak membawa bekal ke sekolah yang bagus, pasti mereka tidak akan menginginkan bekal milik temannya.
Mendengar cerita temanku itu, aku hanya bisa tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Aku memahami dan bisa memaklumi apa yang dia inginkan. Aku dapat melihat masalah itu dari kacamatanya, tapi aku toh tidak berkata apa-apa. Karena aku selama ini punya kacamata sendiri yang berbeda dengan kacamatanya.
Aku jadi teringat bahwa selama ini, hampir setiap pagi Shasa-ku selalu sibuk menyiapkan bekal ke sekolah yang akan dibaginya dengan teman-teman sekolahnya. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak dia duduk di bangku TK B sampai sekarang. Malah terkadang Shasa menghitung jumlah makanan yang dibawanya sejumlah teman yang rencananya akan diberinya nanti di sekolah.
Pernah suatu hari Shasa membawa 6 buah roti kukus kecil ke sekolah. Ternyata, menurut cerita Shasa, sewaktu di sekolah Shasa akhirnya hanya kebagian 1 buah roti. Karena kelima roti yang lainnya diperebutkan oleh teman-temannya yang lain karena menurut mereka roti itu enak. Shasa bercerita dengan tertawa bahagia mengingat betapa asyiknya mereka makan ramai-ramai di sekolah tadi.
Kejadian seperti itu bukan sekali dua kali terjadi, tapi sudah berkali-kali. Aku tidak melarang Shasa membawa banyak makanan ke sekolah. Aku tak akan melarang Shasa membagikan makanan itu ke sekolah. Aku tidak mempermasalahkan bahwa ternyata dari sekian banyak bekal yang dibawa Shasa ke sekolah ternyata Shasa hanya mendapat bagian sedikit saja. Toh, tak jarang Shasa mendapatkan bekal sekolah temannya yang lain pula.
Memang aku berusaha sekuat tenaga mengajari Shasa untuk berbagi dengan orang lain. Kenapa ? Karena sampai saat ini Shasa masih saja merupakan anak semata wayang bagi kami. Kami hanya tak ingin dalam "kesendiriannya" Shasa terbiasa hanya memikirkan dirinya sendiri. Kami tak ingin Shasa menjadi anak yang egois. Seandainya Shasa punya adik, pasti dengan sendirinya Shasa akan belajar untuk berbagi dengan adiknya. Tapi berhubung sampai saat ini Shasa belum juga mempunyai adik, maka bukan berarti Shasa tak bisa belajar untuk berbagi bukan ?
Memang tidak mudah mengajari Shasa untuk berbagi pada awalnya. Shasa yang biasa mendapatkan segala sesuatu hanya untuk dirinya awalnya sulit untuk berbagi dengan orang lain. Bahkan dengan saudara sepupunya sekalipun !! Tapi setelah melalui proses yang lama dan panjang, akhirnya Shasa menemukan keindahan dalam berbagi. Shasa mulai bisa merasakan kebahagiaan setelah berbagi, apalagi setelah melihat orang lain merasa senang mendapatkan sesuatu darinya. Shasa mulai bisa merasakan bahwa makan bersama-sama dengan teman ternyata lebih menyenangkan daripada makan sendirian.
Gambar diambil dari sini
Jadi kami tidak menilai dari besar kecilnya apa yang telah dibagikan Shasa kepada orang lain. Kami juga tidak menilai besar kecilnya apa yang diterima Shasa dari teman-temannya. Kami hanya ingin Shasa belajar untuk berbagi. Hanya itu saja...
benar mbak .. berbagi itu indah. Buka soal berbaginya, namun berkah yang kita nikmati juga berbeda rasanya. Melihat orang lain, bahagia, bersyukur dengan apa yang bisa kita berikan, rasanya nikmatnya luar biasanya.
BalasHapusToh, bila kita memberi kebaikan, maka kebaikan yang datang kepada kita lebih besar lagi. Jangan takut kekurangan, insya allah malah dapet lebih banyak lagi ...
Wah saya jadi mikir, nanti kalau saya sudah punya putra/i, bisa gak ya saya mengajarkan ilmu berbagi ini kepada putra putri saya? Rasanya saya nanti mau konsultasi banyak sama Mbak ... boleh ya?
@kuyus : Sementara ini kita berbagi ilmu dan pengalaman ya, mbak. Semoga aja manfaat. Aku sendiri masih banyak belajar dari orang lain juga.
BalasHapusmenurut saya, si mama hrs bijak dong
BalasHapusklu sdh tau sprti itu besok2 bekal yg dibawa si adik harus dilebihkan. supaya ttp bisa berbagi.
itu menurut saya lho mbak....
@kejujurancinta : kalau Shasa tiap hari udah bisa nyiapkan sendiri bekalnya. Dia udah ngukur sendiri kok berapa banyak yg harus dia bawa hari itu. Termasuk yang akan dibagikannya pada teman-temanya.
BalasHapuswaa senangnya bisa berbagi, seperti yg telah mbak reni lakukan padaku dan blogger2 lain, berbagi cerita dan pengalaman, makasi yah mbak:)
BalasHapus@wendy : makasih juga mbak Wendy selama ini udah mau berbagi denganku. Seneng banget rasanya kalau tahu ada yang menerima apa yang aku sampaikan... Thanks ya...
BalasHapus