Siapa pun pasti berharap kehadirannya diterima dengan tangan terbuka. Tak terkecuali diriku. Aku punya kenangan dan pengalaman luar biasa yang tak akan aku lupakan terkait dengan 'penerimaan' itu. Bahkan aku sangat terkesan dengan penerimaan luar biasa yang aku terima, sehingga hal itu menjadi salah satu alasanku dalam mengambil langkah selanjutnya.
Ceritanya bermula dari kedekatannya dengan (calon) suamiku kala itu. Suatu saat, sewaktu aku masih kuliah di Yogyakarta dulu, untuk pertama kalinya dia mengajakku untuk ke rumah budenya yang kebetulan tinggal di Yogyakarta juga. Jika sebelumnya aku menolak ajakannya karena belum siap mental, namun saat itu aku memberanikan diri untuk menerima ajakannya. Maka, meluncurlah kami ke rumah bude (calon) suamiku yang tinggal di Notoprajan.
Sesampainya di rumah bude aku kaget banget karena ternyata di sana banyak sekali orang. Belakangan baru aku ketahui bahwa rumah bude selalu ramai oleh kehadiran anak, menantu dan cucunya. Dengan hati berdebar aku ikuti (calon) suamiku masuk ke dalam. Setelah mengucapkan salam, (calon) suamiku langsung ke belakang tanpa merasa perlu untuk memperkenalkan aku terlebih dulu pada orang-orang yang berkumpul di rumah itu. Sementara aku ditinggal sendiri di ruang keluarga bersama para sepupu dan keponakan-keponakannya yang banyak banget.
Setelah menyalami semuanya aku sempat bingung juga mau berbuat apa lagi. Akhirnya aku memilih duduk diam di ruang keluarga itu. Alhamdulillah, saudara-saudara sepupu (calon) suamiku dan para keponakan yang ada di ruang itu tak menganggapku sebagai 'orang asing'. Mereka mengajakku ngobrol seperti mereka sudah pernah mengenalku sebelumnya, seolah-olah kami sudah sering ngobrol sebelumnya. Penerimaan itu sungguh melegakan hatiku, sehingga aku akhirnya bisa merasa sedikit rileks saat itu.
Tak lama kemudian bude (kakak dari ibu mertuaku) keluar dari belakang. Begitu melihatku pertama kali, yang diucapkan bude adalah "Ini to pacarnya, Aa?". Aku menyalaminya dan tersenyum mengiyakan. Seperti yang lainnya, bude pun kemudian mengajakku ngobrol seperti sudah mengenalku lama. Sungguh, saat itu aku benar-benar lega. Kecanggunganku langsung menguap mendapatkan penerimaan hangat dari keluarga bude.
Begitu pula yang terjadi saat aku pertama kali berjumpa dengan keluarga (calon) suamiku dulu. Kedua orang tua, kakak dan adik (calon) suamiku juga menerima kehadiranku dengan ramah dan tangan terbuka. Aku merasa sangat nyaman dengan penerimaan itu. Belakangan aku tahu, ternyata (calon) suamiku memang bukan tipe pria yang akan memperkenalkan (calon) pasangannya kepada saudara-saudaranya dan membiarkan aku untuk menyesuaikan diri sendiri. Mungkin dia yakin bahwa aku tak akan kesulitan menyesuaikan diri karena keluarga besarnya memang tak sulit menerima kehadiran orang lain. Atau.. mungkin juga dia yakin bahwa aku punya kemampuan yang bagus dalam menyesuaikan diri dengan orang yang baru kukenal... hehehe *GR*
Setelah mengenal tipikal dari (calon) suamiku, maka aku pun mempersiapkan diri saat diajak ke Jombang karena bulik (adik dari bapak mertuaku) menggelar pesta pernikahan anaknya. Ternyata dugaanku tak meleset. Di tengah hiruk pikuk persiapan pernikahan (yang pastinya dihadiri banyak keluarga besar), aku lagi-lagi 'dilepas' sendiri tanpa didampingi (calon) suamiku.
Alhamdulillah, sama seperti keluarga besar dari ibu mertuaku, ternyata keluarga besar dari ayah mertuaku sangat terbuka menerima kehadiranku. Mereka memperlakukan aku seolah-olah aku benar-benar sudah menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Kami bisa leluasa bicara seperti kami sudah sangat lama berhubungan. Aku benar-benar sangat lega dengan kondisi seperti itu.
Berkali-kali ditempatkan di tengah-tengah keluarga besar (calon) suamiku seorang diri tanpa didampingi siapa-siapa, membuatku harus belajar dengan cepat untuk mengenali mereka. Sangat tidak lucu jika aku tak tahu si A itu namanya siapa, si B itu anaknya siapa, si C itu suaminya siapa dst. Kemampuan mengidentifikasi mereka sangat membantu kelancaranku dalam berkomunikasi, meskipun aku tak didampingi siapapun. Beberapa kali berada dalam situasi seperti itu membuatku menarik kesimpulan bahwa ternyata keluarga besar suamiku sangat terbuka menerima kehadiran orang lain.
Terus terang, salah satu alasanku mantap memilihnya sebagai suamiku adalah penerimaan dari seluruh keluarga besarnya itu terhadapku. Berada di tengah keluarga besarnya (bahkan yang baru kujumpai sekali saja) tak membuatku merasa canggung dan menjadi orang asing. Berada di tengah keluarga besarnya seperti berada di tengah keluarga besarku sendiri.
Aku akui..., keluarga besar suamiku memang sangat terbuka dalam berhubungan dengan orang baru. Itu sebabnya Shasa juga merasa nyaman saat berkumpul (pertama kali) dengan keluarga besar dari ayahnya. Shasa yang pemalu pada awalnya hanya diam saja saat bertemu dengan saudara-saudara dari ayahnya. Namun mereka memperlakukan Shasa dan mengajak bicara Shasa seolah-olah mereka sudah sangat sering berjumpa dengan Shasa. Kehangatan dan penerimaan itu akhirnya mampu mencairkan sifat pemalu Shasa sehingga dengan cepat Shasa pun bisa berbaur dengan keluarga besar ayahnya.
Itulah pengalamanku belasan tahun yang lalu saat pertama kali dipertemukan dengan keluarga (calon) suamiku.... Bagaimanakah pengalamanmu saat pertama kali dipertemukan dengan keluarga pasanganmu ?
Ceritanya bermula dari kedekatannya dengan (calon) suamiku kala itu. Suatu saat, sewaktu aku masih kuliah di Yogyakarta dulu, untuk pertama kalinya dia mengajakku untuk ke rumah budenya yang kebetulan tinggal di Yogyakarta juga. Jika sebelumnya aku menolak ajakannya karena belum siap mental, namun saat itu aku memberanikan diri untuk menerima ajakannya. Maka, meluncurlah kami ke rumah bude (calon) suamiku yang tinggal di Notoprajan.
Sesampainya di rumah bude aku kaget banget karena ternyata di sana banyak sekali orang. Belakangan baru aku ketahui bahwa rumah bude selalu ramai oleh kehadiran anak, menantu dan cucunya. Dengan hati berdebar aku ikuti (calon) suamiku masuk ke dalam. Setelah mengucapkan salam, (calon) suamiku langsung ke belakang tanpa merasa perlu untuk memperkenalkan aku terlebih dulu pada orang-orang yang berkumpul di rumah itu. Sementara aku ditinggal sendiri di ruang keluarga bersama para sepupu dan keponakan-keponakannya yang banyak banget.
Setelah menyalami semuanya aku sempat bingung juga mau berbuat apa lagi. Akhirnya aku memilih duduk diam di ruang keluarga itu. Alhamdulillah, saudara-saudara sepupu (calon) suamiku dan para keponakan yang ada di ruang itu tak menganggapku sebagai 'orang asing'. Mereka mengajakku ngobrol seperti mereka sudah pernah mengenalku sebelumnya, seolah-olah kami sudah sering ngobrol sebelumnya. Penerimaan itu sungguh melegakan hatiku, sehingga aku akhirnya bisa merasa sedikit rileks saat itu.
Tak lama kemudian bude (kakak dari ibu mertuaku) keluar dari belakang. Begitu melihatku pertama kali, yang diucapkan bude adalah "Ini to pacarnya, Aa?". Aku menyalaminya dan tersenyum mengiyakan. Seperti yang lainnya, bude pun kemudian mengajakku ngobrol seperti sudah mengenalku lama. Sungguh, saat itu aku benar-benar lega. Kecanggunganku langsung menguap mendapatkan penerimaan hangat dari keluarga bude.
Begitu pula yang terjadi saat aku pertama kali berjumpa dengan keluarga (calon) suamiku dulu. Kedua orang tua, kakak dan adik (calon) suamiku juga menerima kehadiranku dengan ramah dan tangan terbuka. Aku merasa sangat nyaman dengan penerimaan itu. Belakangan aku tahu, ternyata (calon) suamiku memang bukan tipe pria yang akan memperkenalkan (calon) pasangannya kepada saudara-saudaranya dan membiarkan aku untuk menyesuaikan diri sendiri. Mungkin dia yakin bahwa aku tak akan kesulitan menyesuaikan diri karena keluarga besarnya memang tak sulit menerima kehadiran orang lain. Atau.. mungkin juga dia yakin bahwa aku punya kemampuan yang bagus dalam menyesuaikan diri dengan orang yang baru kukenal... hehehe *GR*
Setelah mengenal tipikal dari (calon) suamiku, maka aku pun mempersiapkan diri saat diajak ke Jombang karena bulik (adik dari bapak mertuaku) menggelar pesta pernikahan anaknya. Ternyata dugaanku tak meleset. Di tengah hiruk pikuk persiapan pernikahan (yang pastinya dihadiri banyak keluarga besar), aku lagi-lagi 'dilepas' sendiri tanpa didampingi (calon) suamiku.
Alhamdulillah, sama seperti keluarga besar dari ibu mertuaku, ternyata keluarga besar dari ayah mertuaku sangat terbuka menerima kehadiranku. Mereka memperlakukan aku seolah-olah aku benar-benar sudah menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Kami bisa leluasa bicara seperti kami sudah sangat lama berhubungan. Aku benar-benar sangat lega dengan kondisi seperti itu.
Berkali-kali ditempatkan di tengah-tengah keluarga besar (calon) suamiku seorang diri tanpa didampingi siapa-siapa, membuatku harus belajar dengan cepat untuk mengenali mereka. Sangat tidak lucu jika aku tak tahu si A itu namanya siapa, si B itu anaknya siapa, si C itu suaminya siapa dst. Kemampuan mengidentifikasi mereka sangat membantu kelancaranku dalam berkomunikasi, meskipun aku tak didampingi siapapun. Beberapa kali berada dalam situasi seperti itu membuatku menarik kesimpulan bahwa ternyata keluarga besar suamiku sangat terbuka menerima kehadiran orang lain.
Terus terang, salah satu alasanku mantap memilihnya sebagai suamiku adalah penerimaan dari seluruh keluarga besarnya itu terhadapku. Berada di tengah keluarga besarnya (bahkan yang baru kujumpai sekali saja) tak membuatku merasa canggung dan menjadi orang asing. Berada di tengah keluarga besarnya seperti berada di tengah keluarga besarku sendiri.
Aku akui..., keluarga besar suamiku memang sangat terbuka dalam berhubungan dengan orang baru. Itu sebabnya Shasa juga merasa nyaman saat berkumpul (pertama kali) dengan keluarga besar dari ayahnya. Shasa yang pemalu pada awalnya hanya diam saja saat bertemu dengan saudara-saudara dari ayahnya. Namun mereka memperlakukan Shasa dan mengajak bicara Shasa seolah-olah mereka sudah sangat sering berjumpa dengan Shasa. Kehangatan dan penerimaan itu akhirnya mampu mencairkan sifat pemalu Shasa sehingga dengan cepat Shasa pun bisa berbaur dengan keluarga besar ayahnya.
Itulah pengalamanku belasan tahun yang lalu saat pertama kali dipertemukan dengan keluarga (calon) suamiku.... Bagaimanakah pengalamanmu saat pertama kali dipertemukan dengan keluarga pasanganmu ?
Suit, suit, kenangan masa dulu ya mbak. Ya, dimana-mana penerimaan akan membuat bahagia.
BalasHapusCinta itu memang tentang penerimaan ya mbak.. Mau dan mampu menerima orang yang kita cintai secara apa adanya, itu sangat indah..
BalasHapusPengalaman saya juga nggak jauh beda dengan cerita di atas. Sungguh menyenangkan merasa diterima...
" luar biasa karena berharganya sebuah pemberian "
BalasHapusitulah yg membuat bahagia, hmmm
nice, salam sobat blogger
pasangan aja belom punya. *dalem...* ghehee...
BalasHapusselamat menikmati penerimaan nya ya bu. :)
Wah pengalaman yg gak akan terlupa tuh hhe... ternyata cerita cintanya Mbak reni panjang juga ya sampai akhirnya menikah.. yg pasti tetep diperlukan penerimaan ya Mbak.... aku doakan ndak ribut2 dan langgeng sampai kapanpun hhe...
BalasHapusSemangat n met aktivitas Mbakk...
wah, pengalaman yg mengesankan
BalasHapuspengalaman dengan kluarga pasanganku(kekasihku) ..hampir sama ..indah dan penuh penerimaan silaturahmi terjalin 5 tahun dan meski pada akhirnya hub aku dan kekasihku kandas karena orang ketiga ...
BalasHapusMemang enak ya kalo berjumpa dgn orang/orang2 yang ramah dan terbuka pada orang asing. Kita jd ga merasa kikuk. Karena aku jg tipe org yg gak gampang membaur dgn orang asing yg diem-dieman.
BalasHapusAku juga dulu milih suamiku karena ngeliat dan bertemu calon Ibu mertuaku (sekarang mertuaku), beliau baiiiik banget, sopan, dan ramah,ngga ada wajah serem Ibu Subangun, hati ini makin mantap milih si dia...he...he...Jadi pelajaran kita kelak ya Mbak kalo mau ketemu calon mantu..he...he..
BalasHapuswah mba reni hebat koq bisa sih
BalasHapusaku masih gak bisa, masih kaku kalo dirumah keluarga abi -____-"
kayak kemarin pas syukuran abi, ak ditinggal sendiri diruang kluarga yg ada ak malah marahin si abi hehehehe :p
Wah kalo nasib cerita cinta ku, cewek yang aku taksir sepertinya dia tidak mau menerima keadaan ku yang seperti ini mbajk
BalasHapusBahagianya jika pertamakali datang ke rumah keluarga calon suami diterima dengan ramah seperti itu ya mbak. Tapi memang biasanya, keluarga dengan jumlah keluarga besar seperti itu yang senang berkumpul dg keluarga katanya merupakan ciri2 keluarga yg baik, calon kita nanti jg bakal baik dengan kita dan keluarga kita karena sdh terbiasa ghuyub rukun dengan keluarganya.
BalasHapusSemoga kebersamaan dan kebahagiaan itu akan senantiasa meliputi mbak Reni dan keluarga ya :)
Assalamualaikum Mbak Reni,,,
BalasHapushehe, muncul setelah lama nggak aktif.. hehe
Wah, Pengalaman yang mengesankan ...
Alhamdulillah ya Mbak, saat2 itu diberi kemudahan smpe skarang smoga selalu diberi kmudahan dan kebahagiaan .. Amin...
pertama kali ketemu dengan keluarga pacar rasanya sama menegangkannya dengan wawancara kerja he he...
BalasHapusmasih selalu menyukai postmu,kawan
BalasHapussalam hangat dari blue
Wuawuawuaaa....
BalasHapusbagian ini nih yang selalu bikin jiper. Walau aku tipe orang yang terbuka dan ngga pemalu, kalau udah ngadepin situasi kaya gini langsung mati gaya mba.
Pernah dikenalin sama ortu mantan pacar. Ternyata mereka berdua tipe yang pendiem gitu, semua obrolan aku ditanggepin pake kalimat2 pendek. Garing abis. krik krik krik.....
traumatis.
jadi terharu dech baca ceritanya :'( huks...huks... huks...
BalasHapuswooooow.... penerimaan yang ramah sekali
BalasHapusPernikahan itu memang bukan hanya antara kita dg suami atau istri kita, melainkan antara dua keluarga besar dari pihak suami maupun istri.
BalasHapusNice sharing mbak, salam sobat :)
Nice story Mbak....
BalasHapusSemoga, semoga dan semoga aku mengalaminya juga, amin..
'
he he he
hihii enak ya mba :D
BalasHapuspenerimaan itu juga dikarenakan mba juga terbuka pada orang lain^^
ada hubungannya lho
Sungguh bahagianya mba :)
BalasHapussenangnya mendapatkan penerimana yang sebegitu hangatnyaaa
BalasHapus