Rabu, 28 April 2010

Luapan emosi peserta ujian nasional

Dalam postinganku kemarin yang berjudul : "Kelulusan sudah adilkah?", aku mendapatkan komentar menarik dari Sibaho Way. Dalam kotak komentar ditinggalkan komentar seperti ini :


cuma ada yang mengganjal di hati saya bu. jaman saya sekolah pun ada kok yang gak lulus pas ebtanas. tapi menyikapinya tidak sedramatis sekarang, pake nangis histeris bahkan pingsan. gejala apa ini? moga2 bukan karena budaya pop yang tidak menghargai proses dan selalu result oriented.

Ya..., mengapa Ujian nasional meninggalkan dampak sedemikian dramatis bagi peserta ujian nasional ? Aku ingat memang pada waktu aku sekolah dulu juga ada siswa yang tidak lulus, namun mungkin jumlahnya tak sebanyak sekarang. Dan yang tak lulus tentu saja sedih (siapa yang tidak coba ?), namun tak sampai histeris bahkan sampai nekad mau bunuh diri segala.

Di lain pihak, histeria peserta ujian nasional yang berhasil lulus dalam meluapkan kegembiraan juga membuatku membelalakkan mata karena tak percaya. Kalau 'sekedar' konvoi dan aksi corat-coret sudah biasa kita dengar, bahkan sejak jaman aku sekolah dulu hal itu sudah ada, namun aku tak tertarik untuk melakukannya. Yang luar biasa adalah berita tentang siswi-siswi SMA di Madura ada yang melepas jilbabnya dan menggunakan jilbab itu sebagai 'bendera' saat konvoi. Mereka (siswi-siswi itu) berkonvoi dengan membonceng teman laki-laki mereka. Itu semua belum cukup.. karena ada juga aksi siswi-siswi yang memotong pendek roknya. Di daerah lain, siswa-siswi yang lulus ujian melakukan pesta miras bersama dan mabuk-mabukan. Bahkan kabarnya setelah mabuk siswa-siswi itu melakukan hal-hal yang tak pantas dilakukan. Astagfirullah....



konvoi pelajar SMA di Madiun yg dimuat dalam Radar Madiun 28 April 2010
Semua peristiwa itu membuatku mengelus dada. Apalagi setelah aku membaca alasan-alasan yang disampaikan siswa-siswi SMA itu mengapa mereka begitu suka cita karena lulus ujian nasional. Jawabannya adalah : "karena kalau kuliah tak perlu lagi pakai seragam", "karena kalau kuliah bisa merokok dengan bebas", "karena kalau kuliah tidak seketat waktu SMA" dll.... Mengapa mereka tak menjawab "karena jalan menuju masa depan sudah makin terbuka," atau "karena kerja kerasku selama 3 tahun menuntut ilmu di sekolah tidak sia-sia", atau "karena jerih payahku telah membuahkan hasil yang sepadan" dll...

Jadi, benarkah apa yang dikhawatirkan oleh Sibaho Way bahwa mereka tidak menikmati proses melainkan hanya berorientasi pada hasil semata ? Memang..., tak semua remaja kita seperti itu dan masih banyak yang memiliki motivasi dan semangat untuk maju dan berkembang. Masih banyak juga remaja kita yang memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan masa depannya.

Namun, jika kita hanya mengelus-elus remaja yang 'tidak bermasalah' seperti itu... maka kita akan lupa untuk menangani remaja-remaja lainnya yang 'bermasalah'. Memang tidak ada yang suka jika harus mengurusi remaja-remaja 'bermasalah' seperti itu, tapi jika mereka dibiarkan bukankah kita akan sulit untuk mengajak mereka kembali pada jalan menuju masa depan yang lebih baik ? Jika semua pihak lepas tangan dan menganggap wajar 'penyimpangan-penyimpangan' kecil itu... berarti kita harus siap-siap jika suatu saat penyimpangan itu kian tak terkendali.

Betapa banyaknya pekerjaan rumah kita untuk membimbing generasi muda kita. Meskipun berat dan melelahkan, hanya itulah yang dapat kita lakukan karena di pundak merekalah masa depan negara ini kita titipkan. So, kalau tidak dimulai dari sekarang... kapan lagi ?

*Sebuah catatan dari renungan pagi hari ini*

30 komentar:

  1. maaf mbak, saya amankan dulu ya,hehe...

    BalasHapus
  2. Aaaaaakkhh !! gagal pertamaXX !!! MALUNYAA !! Wkwkwkwk. .saya juga mau bunuh diri ahh. .Hiks. .

    BalasHapus
  3. sangat miris meang kalo lihat generasi penerus ini...

    *bingung saya mau komen apa*

    BalasHapus
  4. duh, tambah miris membacanya. Saya dah lama, gak baca koran :(( koran Indonesia...

    BalasHapus
  5. Itu PR besar buat kita semua mbak. Karena remaja bukan hanya tanggung jawab sekolah dan orang tua, tapi juga lingkungan..
    Ke depan akan semakin berat PR itu.
    Tapi yg berat bukan berarti tidak bisa bukan mbak?

    BalasHapus
  6. betul betul mbak... seharusnya biasa aja menyikapi hasil UAN... lagian juga kalo dipikir2... dapet ijazah SMA.. kalo g kuliah mw kemana coba??? atau kalo g diterima di UN .. trs nyari US?? nah setelah lulus mau apa coba???

    kalo g punya keahlian...

    BalasHapus
  7. menyedihkan generasi muda sekarang. inginkan yang sempurna. tapi apa yang dilakukan tidak pernah sempurna.

    BalasHapus
  8. Emang benar Mbak pekerjaan rumah Buat kita semuanya... dan mungkin terutama untuk guru seperti saya.

    BalasHapus
  9. tak adil memang,,mengapa nilai Un di samaratakan ya? padahal tiap sekolah saja berbeda sisitemnya..

    *berdoa untuk indonesia yang lebih baik..*

    BalasHapus
  10. hehehehehe..........memang terkadang jawaban yang diberikan oleh mereka saat ditanya kenapa senang lulus rada-rada ngawur........tapi jujur saya pun saat ditanya dulu ngejawab dg cara yg tidak jauh beda......asli ngawur abis heheheheh......

    yah menururt saya juga bahwa proses menuju hasil itu jauh lebih penting kok........

    BalasHapus
  11. Betul Mba, gw pun herman. jaman dulu gw lulus2an, konvoi, tapi yah ga pake acar ngebut2an dan hal2 anarkis dan hedonis lainnya. Lah sekarang ko malah makin aneh2 ajah kelakuannya. Duh Gusti.....

    maka dari itu, sebagai orang tua, walopun anak masih baby (hehehe), Inya Allah kami akan membimbing Zahia dengan sebaik2nya. karena bagaimanapun pendidikan awal yang didapat seorang anak adalah di dalam keluarga

    BalasHapus
  12. semoga adhekku kelak ngga seperti itu, kalo aku mah jelas ngga-nya :), salah mengartikan keadaan, dan hanya melihat hasil tanpa melihat proses, inilah kesalahan :)

    BalasHapus
  13. jaman nita sekolah dulu juga banyak yang ga lulus, tapi nggak sampe ada yang nekad bunuh diri

    BalasHapus
  14. wah, iya tuh di salah satu smk di kota saya pun gituh, wanita2nya yang mbak sebutkan sama persis dengan kejadian yang ada di kotaku, ehmmm, miris memang, mungkin ada baiknya di kembangkan sedari dini budaya pendidikan adalah untuk mencari ilmu bukan sebuah gelar yang nanti berujung kenikmatan duniawi kali yak.. :-)

    BalasHapus
  15. atau mungkin uan sebagai satu2nya syarat kelulusan perlu dipertanyakan(lagi)?

    BalasHapus
  16. Tahukah mbak kebanyakan yang tidak lulus itu dari sekolah-sekolah yang berada di kota, sedangkan di daerah dan pelosok bisa dibilang 100% lulus? Kalopun ada yang tdk lulus itu karena mereka berhenti sblm ujian sementara datanya sdh masuk 3 bln ujian.
    Ini yg tidak dipertanyakan kebanyakan orang (pejabat).
    Di desa dan pelosok kurang dr jangkauan pengawas dan wartawan sehingga kecurangan2 mudah dilakukan, yg akhirnya bisa lulus 100% sekalipun siswa tersebut tidak bisa mengerjakan penjumlahan yg paling mudah, semisal penjumlahan pecahan, apalagi mengerjakan soal bangun ruang, persamaan kuadrat, deret ukur, dll.
    Sedang di kota pengawasan sangat ketat sehingga memungkinkan untuka adanya yg tdk lulus.
    Itulah mengapa di FB saya istilahkan UN sebagai Uomong kosoNg, karena tahu apa yg terjadi di desa dan pelosok.
    Sedih mbak...

    BalasHapus
  17. wah, sewaktu baca postingan kamu tentang pesta miras dll abis acara kelulusan, miris bgt ya. haduh haduh.. jaman saya lulus dulu yg terpikir oleh saya lulus SPMB dulu..

    BalasHapus
  18. jaman aku dulu jarang yang nggak lulus

    *maklumlah tinggal di kota kecil n kurang info*

    jadi jarang mendengar yang kayak sekarang ini

    BalasHapus
  19. kemaren saya liat di tivi, memang ekspresi mereka yg gagal lulus, terlalu histeris. berlebihan atau ga saya juga ga tau, yang jelas, saya rasa ujian akhir bukan momok yang begitu membuat stres orang...
    hanya saja sudah menjadi sugesti yang mengerikan sehingga kesannya mengerikan sekali

    BalasHapus
  20. tentang pertnay an kemarin saya yang pakai baju biru mba

    BalasHapus
  21. kadang media secara nggak sengaja juga berperan,niatnya ingin memberitakan tapi karena beritanya heboh malah jadi contoh buat mereka meniru uforianya *bener gak nih nulisnya*...

    xo

    BalasHapus
  22. dulu waktu lulus sma,saya malah bingung mbak.Gak tahu harus nglanjutin kuliah atau kerja...

    maturtengkiyu mbak,artikel yang menarik dan banyak memberi manfaat...

    BalasHapus
  23. jaman inyong dulu juga corat-coret(menulis nama/tanda tangan dibaju)tapi dilakukan dengan sopan artinya minta ijin dulu sama yang empunya baju bahkan sempat tak simpan itu baju buat kenangan.tapi remaja sekarang asal coret dan mengganggu ketertiban masyarakat,sungguh berbalik 100%

    BalasHapus
  24. memang kelulusan sekarang seolah2 sperti bebas dari penjara, di rayakan sepuas2nya. padahal benere lulus kan malah gerbang masuk kandang macan, abis lulus beban kehidupan justru semakain berat. di kirane abis lulus tambah enak kali ya

    BalasHapus
  25. lain dulu lain sekarang lah mb' semua sudah berubah tidak seperti jaman dulu, dalam meluaokan kegembiraannya saat lulus ujian

    BalasHapus
  26. Dulu aku ikut-ikut coret2an tp kebetulan baju SMUku ada banyak cm satu aja yg dicoret :p
    tp aksiku ma temen2 damai koq
    coret2annya aja didalam sekolah bareng kepala sekolah :p

    BalasHapus
  27. budaya remaja sekarang beda ya dengan dulu. walau tidak semua dapat dipukul rata sama. Tapi pengaruh zaman dan prioritas banyak sekali mempengaruhi pola fikir dan intend individu meraih apa yang menjadi target hidupnya.

    kita tak mungkin merubah segenap proses, secara keseluruhan, bersamaan. Baiknya, kita rubah sedari apa yang ada disekitar kita. Karena setiap proses membutuhkan waktu.

    BalasHapus
  28. anak2 muda sekarang memang ajaib pikirannya,mbak. yang diingat malah soal kebebasan yg akan diperoleh setelah menjadi mahasiswa. jaman aku dulu, yg penting mah bisa menuntut ilmu dan meraih keberhasilan setelah kuliah. tapi itulah..jaman sudah berubah. mungkin krn pengaruh globalisasi.

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)