Kemarin adalah hari yang ditunggu-tunggu dengan harap-harap cemas oleh banyak orang, karena kelulusan SMA yang sederajat diumumkan. Hasil di beberapa daerah dinyatakan bahwa ternyata tingkat kelulusan peserta Ujian Nasional (UN) tahun 2010 mengalami penurunan. Bahkan di beberapa sekolah ada yang tingkat kelulusannya 0%.
Kondisi tersebut tentu saja mau tak mau membuat banyak pihak merasa prihatin. Melihat anak-anak yang tidak lulus menangis histeris, stres bahkan ada yang mencoba bunuh diri membuat trenyuh siapa saja. Membayangkan generasi muda yang seolah kehilangan kepercayaan diri dan putus asa karena terganjal oleh Ujian Nasional membuat kita mengelus dada
Kondisi di atas menjadi penyebab munculnya banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Apa yang salah dalam pendidikan kita ? Apa yang harus dibenahi ? Walau sejak beberapa tahun terakhir masalah Ujian Nasional menjadi polemik dan menjadi pembicaraan yang hangat di antara para praktisi pendidikan, namun Ujian Nasional tetap menjadi momok bagi pelaku pendidikan. Segalanya seolah dipertaruhkan lewat Ujian Nasional ini.
Bagi sekolah yang beruntung memiliki murid-murid yang 'bermutu' (dalam arti pandai dan memiliki motivasi tinggi untuk menuntut ilmu) maka guru-gurunya pun akan mengajar dengan senang hati. Apalagi ditambah dengan sarana dan prasarana yang memadai, maka proses belajar mengajar jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan. Semua itu membuat jalan menuju kelulusan terasa jauh lebih terbuka.
Namun bagaimana dengan berbagai hal yang menyangkut faktor ekstern dari peserta didik ? Seperti : sekolah-sekolah yang ada di 'pinggiran' yang mendapatkan murid-murid 'sisa' dari sekolah-sekolah favorit, atau sekolah yang sarana dan prasarananya serta guru-guru yang sangat terbatas. Bagaimana mereka harus 'berlari' dengan keterbatasan yang demikian menghimpit?
Dengan dasar itulah maka aku menganggap bahwa patokan kelulusan belum dapat dikatakan adil, khususnya bagi sekolah-sekolah yang serba terbatas. Jika untuk kelulusan hanya menganut satu standar ukuran untuk beragam kondisi seperti itu.., menurutku memang kurang adil. Seharusnya, jika memang ingin menetapkan satu standar ukuran maka seharusnya semua kondisi dalam keadaan yang sama, dalam hal ini tentu saja kondisi yang menyangkut faktor eksternal dari anak didik. Kita tentu saja tak dapat menuntut semua anak didik memiliki kemampuan yang merata, tapi kita dapat membuat sarana dan prasarana pendidikan yang sama, termasuk penyediaan guru-guru yang memadai. Hanya sayangnya untuk saat ini hal tersebut belum dapat direalisasikan.
Jika sekarang banyak yang tidak lulus, kita rasanya harus bisa menerima dan tidak menyalahkan anak didik semata. Terlalu banyak faktor yang menjadi penyebab seseorang tidak lulus dalam Ujian Nasional, baik itu faktor intern dan faktor ekstern. Dan tahun ini 'untung'nya ada kesempatan untuk ujian ulang bagi yang tidak lulus Ujian Nasional. Semoga saja bagi anak-anak yang belum lulus Ujian Nasional dapat memanfaatkan Ujian Nasional Ulang dengan sebaik-baiknya dan mereka masih dapat meraih kembali kesempatan yang sempat terlepas dari genggaman.
Kondisi tersebut tentu saja mau tak mau membuat banyak pihak merasa prihatin. Melihat anak-anak yang tidak lulus menangis histeris, stres bahkan ada yang mencoba bunuh diri membuat trenyuh siapa saja. Membayangkan generasi muda yang seolah kehilangan kepercayaan diri dan putus asa karena terganjal oleh Ujian Nasional membuat kita mengelus dada
Kondisi di atas menjadi penyebab munculnya banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Apa yang salah dalam pendidikan kita ? Apa yang harus dibenahi ? Walau sejak beberapa tahun terakhir masalah Ujian Nasional menjadi polemik dan menjadi pembicaraan yang hangat di antara para praktisi pendidikan, namun Ujian Nasional tetap menjadi momok bagi pelaku pendidikan. Segalanya seolah dipertaruhkan lewat Ujian Nasional ini.
Bagi sekolah yang beruntung memiliki murid-murid yang 'bermutu' (dalam arti pandai dan memiliki motivasi tinggi untuk menuntut ilmu) maka guru-gurunya pun akan mengajar dengan senang hati. Apalagi ditambah dengan sarana dan prasarana yang memadai, maka proses belajar mengajar jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan. Semua itu membuat jalan menuju kelulusan terasa jauh lebih terbuka.
Namun bagaimana dengan berbagai hal yang menyangkut faktor ekstern dari peserta didik ? Seperti : sekolah-sekolah yang ada di 'pinggiran' yang mendapatkan murid-murid 'sisa' dari sekolah-sekolah favorit, atau sekolah yang sarana dan prasarananya serta guru-guru yang sangat terbatas. Bagaimana mereka harus 'berlari' dengan keterbatasan yang demikian menghimpit?
Dengan dasar itulah maka aku menganggap bahwa patokan kelulusan belum dapat dikatakan adil, khususnya bagi sekolah-sekolah yang serba terbatas. Jika untuk kelulusan hanya menganut satu standar ukuran untuk beragam kondisi seperti itu.., menurutku memang kurang adil. Seharusnya, jika memang ingin menetapkan satu standar ukuran maka seharusnya semua kondisi dalam keadaan yang sama, dalam hal ini tentu saja kondisi yang menyangkut faktor eksternal dari anak didik. Kita tentu saja tak dapat menuntut semua anak didik memiliki kemampuan yang merata, tapi kita dapat membuat sarana dan prasarana pendidikan yang sama, termasuk penyediaan guru-guru yang memadai. Hanya sayangnya untuk saat ini hal tersebut belum dapat direalisasikan.
Jika sekarang banyak yang tidak lulus, kita rasanya harus bisa menerima dan tidak menyalahkan anak didik semata. Terlalu banyak faktor yang menjadi penyebab seseorang tidak lulus dalam Ujian Nasional, baik itu faktor intern dan faktor ekstern. Dan tahun ini 'untung'nya ada kesempatan untuk ujian ulang bagi yang tidak lulus Ujian Nasional. Semoga saja bagi anak-anak yang belum lulus Ujian Nasional dapat memanfaatkan Ujian Nasional Ulang dengan sebaik-baiknya dan mereka masih dapat meraih kembali kesempatan yang sempat terlepas dari genggaman.
Salam..
BalasHapusiya Mb contohnya adikku yang terakhir..gak lulus, padahal udah giat belajar dan prestasinya di sekolah juga bagus.
Saya juga gak bisa nyalahin dia takutnya tambahn stress..semoga aja ujian tgl 10 nanti bisa di lewatinya..
Memang miris, melihat adik2ku yang ngak lulus, ketidak lulusan mereka bisa jadi karena banyak faktor, Keterbatasan fasilitas belajar menjadi soal yang perlu di pecahkan bersama, harapan itu masih ada..
BalasHapusbanyak pro dan kontra dengan sistem ini ya?
BalasHapussemoga bisa dikaji ulang.
bagi yg belum lulus, ujian ulang sangat bermanfaat, gunakanlah sebaik-baiknya.
BalasHapusadil nggak adil....
BalasHapusselau jadi persoalan di negeri kita yang punya multistandar
huffff
Pemikiran yang menarik bu, saat ini memang banyak anak anak SMA di lingkungan saya yang harus menerima nasib belum lulus ujian, dan akan mengikuti ujian ulangan.
BalasHapusMeski tidak banyak mengerti tentang pendidikan, saya sendiri termasuk setuju dengan diadakan UN. ....
Salam ...
Yah, semoga pemikiran ini juga terbaca oleh yang berwenang mb. Pendidikan memang penting bagi generasi penerus bangsa.
BalasHapusmemang UN tidak bisa di jadikan tolok ukur kelulusan.
BalasHapuskarena belajar selama 3 thn cuma di tentukan ujian yang hanya sekali saja. Memang sebaiknya yng menentukan lulus tidaknya seorang anak itu pihak sekolah. Karena sekolahlah yg lebih tau bagaimana prestasi mereka selama bersekolah. Layak atau tidak untuk bisa lulus.
penilaian akhir dari sekolah keknya cuma gembar-gembor aja.
BalasHapuskalo cuma nilai UN.... jelas ga adil
iya nih.. memprihatinkan banget.. mudah2an segera ada perbaikan standart kelulusan. Atau Unas ditiadakan aja yah, agar kelayakan lulus dinilai langsung dari sekolah..
BalasHapusOh ya mbak, mampir yuk.. ada tag buat mbak..
BalasHapussetuju mbak, ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan mengenai kelulusan.
BalasHapusBener kata bang Atta dan Yusnita, kalau kelulusan cuma berdasar UN kayaknya gak adil. Kenapa prestasi yang diraih sekian kali selama 3 tahun tidak diperhitungkan? kenapa hanya memperhitungkan 90 menit saat ujian??
BalasHapussistem kelulusan skrg kayanya jauh dr obyektif, byk siswa yg pinter tp ngga lulus ujian,dan sebaliknya...memang hrs dikaji ulang,,,
BalasHapusuntung wkt jamanku dulu gak kyk gitu ya sistemnya.
BalasHapusbagi yang lulus bersyukurlah, lanjutkan perjuangan. bagi yang belum lulus, sabarlah, selalu ada jalan lain yang lebih baik
BalasHapusmemang sih mbak, rasanya tak begitu adil. konon soalnya sama, tapi kualitas pendidikan yg diterima tak sama. kasihan sekali...
BalasHapusBenar mbak... Lebih baik sistem dulu nilai di tentukan pusat...kelulusan di tentukan sekolah..jd lebih efektif..
BalasHapuskalo ngeliat beritanya di tipi, kasian ngeliat yang ga lulus.. ada yg pingsan, histeris sampe orang tua yg ga terima..
BalasHapusDuh adekku lulus ga ya, SMP pengumumannya masih Mei nih, jadi deg2an...
ronda.......... mlm jg mbak...
BalasHapuslulus..lulus..emang kasian anak - anak yg tergolong sisa dar sekolah favorit...terpaksa masuk sekolah ala kadarnya..
BalasHapuseniwei, doain aku lulus mba..
skrang lagi dikaji lagi masalah UN kan kemaren wacananya ditiadakan tapi kalah banding di MA
BalasHapussedih juga liat banyak yang gag lulus..apa soal2 skrang terlalu rumit kaah??
jadi kalau gitu UN merupakan salah satu pencetak manusia stres ya mba
BalasHapusyang miris kalau yang juara lomba olympiade samapi tak lulus cuma karena salah ngisi biodata , kemudian betul kata mbak , mana bisa disamakan sekolah saya yang 35 km dari kota nggak ada perpustakaan, lab nggak ada, majalah dan koranpun tidak pernah mereka nikmati meski sehebat apapun gurunya pasti kewalahan ngajarnya apalagi guru-guru juga jarang dapat pelatihan nggak seperti dikota yang punya fasilitas lengkap
BalasHapuscuma ada yang mengganjal di hati saya bu. jaman saya sekolah pun ada kok yang gak lulus pas ebtanas. tapi menyikapinya tidak sedramatis sekarang, pake nangis histeris bahkan pingsan. gejala apa ini? moga2 bukan karena budaya pop yang tidak menghargai proses dan selalu result oriented.
BalasHapusDi SMA saya dulu yang gak lulus ada 9 orang mbak.
BalasHapusTingkat kelulusannya sih meninggkat dibandingkan dengan tahun2 sebelumnya (untuk SMA itu).
Tapi kalo ditanya soal adil tidaknya, kayaknya belum deh.
Tuh..kasian banget, adek tingkat saya yang sebelumnya peringkat 3 N 5 di kelasnya malah gak lulus, huhuhu...
Setuju.
BalasHapusProses kelulusan di tingkat sekolah yang ada di Indonesia belum sepenuhnya adil.
Masih banyak sekolah yang kualitas pendidikannya jauh dari kata baik.
Ikut gembira yang lulus.But ikut sedih yang belum berhasil.semoga tidak patah semangat.Duh merinding...Ingat masa-masa dulu.
BalasHapusOwh ya,linknya dah saya pasang di blogroll sis,makasih ya.
BalasHapusyah serba salah memang mbak, satu sisi ingin menerapkan standarisasi pendidikan, yang berakibat menyamaratakan kemampuan setiap siswa dan sekolah sehingga efeknya itu tadi...semoga pemerintah bisa mengkaji ulang kebijakan tersebut :)
BalasHapuswah kalau masalah ini sama sekali saya tidak tau menau. :(
BalasHapussalam kenal
rasanya kok sia2 yah 3 tahun cuma di tentuin 1 hari doank...... ujian jadi momok yang menakutkan buatku dulu pas masi sekolah,lebih baik klo di cari solusi laen selain ujian
BalasHapusKita patut mengambil referensi dari ini sob .. Semoga tahun depan akan lebh baik lagi .. :)
BalasHapusKunjungan pertama. Blognya bgus bggt lho .. Saya follow yah. Salam kenal.
Met pagi mbak, moga dgn sistem her ulang ini bisa membantu yg tidak lulus
BalasHapusDulu waktu aku SMU angakatanku yg pertama kali mencoba sistem seperti ini
BalasHapuskarena pertama kali dulu sempat kaget dan sempet stress jg takut gak lulus
hu u uh... belajar tiga tahun hanyak akan ditentukan dalam waktu 'satu hari' yg kadang materinya sama sekali belum prnh diajarkan.
BalasHapusironis memang...
Makin lama manajemen ujian akhir ini tetep mjd prokontra, mjd sesuatu yg menakutkan akhirnya stl meliat hasilnya, yg sng makin urakan, yg sedih makin patah hati, hmmm ????
BalasHapussalam persahabatan mbak...
BalasHapushave a nice day..
dah lama sekali gak mampir ke sini,,,
Jadi ingat tulisan2 saya di awal ngeblog mbak..
BalasHapusKarena itulah saya selalu menyuarakan,jangan jadikan UAN sebagai satu2nya indikator kelulusan. UAN tetap ada,tapi itu hanya dijadikan barometer penentu Grade suatu sekolah. Toh, nanti ketika ke PT juga akan dites lagi lewat SNMPTN.. *Hehehe,jadi curhat deh mbak*
ngeblog itu menyenangkan...
BalasHapusayo tetep ngeblog..he
visit back...
happy blogging
Menyedihkan banget yah mbak? prihatin.. :(
BalasHapusmenurut sy, UN ini jgn dijadikan harga mati. jadikan aja semacam 'tiket' utk masuk perguruan tinggi (PT). PT2 tsb diberi ranking, misal utk masuk ke UI maka dibutuhkan nilai UN 500 (misal). nah, murid yg berniat kuliah di UI, dia hrs belajar extra keras utk dpt nilai 500. tp bila dia hanya dapat nilai misal 300, maka dia bisa memilih PT yg mensyaratkan nilai 300. tapi dia tetap dinyatakan lulus.
BalasHapusbukan spt sekarang ini. hanya karna tdk lulus di satu mata pelajaran (spt kasus Ningsih di Jambi, yg sampe bunuh diri), maka dinyatakan tdk lulus. ini yg membuat murid tambah stress.
semoga UN bisa diperbaiki menuju yg lebih baik.
@all > terima kasih sekali atas segala komentar yg membangun dan bersifat korektif atas pelaksanaan UN. Semoga di masa yad sistem UN dapat lebih baik lagi. Amin
BalasHapus