Salah satu acara televisi favorit keluargaku adalah "jika aku menjadi..." yang ditayangkan oleh transtv. Acara yang mencoba menampilkan kehidupan orang-orang yang kurang beruntung itu (sebagai narasumbernya) betul-betul bagai angin segar di antara serbuan sinetron di berbagai stasiun televisi. Narasumber yang ditampilkan betul-betul mewakili profesi dari kelompok "masyarakat miskin", seperti : penjual gorengan, pemulung, buruh tani, penjual martabak, dsb. Menariknya lagi, dalam setiap episodenya ada seorang talent (seperti host gitu deh) yang selalu berganti-ganti (kebanyakan sih mahasiswa) yang betul-betul terjun dan menyelami kehidupan orang-orang yang kurang beruntung itu.
Sang talent tersebut selama beberapa hari hidup bersama "nara sumber" dengan segala keterbatasannya. Seringkali ditampilkan bagaimana sang talent yang kebingunan saat mengetahui bahwa nara sumbernya tidak memiliki MCK yang layak bahkan harus buang air besar di sungai. Belum lagi dengan hidangan makanan yang amat sangat sederhana. Malah dalam suatu episode sang nara sumber hanya mampu menyiapkan makanan berupa nasi garam dan di lain episode makanan yang disajikan hanya sinkong rebus untuk sang talent. Tidak mengherankan apabila di setiap episode sang talent menangis saat merasakan betapa beratnya hidup yang selama ini harus dijalani sang narasumber.
Mengingat bahwa acara ini bisa melatih kepekaan Shasa pada lingkungan, maka kami selalu berusaha meluangkan waktu untuk menontonnya. Melalui acara ini kami dapat menumbuhkan jiwa solidaritas terhadap sesama dan kami bisa lebih mensyukuri apa yang telah kami miliki selama ini. Khususnya bagi Shasa-ku, acara itu betul-betul membuka wawasannya tentang kehidupan yang sesungguhnya yang selama ini jauh dari penglihatannya.
Bagiku sendiri, acara ini membuatku memandang kerja dengan perspektif yang baru. Melalui sang narasumber aku melihat semangat bekerja yang pantang menyerah. Sering aku ikut terharu menyaksikan bagaimana kerasnya usaha mereka untuk sekedar menghidupi keluarga tercinta. Terkadang rasa letih dan sakit harus dilupakan demi sesuap nasi...
Aku sungguh salut melihat betapa besar kecintaan narasumber terhadap pekerjaan (ala kadarnya) yang selama ini menghidupi mereka. Mereka betul-betul telah ikhlas menjalani kehidupan mereka yang berat.
Sesulit apapun keadaan yang mereka alami, ternyata mereka tetap tidak kehilangan rasa cinta dan keihlasan dalam bekerja. Lebih hebat lagi, mereka senantiasa mensyukuri rezeki yang jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan kerja keras mereka dalam sehari. Subhanallah.... Aku jadi malu karena tak ada keluhan sedikitpun yang terlontar dari setiap narasumber. Sementara aku..., hanya karena masalah kecil saja seringkali merasa sudah sangat menderita.
Aku jadi ingat kata-kata bijak dari Kahlil Gibran yang berbicara tentang kerja :
Dalam salah kesempatan Mario Teguh pernah mengatakan : "Dalam ekonomi yang sulit ini, rezeki tetap bersifat pribadi, so tingkatkan hubungan pribadi kita dengan Allah".
Bagaimanapun juga lebih mudah untuk bisa ikhlas dalam menjalani hidup yang berkecukupan daripada mampu ikhlas dalam menjalani hidup dalam penuh keterbatasan. Seandainya apa yang disampaikan oleh Mario Teguh dan apa yang telah dicontohkan oleh para narasumber dalam "jika aku menjadi..." dapat selalu kita ikuti, Insya Allah kita akan mampu senantiasa mensyukuri hidup ini.
Sang talent tersebut selama beberapa hari hidup bersama "nara sumber" dengan segala keterbatasannya. Seringkali ditampilkan bagaimana sang talent yang kebingunan saat mengetahui bahwa nara sumbernya tidak memiliki MCK yang layak bahkan harus buang air besar di sungai. Belum lagi dengan hidangan makanan yang amat sangat sederhana. Malah dalam suatu episode sang nara sumber hanya mampu menyiapkan makanan berupa nasi garam dan di lain episode makanan yang disajikan hanya sinkong rebus untuk sang talent. Tidak mengherankan apabila di setiap episode sang talent menangis saat merasakan betapa beratnya hidup yang selama ini harus dijalani sang narasumber.
Mengingat bahwa acara ini bisa melatih kepekaan Shasa pada lingkungan, maka kami selalu berusaha meluangkan waktu untuk menontonnya. Melalui acara ini kami dapat menumbuhkan jiwa solidaritas terhadap sesama dan kami bisa lebih mensyukuri apa yang telah kami miliki selama ini. Khususnya bagi Shasa-ku, acara itu betul-betul membuka wawasannya tentang kehidupan yang sesungguhnya yang selama ini jauh dari penglihatannya.
Bagiku sendiri, acara ini membuatku memandang kerja dengan perspektif yang baru. Melalui sang narasumber aku melihat semangat bekerja yang pantang menyerah. Sering aku ikut terharu menyaksikan bagaimana kerasnya usaha mereka untuk sekedar menghidupi keluarga tercinta. Terkadang rasa letih dan sakit harus dilupakan demi sesuap nasi...
Aku sungguh salut melihat betapa besar kecintaan narasumber terhadap pekerjaan (ala kadarnya) yang selama ini menghidupi mereka. Mereka betul-betul telah ikhlas menjalani kehidupan mereka yang berat.
Sesulit apapun keadaan yang mereka alami, ternyata mereka tetap tidak kehilangan rasa cinta dan keihlasan dalam bekerja. Lebih hebat lagi, mereka senantiasa mensyukuri rezeki yang jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan kerja keras mereka dalam sehari. Subhanallah.... Aku jadi malu karena tak ada keluhan sedikitpun yang terlontar dari setiap narasumber. Sementara aku..., hanya karena masalah kecil saja seringkali merasa sudah sangat menderita.
Aku jadi ingat kata-kata bijak dari Kahlil Gibran yang berbicara tentang kerja :
Jika dalam keluhan kalian menganggap kelahiran sebagai penderitaan dan mencari nafkah (adalah) sebuah kutukan, maka aku berkata bahwa tidak ada yang dapat menghapus kutukan derita itu selain cucuran keringat kalian sendiri. Selama ini kalian juga mendengar orang berkata bahwa hidup adalah kegelapan, dan dalam keletihan kalian selalu meniru kata-kata mereka yang kelelahan. Maka aku katakan bahwa hidup memang kegelapan, jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan segala pengetahuan adalah hampa, jika tidak diikuti pekerjaan. Dan setiap pekerjaan akan sia-sia, jika tidak disertai cinta.
Kerja adalah cinta yang menjadi nyata.
Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu ? Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak.
Jika kalian merasa enggan dan tidak sanggup bekerja dengan cinta, maka lebih baik kalian meninggalkannya, lalu mengambil tempat di depan gerbang kuil, meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan rasa gembira.
Dalam salah kesempatan Mario Teguh pernah mengatakan : "Dalam ekonomi yang sulit ini, rezeki tetap bersifat pribadi, so tingkatkan hubungan pribadi kita dengan Allah".
Bagaimanapun juga lebih mudah untuk bisa ikhlas dalam menjalani hidup yang berkecukupan daripada mampu ikhlas dalam menjalani hidup dalam penuh keterbatasan. Seandainya apa yang disampaikan oleh Mario Teguh dan apa yang telah dicontohkan oleh para narasumber dalam "jika aku menjadi..." dapat selalu kita ikuti, Insya Allah kita akan mampu senantiasa mensyukuri hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)