Ini sebenarnya cerita yang sudah lama terjadi, kurang lebih sudah 2 tahun yang lalu. Bukan cerita yang istimewa sebenarnya, tapi aku hanya ingin berbagi saja. Tidak lebih dan tidak juga kurang. Tanpa ada maksud lain-lain. Apalagi menggalang massa (halah halah... kok jadi ngelantur ya?!)
Cerita ini terjadi pada sore hari menjelang maghrib. Waktu Shasa mendengar penjual roti keliling lewat di depan rumah, dia memintaku untuk membelikan roti untuknya. Aku yang menyetujui permintaanya segera memanggil tukang roti itu. Singkat cerita, setelah memilih beberapa roti, transaksi jual beli terjadilah. Dan aku segera kembali ke dalam rumah.
Kupikir kejadiannya hanya akan berhenti sampai di situ saja. Tapi ternyata tidak. Aku membeli roti 3 bungkus. Saat kami sekeluarga makan roti itu, iseng-iseng aku mengambil plastik-plastik pembungkusnya. Setelah lama mengamati plastik-plastik itu aku terkejut sekali. Karena setelah aku hitung-hitung, harga ketiga roti itu adalah Rp. 11.600 rupiah. Padahal tadi waktu penjualnya aku tanya berapa total harga yang harus aku bayar, dia bilang Rp. 8.600.
Kebiasaan burukku (yang sangat tidak patut dicontoh) dalam berbelanja adalah aku malas untuk menghitung total harga belanjaanku. *menutup muka yang memerah* Aku biasanya percaya saja sama penjualnya. Aku malas menghitung ulang. Tadi waktu aku beli roti, akupun tidak menghitung sendiri berapa banyak yang harus aku bayar. Aku hanya percaya saja sama penjualnya. Tapi ternyata...., aku kurang membayar 3 ribu rupiah.
Aku jadi gelisah sekali. Suamiku "menasehati" aku (entah untuk keberapa kalinya hiks hiks) agar lain kali aku jangan malas menghitung belanjaan sendiri. Mungkin uang 3 ribu rupiah tak berarti banyak untukku. Tapi.., mungkin sekali berarti banyak untuk penjual roti itu. Duh..., gimana dunk. Di tengah rasa penyesalanku, aku berusaha mengingat-ingat muka penjual roti itu. Samar-samar aku mengingat wajahnya, tapi aku tak yakin.
Beberapa hari kemudian, saat aku dan suami boncengan motor pulang dari kantor, aku melihat penjual roti itu. Spontan aku meminta suamiku untuk mengejarnya. Akhirnya kami berhasil memintanya menepi. Aku menghampirinya dan mencoba menjelaskan kejadian beberapa hari sebelumnya padanya. Penjual itu seperti kebingungan mendengar ceritaku. Aku hanya bilang bahwa dalam ingatanku aku yakin kalau penjual itu adalah dia. Maka, aku kemudian menyodorkan uang 3 ribu rupiah sebagai kekurangan pembayaranku padanya. Dengan muka masih kebingungan, dia menerima uang itu.
Aku tak mau ambil pusing dengan kebingungannya. Bagiku, aku sudah lega telah menyerahkan kekurangan harga roti yang harusnya aku bayar. Kalaupun penjualnya bukan dia, aku tak peduli. Yang penting hatiku lega.
Sejak kejadian itu, kalo dia lewat depan rumah kami dan kami membeli rotinya, aku selalu memintanya menghitung pake kalkulator! (hehehe, tetep aja aku malas ngitung sendiri) Istimewanya lagi, penjual roti itu kalau ketemu dengan kami dimana saja, pasti dia tak akan segan-segan membunyikan "nyanyian" rotinya. Ditambah bonus berupa senyuman lebarnya !! Selalu saja setiap itu terjadi, suamiku menggodaku dan berkata : "Tuh Sha..., lihat ! Ibu ketemu dengan penggemar beratnya hahahaha." Sementara aku cuma bisa tersenyum kecut (asem kali kecut...).
Cerita ini terjadi pada sore hari menjelang maghrib. Waktu Shasa mendengar penjual roti keliling lewat di depan rumah, dia memintaku untuk membelikan roti untuknya. Aku yang menyetujui permintaanya segera memanggil tukang roti itu. Singkat cerita, setelah memilih beberapa roti, transaksi jual beli terjadilah. Dan aku segera kembali ke dalam rumah.
Kupikir kejadiannya hanya akan berhenti sampai di situ saja. Tapi ternyata tidak. Aku membeli roti 3 bungkus. Saat kami sekeluarga makan roti itu, iseng-iseng aku mengambil plastik-plastik pembungkusnya. Setelah lama mengamati plastik-plastik itu aku terkejut sekali. Karena setelah aku hitung-hitung, harga ketiga roti itu adalah Rp. 11.600 rupiah. Padahal tadi waktu penjualnya aku tanya berapa total harga yang harus aku bayar, dia bilang Rp. 8.600.
Kebiasaan burukku (yang sangat tidak patut dicontoh) dalam berbelanja adalah aku malas untuk menghitung total harga belanjaanku. *menutup muka yang memerah* Aku biasanya percaya saja sama penjualnya. Aku malas menghitung ulang. Tadi waktu aku beli roti, akupun tidak menghitung sendiri berapa banyak yang harus aku bayar. Aku hanya percaya saja sama penjualnya. Tapi ternyata...., aku kurang membayar 3 ribu rupiah.
Aku jadi gelisah sekali. Suamiku "menasehati" aku (entah untuk keberapa kalinya hiks hiks) agar lain kali aku jangan malas menghitung belanjaan sendiri. Mungkin uang 3 ribu rupiah tak berarti banyak untukku. Tapi.., mungkin sekali berarti banyak untuk penjual roti itu. Duh..., gimana dunk. Di tengah rasa penyesalanku, aku berusaha mengingat-ingat muka penjual roti itu. Samar-samar aku mengingat wajahnya, tapi aku tak yakin.
Beberapa hari kemudian, saat aku dan suami boncengan motor pulang dari kantor, aku melihat penjual roti itu. Spontan aku meminta suamiku untuk mengejarnya. Akhirnya kami berhasil memintanya menepi. Aku menghampirinya dan mencoba menjelaskan kejadian beberapa hari sebelumnya padanya. Penjual itu seperti kebingungan mendengar ceritaku. Aku hanya bilang bahwa dalam ingatanku aku yakin kalau penjual itu adalah dia. Maka, aku kemudian menyodorkan uang 3 ribu rupiah sebagai kekurangan pembayaranku padanya. Dengan muka masih kebingungan, dia menerima uang itu.
Aku tak mau ambil pusing dengan kebingungannya. Bagiku, aku sudah lega telah menyerahkan kekurangan harga roti yang harusnya aku bayar. Kalaupun penjualnya bukan dia, aku tak peduli. Yang penting hatiku lega.
Sejak kejadian itu, kalo dia lewat depan rumah kami dan kami membeli rotinya, aku selalu memintanya menghitung pake kalkulator! (hehehe, tetep aja aku malas ngitung sendiri) Istimewanya lagi, penjual roti itu kalau ketemu dengan kami dimana saja, pasti dia tak akan segan-segan membunyikan "nyanyian" rotinya. Ditambah bonus berupa senyuman lebarnya !! Selalu saja setiap itu terjadi, suamiku menggodaku dan berkata : "Tuh Sha..., lihat ! Ibu ketemu dengan penggemar beratnya hahahaha." Sementara aku cuma bisa tersenyum kecut (asem kali kecut...).
emang betul mbak..kalo mengalami kejadian spt yang mbak alami..tetap merasa ada hutang..walaupun nilainya kecil.
BalasHapusuntung ya mbak masih ketemu sama penjual rotinya..
aku bisa ngebayangin..pasti pada saat ngembaliin duit itu, tampangnya bengong...hehe
Wah sudah punya penggmar berat ya he he he.
BalasHapusIya mbak, uang 3 ribu pasti sangat berharga buat dia, untung dari satu roti aja mungkin cuma 100 atau 200 rupiah
@budiawan : betul bang, aku bingung sekali waktu itu. Kalo inget mukanya waktu terima uang 3 ribu dari aku hehehe lucu sekali.
BalasHapus@erik : penggemar beratnya adalah penjual roti keliling whekekek.
Aku juga mikir kayak gitu, mas. Dia kan cuma bertugas menjual, sedang yg punya usaha bukan dia. Pasti uang yg didapatnya dari jualan roti itu tak seberapa,
Setuju, hutang tetap hutang meskipun orang itu tidak merasa menghutangkan.. (halah apa coba).. Dan dari kejadian ini juga Mbak Reni punya penggemar.. hehehe
BalasHapusSelamat yo.. mbak..
Biar nilainya kecil tapi sebagian orang sangat berarti,wajar kalau mbak merasa terbebani dikarena hati kecil manusia sangat sensitif
BalasHapus@embun pagi : Yups, aku sekarang dah ga punya "hutang" lagi dengan penjual roti itu. Lega deh, mbak. Bonusnya dia jadi penggemarku whekekekek.
BalasHapus@dinoe : Besar kecil memang relatif ya, mas. Mungkin bagiku kecil tapi besar bagi penjual roti itu.
hi hi .. mau jualan roti juga agh .. kali aja rotiku dibeli shasha juga .. *loh kok gak nyambung begini*
BalasHapus@Kuyus : Awas lho mbak, Shasa doyan banget roti... Hehehe
BalasHapus