Jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin sampai saat ini belum juga terjembatani. Masih sering kudengar dan kubaca berita-berita memilukan tentang kemiskinan. Dalam kemiskinan, sayangnya anak-anaklah yang paling sering menjadi korban penderitanya. Rasanya sudah banyak contoh yang tersebar di sekeliling kita, sehingga tak perlu lagi aku mengambil salah satunya.
Kemiskinan versus kekayaan, dan kekayaan berkorelasi dengan kekuasaan. Mungkin itulah "dalil" yang dipegang pada saat ini. Begitulah jika uang sudah punya kuasa, maka seringkali hati nurani tak berani bicara. Bukankah sudah banyak bukti yang menguatkan "dalil" tersebut di atas ?
Ada satu puisi yang setiap kali aku membacanya, selalu saja aku tak mampu menahan air mata. Sebuah puisi yang dengan gamblang memotret pedihnya kemiskinan yang ada di negeri kita tercinta ini. Semoga saja puisi ini tidak menggambarkan hati kita yang makin asing dengan nurani....
Gambar diambil dari sini
Kemiskinan versus kekayaan, dan kekayaan berkorelasi dengan kekuasaan. Mungkin itulah "dalil" yang dipegang pada saat ini. Begitulah jika uang sudah punya kuasa, maka seringkali hati nurani tak berani bicara. Bukankah sudah banyak bukti yang menguatkan "dalil" tersebut di atas ?
Ada satu puisi yang setiap kali aku membacanya, selalu saja aku tak mampu menahan air mata. Sebuah puisi yang dengan gamblang memotret pedihnya kemiskinan yang ada di negeri kita tercinta ini. Semoga saja puisi ini tidak menggambarkan hati kita yang makin asing dengan nurani....
KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGILPuisi di atas adalah sebuah puisi lama yang mungkin sudah banyak dibaca oleh sahabat blogger. Namun, aku sengaja menyalinnya lagi disini. Alasanku adalah agar kita kembali kepada hati nurani. Selain itu, agar kita dapat belajar dari sang penyair yang meskipun pada saat menulis puisi itu masih berusia 10 tahun, tapi memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Ataukah mungkin anak-anak memang lebih memiliki hati nurani daripada orang dewasa ?
(untuk adinda: Khaerunisa)
Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil
Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar
aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?
Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi
Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri
sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?
Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong
Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku
Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli
aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?
Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta
Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini
Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya
Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.
aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil
(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)
Gambar diambil dari sini
Berkali-kali aku juga telah membacanya. Benar, setiap membacanya akan selalu ada setitik air yang menggenangi sudut mata kita. Nurani, di mana kau kini di negeri ini?
BalasHapuspuisi yang sungguh menggetarkan mbak...
BalasHapussungguh puisi yg luar biasa ya mba,terlebih ditulis oleh seorang anak kecil berumur 10 thn.
BalasHapussungguh peka sekali dengan jiwa anak2nya memandang kehidupan ini...jiwanya telah awas memnadang sekitarnya mba.
benar-benar puisi yang menyentuh mbak...kadang2 penderitaan yang ada selalu menorehkan cerita duka bagi yang mengalaminya...
BalasHapusWaw... luar biasa Mbak puisinya, saya sampai butuh 2x baca demi memahami pesan yg ingin disampaikan.
BalasHapusPuisi yang pekat dan dalam. Sayapun ikut tergetar mbak.
BalasHapuswah puisi yg bagus mba' memang sulit jika ingin mencari permasalahan antara si miskin dan si kaya, semua punya pembenaran untuk semua tindakan mereka!!!howin
BalasHapusSetelah selesai membaca...
BalasHapusAda butirab bening serasa menyeruak mencari jalan keluar.
Puisi yang sangat menyentuh mbak... tentang potret miris kemiskinan di negeri Zamrud Khatulistiwa ini.
saya baru skrg baca puisinya mba...
BalasHapussaya lebih kaget lagi kalau ternyata yang nulis baru 10 tahun...
mungkin bener kata mba reni, "mungkin anak-anak memang lebih memiliki hati nurani daripada orang dewasa"
puisinya bikin saya miris mba... hicks...
nurani seorang anak memang masih bersih mbak, belum terbentur dengan segala macam problem seperti orang dewasa...mungkin sichh
BalasHapusBlog yang unik dan kreatif.
BalasHapusTapi backgroundnya kok gelap ya.
Bikin mata cepat lelah...
apa kabar mbak reni
BalasHapuswowo asyik nich postingnya, lengkapa kupasannya, ada puisi lagi
tx ya
sungguh perih ya bu...
BalasHapuskejadian di depok, orangtua yang meninggalkan anak2nya karena dikejar2 penagih hutang sungguh membuat miris. sementara pejabat bersengketa tentang perlakuan terhadap koruptor
biarlah dia tenang dan damai dibawah Kasih sayang Allah Sekarang hanya itu yang bisa menghibur hati kita atas semua itu
BalasHapuspuisi yang benar2 menyentuh, apalagi yang nulisnya anak umur 10 tahun... hebat, salut n angkat topi niih...
BalasHapusjangan sampe deh jurang antara yang kayak dan miskin makin lebar...
BalasHapuspuisi yang sungguh menyentuh
BalasHapussangat mengharukan nich...
BalasHapus.lagi-lagi moral diangkat
waduh mba.... jangan ada jurang diantara kita deh mba.... hehehehehe......
BalasHapusmemang mba
BalasHapusditeliti pake alat analisis ekonomi pun emang ternyata jurang kemiskinan itu besarrrrr sekali
pakar ekonomi cuma bisa ngomong
DPR malah asik goyang2 kaki keenakan dapat tunjangan gedhe
Apakah mereka butuh belas kasian?? BIsa jadi iya bisa juga tidak..
BalasHapusKadang menag kita begitu miris melihat kemiskinan mbak
BalasHapuskita sendiri pengin bantu
tapi mereka kadang tak ingin dibantu
:lol: :lol: :lol: :lol: :lol:
BalasHapusRAIHLAH “JATI DIRI MANUSIA”.. untuk
MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA INDONESIA
Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabatku terchayaaaaaank
I Love U fuuuuullllllllllllllllllllllllllllllll
:lol: :lol: :lol: :lol: :lol:
BalasHapusSalam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabatku terchayaaaaaank
I Love U fuuuuullllllllllllllllllllllllllllllll
sungguh mengetarkan jiwa
BalasHapusMakasih sdh berbagi dgn kami, mbak. Tapi soal miskin dan kaya juga ketidakadilan akan selalu ada di atas bumi. Tinggal apa yg mau kita lakukan utknya. Kita takkan pernah bisa menghilangkannya, tp justru dgn adanya jurang itu kita akan bisa berkarya buat sesama.
BalasHapuspuisinya bikin terharu mbak... :'(
BalasHapusmungkin emang bener yah,, hati anak kecil itu lebih murni...
Mbak lw puisi diatas aq update d facebookQ boleh gk???? Soalny puisiny bgus bgt?????
BalasHapus