Di perumahan yang kutinggali, banyak sekali penjual makanan yang lewat. Mulai pagi sampai malam hari. Mulai dari bahan makanan sampai makanan jadi. Pokok'e bisa dibilang lengkap deh. Selama ini Shasa tidak pernah berkomentar apapun tentang penjual-penjual keliling itu. Tapi lain ceritanya dengan malam kemarin.
Kemarin, saat aku menemani Shasa yang akan tidur malam, terdengar suara khas penjual mie lewat depan rumah. Penjual mie keliling itu biasanya juga menjual nasi goreng. Mereka berjualan dengan mendorong gerobag. "Tanda" dari penjual mie adalah suara "thog thog" yang berasal dari batang bambu yang dipukul dengan kayu. Makanya, kami biasanya menyebutnya sebagai "Mie Thog".
Shasa yang sudah terbaring di atas kasurnya, tiba-tiba nyeletuk waktu mendengar suara "thog thog" dari penjual mie keliling.
"Ma, aku sudah mau tidur, orang itu masih jualan" kata Shasa pelan.
"Yah begitulah susahnya nyari uang, dik," jawabku.
"Padahal kan sekarang gerimis, ma"
"Kalau tidak gerimis, mungkin jualan bapak itu sudah hampir habis. Karena gerimis, jadinya bapak itu pulangnya lebih malam karena jualannya masih banyak. Lagipula penjual mie thog kan memang jualannya malam, dik" kataku mencoba menjelaskan.
"Apa dia harus menghabiskan jualannya?" tanya Shasa ingin tahu.
"Ya tidak lah. Mungkin kalau sampai jam 12 malam jualannya masih ada, bapak itu pasti pulang karena besok masih harus jualan lagi."
"Penjual itu berangkat jualan jam berapa kalau jam segini belum pulang ?" lanjut Shasa.
"Biasanya mereka berangkat jam 5 sore. Waktu kita lewat alun-alun jam segitu, kita sering melihat rombongan penjual mie thog berangkat. Ingat kan ?" jawabku.
"Rumahnya jauh ya, ma?"
"Yang mama tahu sih memang jauh-jauh. Rumah kita aja dari alun-alun sudah jauh. Berarti rumah mereka lebih jauh lagi,"
"Kasihan ya ma kalau dagangan mereka tidak laku," kata Shasa pelan.
"Ya doakan saja agar dagangan mereka laku, ya? Itu makanya Shasa harus pandai-pandai mensyukuri apa yang sudah Shasa peroleh selama ini," nasehatku padanya.
Shasa tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian Shasaku tertidur. Pulas banget.
Entah apa yang ada dalam mimpinya, tapi malam itu aku merasa "bangga" karena Shasa-ku sudah bisa berempati kepada orang lain. Berarti, walau baru sedikit, cerita-ceritaku padanya tentang kehidupan orang-orang yang kurang beruntung terekam juga dalam pikirannya.
Semoga selanjutnya Shasa memiliki rasa kepedulian dan solidaritas sosial yang tinggi pada sesama. Amien.
Kemarin, saat aku menemani Shasa yang akan tidur malam, terdengar suara khas penjual mie lewat depan rumah. Penjual mie keliling itu biasanya juga menjual nasi goreng. Mereka berjualan dengan mendorong gerobag. "Tanda" dari penjual mie adalah suara "thog thog" yang berasal dari batang bambu yang dipukul dengan kayu. Makanya, kami biasanya menyebutnya sebagai "Mie Thog".
Shasa yang sudah terbaring di atas kasurnya, tiba-tiba nyeletuk waktu mendengar suara "thog thog" dari penjual mie keliling.
"Ma, aku sudah mau tidur, orang itu masih jualan" kata Shasa pelan.
"Yah begitulah susahnya nyari uang, dik," jawabku.
"Padahal kan sekarang gerimis, ma"
"Kalau tidak gerimis, mungkin jualan bapak itu sudah hampir habis. Karena gerimis, jadinya bapak itu pulangnya lebih malam karena jualannya masih banyak. Lagipula penjual mie thog kan memang jualannya malam, dik" kataku mencoba menjelaskan.
"Apa dia harus menghabiskan jualannya?" tanya Shasa ingin tahu.
"Ya tidak lah. Mungkin kalau sampai jam 12 malam jualannya masih ada, bapak itu pasti pulang karena besok masih harus jualan lagi."
"Penjual itu berangkat jualan jam berapa kalau jam segini belum pulang ?" lanjut Shasa.
"Biasanya mereka berangkat jam 5 sore. Waktu kita lewat alun-alun jam segitu, kita sering melihat rombongan penjual mie thog berangkat. Ingat kan ?" jawabku.
"Rumahnya jauh ya, ma?"
"Yang mama tahu sih memang jauh-jauh. Rumah kita aja dari alun-alun sudah jauh. Berarti rumah mereka lebih jauh lagi,"
"Kasihan ya ma kalau dagangan mereka tidak laku," kata Shasa pelan.
"Ya doakan saja agar dagangan mereka laku, ya? Itu makanya Shasa harus pandai-pandai mensyukuri apa yang sudah Shasa peroleh selama ini," nasehatku padanya.
Shasa tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian Shasaku tertidur. Pulas banget.
Entah apa yang ada dalam mimpinya, tapi malam itu aku merasa "bangga" karena Shasa-ku sudah bisa berempati kepada orang lain. Berarti, walau baru sedikit, cerita-ceritaku padanya tentang kehidupan orang-orang yang kurang beruntung terekam juga dalam pikirannya.
Semoga selanjutnya Shasa memiliki rasa kepedulian dan solidaritas sosial yang tinggi pada sesama. Amien.
ass....
BalasHapuskomen pertama nih
bagi mie nya ya bu....
Makasih dah mampir... Jangan bosen ya ?
BalasHapusMau to mie-nya ? Silahkan ambil, dirumahku masih banyak kok. :)
mie ato bakmi seh....hmmmm
BalasHapusaku suka tuh mie nya aku mampir boleh mba...salammmm
BalasHapusMr.Pall, Mie da bakmi beda to ? Aku ga pernah mikirin hal itu soale hehehe. Silahkan mampir kalo suka mie eh... bakmi dhing. Salam kenal...
BalasHapusaduh .. ngobrolin Mie ..
BalasHapusLaper ikh ..
Misi mbak .. mo beli mie dulu ..
kecil2 sasha uda peduli ya mbak dengan sesama, salut banget.
BalasHapussasha kenapa ga minta dibelikan mie sama mama, biar cpt hbs tu jualan si bapak.
@kuyus_is_cute : udah habis mie nya, mbak ?
BalasHapus@kejujurancinta : kan Shasa udah gosok gigi dan mau bobo', jadi ga mungkin makan lagi, mbak.