Buku yang berjudul "Escape Over The Himalayas : Demi Sekolah, 6 Bocah Tibet Harus Berjuang Menaklukkan Himalaya" yang merupakan kisah nyata ini benar-benar membuatku kehilangan kata-kata. Buku yang ditulis oleh Maria Blumencron ini menggambarkan betapa beratnya kehidupan rakyat Tibet setelah dijajah oleh China.
Kampung halaman yang menjadi tanpa harapan membuat beberapa orang tua nekad mengirimkan anak-anak mereka melalui celah-celah pegunungan bersalju yang berada pada ketinggian lebih dari 6.000 meter. Hal itu tetap mereka lakukan meskipun mereka tak mengetahui apakah mereka dapat bertemu lagi dengan anak-anak mereka suatu saat nanti.
Penjajahan China membuat rakyat Tibet menjadi miskin, sehingga untuk membiayai perjalanan anak-anaknya ke pengungsian banyak dari mereka yang terpaksa menjual harta bendanya. Itupun hanya bekal seadanya yang bisa mereka berikan kepada anak-anak mereka : baju hangat, kaos kaki, kaos tangan dan sepatu tipis ditambah makanan secukupnya. Dengan semua itu, anak-anak yang masih kecil-kecil harus berjuang melawan medan yang sangat berat. Bahkan harus berjuang melawan salju, kelaparan, ketakutan dan keletihan yang luar biasa. Itu pun masih ditambah dengan perasaan pedih luar biasa karena harus berpisah dengan orang tua dan keluarganya.
Adalah Maria Blumencron yang terobsesi untuk memfilmkan pengungsian anak-anak Tibet itu. Semuanya berawal dari foto-foto anak Tibet yang mati kedinginan di sebuah majalah. Anak-anak itu mati dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih baik dan sayangnya tak pernah sampai kesana. Termotivasi oleh foto tragis itu, Maria Blumencron berangkat pada musim dingin tahun 1999 untuk membuat film dokumenter tentang hal itu. Namun, sayang sekali pembuatan film itu gagal, karena Maria tertangkap oleh tentara China yang memergoki Maria berada di daerah terlarang.
Namun tekad kuat Maria tidak membuat film tidak surut. Pada tahun 2000 dia kembali lagi dan berhasil mendokumentasikan kisah pengungsian 6 orang anak Tibet yang luar biasa. Keenam anak itu adalah Pema Kecil (7 ), Chime (10), Dolker (7), Dhondup (8), Tamding (10) dan Lhakpa (10).
Bersama mereka ada pemandu Nima yang tulus hati dan seorang mantan Wujing (tentara China) yang sangat bertanggung jawab : Suja. Kehadiran Suja dalam kelompok pengungsian itu benar-benar sangat berarti, khususnya bagi anak-anak, karena Suja seolah menjadi pelindung mereka. Disamping itu ada 5 orang dewasa lagi dan seorang Bhiksu remaja (15 tahun) yang berada dalam kelompok itu.
Akhirnya film dokumenter Maria mendapatkan banyak penghargaan dari dunia internasional. Hal itu berdampak juga pada meningkatnya perhatian masyarakat dunia pada anak-anak pengungsi dari Tibet itu. Namun, Maria masih merasa belum puas sebelum mengabarkan kepada seluruh penduduk dunia tentang derita yang dialami anak-anak Tibet itu. Atas dasar itulah, maka Maria kemudian menyusun buku ini.
Buku ini sangat kuat menceritakan bagaimana perjuangan keenam anak Tibet itu dalam meraih masa depannya. Hanya sayang, ada beberapa hal yang mengganggu kenyamanan dalam membaca buku ini, yang disebabkan karena proses editingnya belum sempurna. Ada beberapa "gangguan" yang aku catat, antara lain :
Namun, meskipun sempat terganggu dengan hal-hal tersebut di atas, buku ini memang luar biasa. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari buku ini, antara lain :
Penulis : Maria Blumencron
Kategori : Non Fiksi
Penerbit : Imania (Mizan Group)
Tanggal Penerbitan : 23-10-2009
Tebal halaman : 336 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 45.000,- (diskon)
Kampung halaman yang menjadi tanpa harapan membuat beberapa orang tua nekad mengirimkan anak-anak mereka melalui celah-celah pegunungan bersalju yang berada pada ketinggian lebih dari 6.000 meter. Hal itu tetap mereka lakukan meskipun mereka tak mengetahui apakah mereka dapat bertemu lagi dengan anak-anak mereka suatu saat nanti.
Penjajahan China membuat rakyat Tibet menjadi miskin, sehingga untuk membiayai perjalanan anak-anaknya ke pengungsian banyak dari mereka yang terpaksa menjual harta bendanya. Itupun hanya bekal seadanya yang bisa mereka berikan kepada anak-anak mereka : baju hangat, kaos kaki, kaos tangan dan sepatu tipis ditambah makanan secukupnya. Dengan semua itu, anak-anak yang masih kecil-kecil harus berjuang melawan medan yang sangat berat. Bahkan harus berjuang melawan salju, kelaparan, ketakutan dan keletihan yang luar biasa. Itu pun masih ditambah dengan perasaan pedih luar biasa karena harus berpisah dengan orang tua dan keluarganya.
Adalah Maria Blumencron yang terobsesi untuk memfilmkan pengungsian anak-anak Tibet itu. Semuanya berawal dari foto-foto anak Tibet yang mati kedinginan di sebuah majalah. Anak-anak itu mati dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih baik dan sayangnya tak pernah sampai kesana. Termotivasi oleh foto tragis itu, Maria Blumencron berangkat pada musim dingin tahun 1999 untuk membuat film dokumenter tentang hal itu. Namun, sayang sekali pembuatan film itu gagal, karena Maria tertangkap oleh tentara China yang memergoki Maria berada di daerah terlarang.
Namun tekad kuat Maria tidak membuat film tidak surut. Pada tahun 2000 dia kembali lagi dan berhasil mendokumentasikan kisah pengungsian 6 orang anak Tibet yang luar biasa. Keenam anak itu adalah Pema Kecil (7 ), Chime (10), Dolker (7), Dhondup (8), Tamding (10) dan Lhakpa (10).
Bersama mereka ada pemandu Nima yang tulus hati dan seorang mantan Wujing (tentara China) yang sangat bertanggung jawab : Suja. Kehadiran Suja dalam kelompok pengungsian itu benar-benar sangat berarti, khususnya bagi anak-anak, karena Suja seolah menjadi pelindung mereka. Disamping itu ada 5 orang dewasa lagi dan seorang Bhiksu remaja (15 tahun) yang berada dalam kelompok itu.
Akhirnya film dokumenter Maria mendapatkan banyak penghargaan dari dunia internasional. Hal itu berdampak juga pada meningkatnya perhatian masyarakat dunia pada anak-anak pengungsi dari Tibet itu. Namun, Maria masih merasa belum puas sebelum mengabarkan kepada seluruh penduduk dunia tentang derita yang dialami anak-anak Tibet itu. Atas dasar itulah, maka Maria kemudian menyusun buku ini.
Buku ini sangat kuat menceritakan bagaimana perjuangan keenam anak Tibet itu dalam meraih masa depannya. Hanya sayang, ada beberapa hal yang mengganggu kenyamanan dalam membaca buku ini, yang disebabkan karena proses editingnya belum sempurna. Ada beberapa "gangguan" yang aku catat, antara lain :
- Ukuran font yang tidak sama, sangat mengganggu dalam kenyamanan membaca, karena di banyak halaman tiba-tiba huruf mengecil dan merapat di tengah-tengah alinea.
- Kesalahan pengetikan : Karena dari awal, penulis buku ini menceritakan semuanya dalam pengurutan waktu yang ketat, maka kesalahan penulisan tanggal pada halaman 222 cukup terasa. Kejadian yang seharusnya terjadi pada Nepal, 11 April 2000 tertulis : Nepal, 1 April 2000.
- Inkonsistensi : di awal disebutkan bahwa Sotsi adalah "kakak ipar" dari Pema Besar (hal xii), namun di belakang disebutkan bahwa Sotsi adalah "sepupu" dari Pema Besar (hal. 116), kemudian pada semua cerita disebutkan bahwa Chime adalah kakak dari Dolker, namun tiba-tiba pada halaman 298 dituliskan : "..... dan Chime bersama dengan kakaknya Dolker." Yang sangat mencolok adalah ketidaksamaan data (yang aku yakin karena kesalahan pengetikan) antara yang tertulis dalam buku dengan sinopsis yang ada dalam cover belakang buku dimana terdapat perbedaan data tentang nama Dolker dan Dhondup serta usia Dolker.
- Pada halaman 188, penyampaiann impian tidak dibedakan dengan kenyataan, sehingga aku selaku membaca sempat bingung saat impian dan kenyataan disampaikan bersama dalam 2 alinea yang berurutan. Kesan semula yang aku tangkap adalah : pengulangan cerita, namun endingnya tidak sama..! Baru setelah membaca dengan lebih hati-hati, aku baru menangkap bahwa alinea di atas adalah penyampaian impian dan alinea di bawahnya adalah kenyataan yang dihadapi oleh sang tokoh.
Namun, meskipun sempat terganggu dengan hal-hal tersebut di atas, buku ini memang luar biasa. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari buku ini, antara lain :
- Jangan menyerah. Apapun yang terjadi, jangan menyerah.....
- Untuk meraih impian, membutuhkan pengorbanan dan semangat sekuat baja.
- Rasa persatuan dan saling mendukung, sangat diperlukan dalam mengatasi saat-saat terberat.
- Kepedulian pada sesama memberikan banyak kebahagiaan, tidak hanya kepada diri sendiri, namun juga kepada orang lain.
Penulis : Maria Blumencron
Kategori : Non Fiksi
Penerbit : Imania (Mizan Group)
Tanggal Penerbitan : 23-10-2009
Tebal halaman : 336 halaman
Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 45.000,- (diskon)
Bukunya bagus mba, penuh dengan sifat heroik..
BalasHapuskeren banget
apalagi kalo dibuat film dokumenternya
Aku suka dengan film dokumenter
BalasHapusbiasanya mengesampingkan segi komersil
itulah mengapa film dokumenter biasanya penuh dengan idealisme
Escape From Himalaya memang layak di filmkan
embaaakkk, mampir ajah karna ku kangeeennn hiks hiks maap gak baca postingannya kali ini yah
BalasHapusmembayangkan dari resensinya saja sudah cukup membuat bergetar dan simpati bu ... semoga berkesempatan ketemu bukunya. btw, resensinya sangat detil sekali ya, benar2 dokter bedah buku nih ... salam optimis
BalasHapusjadi merinding bacanya..
BalasHapuslewat postingan ini dhe lebih tau, rupanya banyak buku2 yang patut dibaca untuk lebih belajar ttg kehidupan.
Buku yang sangat bagus ya mba,begitu menyentuh ya ceritanya..wah kalo film dokumentarnya ada seru juga ya kalo kita nonton.
BalasHapusmumpung hari minggu maen yg lama ah di mba Reni hehe...
BalasHapussalam sobat
BalasHapusseru ya mba Escape Over The Himalayasnya...
saya belum pernah baca mba,,
trims kunjungan dan doanya mba RENI.
waahh,, aku pengen bacaaaa!!! merinding rasanya ngebayangin perjuangan anak2 Tibet itu,, hikz...
BalasHapusbuku'y menarik mbak..,
BalasHapusbuku dgn pesan moral yg bgs ya mba...
BalasHapusakhirnya mba reni main juga ke rumahku,kangen mba...
maaf mba ga bisa mbaca semua
BalasHapusnet pas lagi lelet
salut untuk anak2 yang berjuang demi mendapatkan ilmu
Bukunya bagus banget Mbak...
BalasHapusJadi kepingin baca secara lengkap.
Maaf mbak, aku jarang mampir....
Kayaknya buku yg bagus ya mbak? Memang perjuangan rakyat Tibet itu berat ya, sudah negerinya dijajah, cuaca yg ekstrem juga sering menyulitkan. Tp aku yakin justru dgn segala kesulitan itu, rakyat Tibet tumbuh jd pribadi2 yg tangguh.
BalasHapusAlhamdulillah, masih lebih baik dari mereka!
BalasHapuswah..wah.., herok bener ceritanya. andai di filemkan bisa ngalahin gregetnya laskar pelangi ya mbak...
BalasHapusjadi ingin tambah syukurnya dengn nikmat yg sudah kita dapetin
bagus ya mbak? nanti coba cari ah..thanks ya mbak :)nice review
BalasHapusReview buku tentang Tibet yang mantap. Kelihatannya menarik mbak, jadi pengen cari bukunya neh.
BalasHapusternyata negara sehebat Cina, masih bermasalah dengan pendidikan...jadi keinget ma Ma Yan ya mbak
BalasHapussalam sobat
BalasHapusmampir lag mba,mau mengucapkan selamat hari ibu buar IBUNDA dan mba RENI juga.
detil banget bu...
BalasHapuspenulis dan editor bisa kecolongan juga ya bu :D
Saya belum membaca buku ini, tapi membaca review Mb Reni sudah cukup memberikan gambaran. Dan sangat menyentuh.
BalasHapusItu adalah bukti nyata bahwa peperangan dan konflik politik membawa rakyat kecil sebagai korban.