Malam ini, seperti biasa aku selalu menemani Shasa yang akan tidur malam. Sesaat sebelum Shasa tidur, terjadi percakapan antara aku dan Shasa. Percakapan yang kemudian membuatku berpikir cukup lama.
Awalnya, Shasa menanyakan padaku, kapan aku akan mengajaknya pergi ke Jakarta. Karena memang sampai di usianya yang ke-9 tahun ini Shasa belum pernah ke Jakarta. Sebelum menjawab aku menanyakan padanya, mengapa dia bertanya begitu. Jawaban dari Shasa sangat sederhana : karena banyak temannya yang sudah pergi ke Jakarta!
Untuk pertanyaan itu, aku hanya bisa menjawab pada Shasa, "Insya Allah suatu hari nanti kita bisa ke Jakarta". Namun, tampaknya Shasa tidak puas dengan jawabanku, karena dia masih terus mengejarku tentang waktu yang pasti aku akan mengajaknya ke Jakarta. Bukan untuk alasan lain-lain kecuali berlibur, begitu kata Shasa. Dan.., aku tetap membesarkan hatinya, bahwa dia tetap akan pergi ke Jakarta, suatu saat nanti.
Setelah Shasa terlelap dalam tidurnya (dan semoga sudah bermimpi sampai di Jakarta hehehe), aku tenggelam dalam lamunan. Aku jadi berpikir, tak salah kalau Shasa punya keinginan itu. Apalagi kalau ternyata dia sudah beberapa kali mendengar cerita teman-temannya yang mengisi liburannya selalu ke luar kota.
Kebetulan, saat sekolah Shasa diliburkan untuk pelaksanaan UAN SD kemarin, Shasa tidak bisa pergi kemana-mana. Selama liburan 1 minggu itu, Shasa hanya di rumah, karena aku dan suamiku sama-sama tidak bisa meninggalkan pekerjaan kantor. Kami sama-sama tidak bisa mengambil cuti. Aduh.., timbul rasa bersalah dalam diriku karena tak mampu menemani Shasa di saat dia libur sekolah kemarin.
Aku lantas berpikir lagi, apakah teman-teman Shasa yang lain, yang sama-sama belum pernah ke Jakarta punya keinginan yang sama seperti Shasa saat ada temannya yang menceritakan asyiknya liburan ke Jakarta ? Tetapi..., aku hampir yakin kalau teman sekelas Shasa yang belum pernah ke Jakarta bisa dihitung dengan jari.
Sekolah Shasa adalah sekolah favorit di kotaku. Kupikir, itulah "resiko"nya menyekolahkan anak di sekolah favorit. Dimanapun tempatnya, aku yakin sekolah favorit diserbu oleh orang-orang yang mampu. Kalaupun ada yang tidak mampu, itupun hanya sebagian kecil saja.
Muncul pertanyaan di benakku, bagaimana kalau keinginan seperti yang dirasakan oleh Shasa ternyata dimiliki juga oleh anak-anak yang tidak mampu itu ? Mereka masih anak-anak kelas 3 SD. Anak kecil yang masih bicara dengan bebasnya tanpa terpikir bahwa ceritanya ternyata menimbulkan rasa cemburu dalam hati teman-temannya yang lain. Anak kecil yang belum bisa menyaring informasi dengan akal sehatnya.
Aku jadi ingat dengan sekolahku dulu. Aku dulu tidak dimasukkan ke sekolah favorit oleh kedua orang tuaku. Alasan orangtuaku mencarikan sekolah (SD) untukku adalah lokasi sekolah yang dekat dengan rumah. Kedua orangtuaku bekerja, sehingga kalau sekolahku dekat dengan rumah, aku bisa berangkat dan pulang sendiri. Jadilah aku berjalan kaki kurang lebih 10 menit setiap harinya menuju dan dari sekolahku
Karena sekolahku bukan sekolah favorit, latar belakang ekonomi kami sangat beragam. Aku ingat, teman-temanku yang mampu adalah anak-anak dari tentara, guru dan pegawai. Namun, ada juga yang tidak mampu. Mereka adalah anaknya tukang becak, pedagang kaki lima dan ada pula anaknya pelayan toko. Kami datang dari keanekaragaman status sosial.
Namun, karena terbiasa hidup berbaur dengan orang-orang "biasa", maka kami biasa bertoleransi. Kami bisa menerima perbedaan dengan lebih baik. Kami juga tidak terbiasa membicarakan kemewahan dan materi.
Aku jadi berpikir, apakah seandainya Shasa tidak berada di sekolah favorit kondisinya akan berbeda ? Apakah seandainya Shasa masuk di sekolah kampung, pengalamanku akan terjadi juga padanya ? Apakah jika Shasa terdaftar sebagai murid sekolah "biasa" jiwa toleransinya akan lebih hidup?
Sekolah ternyata berimbas pada pergaulan juga. Kalau terbiasa bergaul dengan anak-anak yang mampu di sekolah, maka anak akan sering melihat dan mendengar kehidupan anak-anak yang mampu. Kita tidak dapat menyalahkan anak kalau suatu saat mereka ingin seperti teman-temannya yang mampu itu. Walaupun kita sudah sering mengajarkan pada anak kita untuk berempati pada orang-orang yang kurang mampu, ternyata keinginan seorang anak tidak dapat dibendung. Hal itu wajar sebenarnya, karena dia memang masih anak-anak.
Dengan keadaan seperti itu, kupikir harga pergaulan di sekolah favorit itu ternyata "mahal" juga. Ini kejadian di sekolah Shasa lho.., mungkin saja tidak terjadi di sekolah-sekolah yang lain.
Awalnya, Shasa menanyakan padaku, kapan aku akan mengajaknya pergi ke Jakarta. Karena memang sampai di usianya yang ke-9 tahun ini Shasa belum pernah ke Jakarta. Sebelum menjawab aku menanyakan padanya, mengapa dia bertanya begitu. Jawaban dari Shasa sangat sederhana : karena banyak temannya yang sudah pergi ke Jakarta!
Untuk pertanyaan itu, aku hanya bisa menjawab pada Shasa, "Insya Allah suatu hari nanti kita bisa ke Jakarta". Namun, tampaknya Shasa tidak puas dengan jawabanku, karena dia masih terus mengejarku tentang waktu yang pasti aku akan mengajaknya ke Jakarta. Bukan untuk alasan lain-lain kecuali berlibur, begitu kata Shasa. Dan.., aku tetap membesarkan hatinya, bahwa dia tetap akan pergi ke Jakarta, suatu saat nanti.
Setelah Shasa terlelap dalam tidurnya (dan semoga sudah bermimpi sampai di Jakarta hehehe), aku tenggelam dalam lamunan. Aku jadi berpikir, tak salah kalau Shasa punya keinginan itu. Apalagi kalau ternyata dia sudah beberapa kali mendengar cerita teman-temannya yang mengisi liburannya selalu ke luar kota.
Kebetulan, saat sekolah Shasa diliburkan untuk pelaksanaan UAN SD kemarin, Shasa tidak bisa pergi kemana-mana. Selama liburan 1 minggu itu, Shasa hanya di rumah, karena aku dan suamiku sama-sama tidak bisa meninggalkan pekerjaan kantor. Kami sama-sama tidak bisa mengambil cuti. Aduh.., timbul rasa bersalah dalam diriku karena tak mampu menemani Shasa di saat dia libur sekolah kemarin.
Aku lantas berpikir lagi, apakah teman-teman Shasa yang lain, yang sama-sama belum pernah ke Jakarta punya keinginan yang sama seperti Shasa saat ada temannya yang menceritakan asyiknya liburan ke Jakarta ? Tetapi..., aku hampir yakin kalau teman sekelas Shasa yang belum pernah ke Jakarta bisa dihitung dengan jari.
Sekolah Shasa adalah sekolah favorit di kotaku. Kupikir, itulah "resiko"nya menyekolahkan anak di sekolah favorit. Dimanapun tempatnya, aku yakin sekolah favorit diserbu oleh orang-orang yang mampu. Kalaupun ada yang tidak mampu, itupun hanya sebagian kecil saja.
Muncul pertanyaan di benakku, bagaimana kalau keinginan seperti yang dirasakan oleh Shasa ternyata dimiliki juga oleh anak-anak yang tidak mampu itu ? Mereka masih anak-anak kelas 3 SD. Anak kecil yang masih bicara dengan bebasnya tanpa terpikir bahwa ceritanya ternyata menimbulkan rasa cemburu dalam hati teman-temannya yang lain. Anak kecil yang belum bisa menyaring informasi dengan akal sehatnya.
Aku jadi ingat dengan sekolahku dulu. Aku dulu tidak dimasukkan ke sekolah favorit oleh kedua orang tuaku. Alasan orangtuaku mencarikan sekolah (SD) untukku adalah lokasi sekolah yang dekat dengan rumah. Kedua orangtuaku bekerja, sehingga kalau sekolahku dekat dengan rumah, aku bisa berangkat dan pulang sendiri. Jadilah aku berjalan kaki kurang lebih 10 menit setiap harinya menuju dan dari sekolahku
Karena sekolahku bukan sekolah favorit, latar belakang ekonomi kami sangat beragam. Aku ingat, teman-temanku yang mampu adalah anak-anak dari tentara, guru dan pegawai. Namun, ada juga yang tidak mampu. Mereka adalah anaknya tukang becak, pedagang kaki lima dan ada pula anaknya pelayan toko. Kami datang dari keanekaragaman status sosial.
Namun, karena terbiasa hidup berbaur dengan orang-orang "biasa", maka kami biasa bertoleransi. Kami bisa menerima perbedaan dengan lebih baik. Kami juga tidak terbiasa membicarakan kemewahan dan materi.
Aku jadi berpikir, apakah seandainya Shasa tidak berada di sekolah favorit kondisinya akan berbeda ? Apakah seandainya Shasa masuk di sekolah kampung, pengalamanku akan terjadi juga padanya ? Apakah jika Shasa terdaftar sebagai murid sekolah "biasa" jiwa toleransinya akan lebih hidup?
Sekolah ternyata berimbas pada pergaulan juga. Kalau terbiasa bergaul dengan anak-anak yang mampu di sekolah, maka anak akan sering melihat dan mendengar kehidupan anak-anak yang mampu. Kita tidak dapat menyalahkan anak kalau suatu saat mereka ingin seperti teman-temannya yang mampu itu. Walaupun kita sudah sering mengajarkan pada anak kita untuk berempati pada orang-orang yang kurang mampu, ternyata keinginan seorang anak tidak dapat dibendung. Hal itu wajar sebenarnya, karena dia memang masih anak-anak.
Dengan keadaan seperti itu, kupikir harga pergaulan di sekolah favorit itu ternyata "mahal" juga. Ini kejadian di sekolah Shasa lho.., mungkin saja tidak terjadi di sekolah-sekolah yang lain.
Bener juga mbak Reni, kalimat yang bijak untuk para orang tua yang menykolahkan anaknya di sekolah elit. Termasuk mbak tentunya. :)
BalasHapusMbak, u have a maid?
Repot juga neh mau komennya...
BalasHapusTerlepas dari teman2nya yang mampu, bukannya sekolah "favorit" justru pelajaran extra nya juga oke Bu? Yg aku tau seh begitu..menurut cerita teman juga..
Kalo berlibur ke Jkt paling Ancol, TMII, Monas, TIM...apalagi yaaaa...eehhhmm..naik busway...dan maceeettt.....hahahahaah
liburan kejakarta bikin pusing mbak. orang jakarta malah mau ke madiun kok,hehehe
BalasHapusada benarnya juga mbak, tp dimanapun lingkungan tempat kita berada mesti ada sisi baik buruknya. diambil manfaatnya aja mbak. salam buat shasa.
BalasHapusWuih keknya aku harus mulai mikirin ini nih, biar kalo ntar nikah udah nggak bingung lagi...hehehehehe
BalasHapusTrilogi pendidikan yang akan membentuk karakter anak : Keluarga,lingkungan dan sekolah.
BalasHapusjika masing2 bisa saling melengkapi pasti karakter anak akan bagus. dan sebaliknya.
Memang lingkungan amat besar pengaruhnya pd pertumbuhan anak, mbak. Pengalaman mbak Reni itu jg banyak dialami di Surabaya ini (mungkin malah lbh ekstrim). Aku pikir prestasi itu tergantung dr anaknya (dan ortunya), bukan semata-mata sekolah favorit ato tdk. Karena pendidikan kan bukan hanya utk IQ, tp seharusnya utk EQ jg.
BalasHapusKalo sdh terlanjur gini, mungkin mbak Reni hrs lbh banyak mengarahkan pendidikan EQ-nya (yg biasanya tdk didapat di sekolah).
Wish the best for Shasa...
betul emg mba', pergaulan sangat mempengaruhi, namun yg terpenting asal ortu bisa nuruti kmauan anaknya gak masalah..
BalasHapuskomen pertama mba,,keep sharing pengalamannya...
ya bunda pergaulan sangat berpengaruh palagi jaman sekarang neh. harus dibekalin. ;P ada posting baru dt4 saya kunjungin yah bunda.
BalasHapushttp://awalsholeh.blogspot.com/2009/05/delcam-plc-adalah-sebuah-perusahaan.html
Shasa nggak usah sedih diusia 9 tahun belum pernah kejakarta. nietha aja baru menginjakkan kaki kejakarta setelah 27 tahun..hehe..
BalasHapusjadi bungung mbak, entar anakku lbh baik skul dmn yahh???
BalasHapusbetul mbak. sekolah mahal, ketemu anak2 org tajir, bisa mempengaruhi kita. so..sbg ortu, harus pintar2 membimbing anak agar tdk terpengaruh sama teman2nya yg tajir.
BalasHapusBenar mbak..sekolah memang tempat bergaul..ada sisi positif,juga ada sisi negatifnya..
BalasHapusSangat berpengaruh mbak,tapi tinggal bagaimana orang tua menanamkan sikap kepada anaknya dalam menyikapi hal2 seperti itu.Jadi dimanapun nanti sianak berada,dia akan menjadi pribadi yg teguh dan tidak mudah terpengaruh..
BalasHapusYa sekolah atau lingkungan kehidupan manapun, pasti memberikan pengaruh, warna tersendiri bagi anak-anak. Tinggal bagaiamana ortu bijak menyikapinya saja, katanya. Nice posting.
BalasHapusKualitas penting tapi yang lebih penting lagi adalah prestasi bukan begitu mbak yu
BalasHapusMbak..aku ngga sekolah di tempat yang elit kok
BalasHapuskalo ortuku sih sekolah yang penting negeri deket rumah
biar gamapang ngawasi
dan hemat BBM..
itu katanya
Lingkungan memang sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian Anak, hal ini menuntut kejelian kita sebagai orang tua untuk senantiasa menjadi teman dan sekaligus sahabat yang bisa membuat sang anak dapat menjalani kesehariannya tanpa menemui masalah yang berarti.
BalasHapusLoh saya malah Bosen di Jakarta, mau muter ke lampung. Tapi kalau mau main ke Jakarta mampir deh....
BalasHapusMemang gitu Mbak ren..semakin kita menyekolahkan anak di sekolah terbagus n terfavorit..resiko pergaulan juga harus tempat2 terbagus n terfavorit..aAnyway, Aku belom punya rumah sendiri di Jakarta masih numpang ama Mamah..tapi kalo pas Mbak Reni n Shasa main ke jakarta n kebeneran aku lagi mudik di Jakarta...kabarin aku yahhh...hehehhe
BalasHapusSasa itu siapa to Mbak?
BalasHapus@anazkia : I don'e have a maid.... Why ?
BalasHapus@yudie : tempat-2 hiburan di Jakarta itulah tampaknya yang membuat Shasa ingin ke Jakarta mas.
@Indonesian Times : menurutku sih emang enak di Madiun hehehehe...
@Narti : Bener nih kata mbak Narti. Salamnya dah aku sampaikan, mbak.
@buwel : asal pas mau nyekolahin anak gak lupa aja karena dah kelamaan hehehehe..
@trimatra : trilogi pendidikan itu yang harus saling melengkapi ya ?
@fanda : IQ emang harus diimbangi dg EQ ya, mbak ? Thanks utk doanya buat Shasa.
@Isro : makasih utk komennya. Jangan sungkan utk sering-2 datang ya ? Hehehehe..
@awal sholeh : yups.. bener deh.
@nietha : wah..., ternyata Shasa masih punya banyak waktu utk bisa ke Jakarta ya ? Hahahaha...
@dunia polar : emang anaknya udah umur berapa ? ^_^
@sang cerpenis : saat ini berteman dg anak-2 orang kaya memang masih membuat Shasa "terpana" mbak...
BalasHapus@dinoe : semoga aku bisa selalu mendampingi Shasa ya.. Amin.
@ajeng : wah.., mbak Ajeng bener sekali tuh.
@newsoul : pergaulan emang memberikan banyak "pelajaran" bagi anak-anak mbak.
@ciput : betuuuulll... ^_^
@Itik bali : dimanapun sekolahnya, yang penting adalah semangatnya !!
@seti@wan : itulah makanya ortu harus mampu menempatkan diri dg baik ya, bang...
@ari : tawaran yang perlu utk dipikirkan nih hehehe..
@bintang : emang mbak kapan mau pulkam ?? ^_^
@mantan copet : wah.., kemarin lupa belum aku kenalkan ma Shasa to ??
salam....
BalasHapusnanti bawalah si manja tu ke jakarta..kesian dia..:)
wah benar2 deka sakli dengan sang putri mba :)
BalasHapuspergaulan di sekolah favorit, saya setuju dengan mba. Tapi ada enaknya juga lho mba. Kalau sekolah favorit pasti sasha bakalan berteman dengan orang-orang yang rajin juga, dan pasti dia bakalan selalu termotivasi untuk selalu bersaing.
Kalau masalah yang mba paparkan, kayaknya mba Reni punya cara yang lebih keren untuk menanganinya :D
Eh akhirnya saya menemukan menu follower, heheheehe, di bawah sih ya, soalnya saya ketinggalan berita terus di sini :D
@anaklaut : someday aku pasti ajak Shasa ke Jakarta..
BalasHapus@Jonk : semua ada plus minusnya, Jonk.. Makasih ya...
ini juga kejadian di adik saya bu...
BalasHapusbedanya adik saya smp.. sudah lebih bisa berpikir, tapi masih juga susah buat menolak arus pergaulan yang ada di sekelilingnya
sekolah disalah satu smp negri bagus dan beken di bandung, teman2nya rata2 orang menengah ke atas semuanyaa! yang jelek adalah adik saya yang asli menengah saja ga bisa menahan diri buat bergaya dan bertingkah sama kaya teman2nya yang masih SMP aja udah bawa mobil, nongkrongnya di kafe, hp nya BB... aaahhh parah!
susahnya juga adalah adik ga dekat sama mama dan saya terlanjur ga dekat juga sama dia... saya rasa orangtua harus selalu berkomunikasi sama anak buat ga 'kehilangan jejak' di dunia pergaulan anaknya kelak
salam kenal bu :D
wah, saya dulu malah pingin masuk sekolah favorit. Karena pindahan dari daerah, orang tua gak sempat mengejar jadwal pendaftaran yang sudah mepet deadlinenya.
BalasHapusMemang sekolah favorit, ada beberapa hal yang terbilang "mahal". Namun harga mahal itu pantas untuk anak anak kita yang sudah menghargai usaha kita menyekolahkan mereka, melalui nilai nilai yang bagus.
Sebaik mungkin, bila putra putri kita punya kemampuan, dan kita memiliki anggaran untuk menyekolahkan di sekolah favorit, kenapa tidak. Karena disana, mereka tidak hanya mendapat pendidikan terbaik, juga teman teman dan ilmu pergaulan yang berbeda.
@natazya : memang repot kalau ortu tak bisa menjadi "teman" anak-2nya karena ortu akan semakin sulit mendampingi anak-2 di masa pertumbuhan yang masih harus dalam pengawasan dan bimbingan.
BalasHapus@kuyus : emang banyak yang harus "dibayar" jika kita memilih sekolah favorit, mbak.