Beberapa hari yang lalu Ibuku memberiku sebuah stofmap merah. Kata Ibuku isinya adalah catatan yang berisi tentang kenangan Ibuku akan masa lalu. Memang, dalam menjalani masa pensiunnya ini Ibuku jadi suka menulis (dengan tangan) tentang kisah masa lalunya. Ibu sedang senang mengenang semua kejadian masa lalunya untuk diceritakan pada anak cucunya lewat tulisan tangannya.
Jika dulu Ibu sudah pernah membuat catatan tentang kisah masa kecil sampai masa remajanya, maka kali ini adalah kisah tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi saat Ibu masih bekerja dulu. Sedangkan stofmap merah yang diserahkan padaku beberapa hari yang lalu khusus bercerita tentang 'konflik-konflik' yang terjadi di kantor akibat Ibu memiliki pimpinan yang temperamental dan emosional.
Dari catatan Ibu itu, aku jadi tahu bahwa ternyata apa yang dihadapi Ibuku dulu sewaktu bekerja sangat tidak mudah, apalagi setelah mendapatkan pimpinan baru yang temperamental dan emosional. Seringkali Ibu harus beradu argumentasi dan berperang kata melawan pimpinannya itu, karena dimata Ibu sang pimpinan sudah kelewatan dalam memperlakukan stafnya. Melihat rekan-rekan kerjanya tertekan dan menderita di bawah pimpinan beliau, maka Ibu seringkali memberanikan diri untuk 'mengingatkan' sang pimpinan agar merubah sikapnya.
Setelah membaca catatan Ibu, aku makin kagum padanya. Dedikasinya pada pekerjaan, solidaritasnya kepada rekan kerja dan kepatuhannya akan peraturan telah membuatnya berani mengambil sikap tegas, meskipun itu berarti melawan perintah pimpinan yang menurutnya 'salah'. Itu sebabnya Ibu sangat dihormati sekaligus dicintai oleh rekan-rekan kerjanya. Maka tak mengherankan, meskipun Ibu sudah lama pensiun tapi masih saja ada staf-staf Ibu dulu yang datang ke rumah untuk bertemu Ibu. Terkadang saat Ibu menghadiri undangan (sebagai anggota pensiunan) dari kantornya dulu, tak sedikit yang menawarkan diri untuk mengantar dan menjemput Ibuku.
Membandingkan Ibuku dulu saat masih bekerja dengan diriku sendiri, tiba-tiba aku merasa malu. Aku merasa, aku 'kalah' bersaing dengan Ibuku. Aku merasa Ibu lebih tegas daripadaku, terutama menghadapi pimpinan yang 'aneh'. Selama ini aku memang memberikan pendapatku jika aku merasa pimpinan mengambil kebijakan yang kurang pas, tapi akhirnya aku hanya bisa pasrah jika ternyata pimpinanku ngotot untuk tetap menjalankan kebijakannya itu (walau di hati dongkolnya bukan main).
Jika itu terjadi pada Ibuku, maka aku yakin Ibuku tak akan semudah itu pasrah, setidaknya setelah mengadakan adu argumentasi dan debat yang berkepanjangan. Walau pada akhirnya keputusan tetap ada di tangan pimpinan, tapi Ibuku telah berjuang dengan maksimal untuk memberikan masukannya. Nah, ini yang aku belum bisa, karena sampai sekarang aku merasa 'sungkan' jika harus debat berkepanjangan dengan pimpinan.
Membaca catatan Ibu, aku merasa banyak hal yang harus aku perbaiki dalam diriku untuk meningkatkan kinerjaku di kantor. Untuk Ibuku tercinta, terima kasih banyak telah berbagi pengalaman hidup yang luar biasa bagiku. Itu semua sungguh berarti bagiku... dan aku ingin bisa menjadi wanita setegar Ibuku. Amin...
Jika dulu Ibu sudah pernah membuat catatan tentang kisah masa kecil sampai masa remajanya, maka kali ini adalah kisah tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi saat Ibu masih bekerja dulu. Sedangkan stofmap merah yang diserahkan padaku beberapa hari yang lalu khusus bercerita tentang 'konflik-konflik' yang terjadi di kantor akibat Ibu memiliki pimpinan yang temperamental dan emosional.
Dari catatan Ibu itu, aku jadi tahu bahwa ternyata apa yang dihadapi Ibuku dulu sewaktu bekerja sangat tidak mudah, apalagi setelah mendapatkan pimpinan baru yang temperamental dan emosional. Seringkali Ibu harus beradu argumentasi dan berperang kata melawan pimpinannya itu, karena dimata Ibu sang pimpinan sudah kelewatan dalam memperlakukan stafnya. Melihat rekan-rekan kerjanya tertekan dan menderita di bawah pimpinan beliau, maka Ibu seringkali memberanikan diri untuk 'mengingatkan' sang pimpinan agar merubah sikapnya.
Setelah membaca catatan Ibu, aku makin kagum padanya. Dedikasinya pada pekerjaan, solidaritasnya kepada rekan kerja dan kepatuhannya akan peraturan telah membuatnya berani mengambil sikap tegas, meskipun itu berarti melawan perintah pimpinan yang menurutnya 'salah'. Itu sebabnya Ibu sangat dihormati sekaligus dicintai oleh rekan-rekan kerjanya. Maka tak mengherankan, meskipun Ibu sudah lama pensiun tapi masih saja ada staf-staf Ibu dulu yang datang ke rumah untuk bertemu Ibu. Terkadang saat Ibu menghadiri undangan (sebagai anggota pensiunan) dari kantornya dulu, tak sedikit yang menawarkan diri untuk mengantar dan menjemput Ibuku.
Membandingkan Ibuku dulu saat masih bekerja dengan diriku sendiri, tiba-tiba aku merasa malu. Aku merasa, aku 'kalah' bersaing dengan Ibuku. Aku merasa Ibu lebih tegas daripadaku, terutama menghadapi pimpinan yang 'aneh'. Selama ini aku memang memberikan pendapatku jika aku merasa pimpinan mengambil kebijakan yang kurang pas, tapi akhirnya aku hanya bisa pasrah jika ternyata pimpinanku ngotot untuk tetap menjalankan kebijakannya itu (walau di hati dongkolnya bukan main).
Jika itu terjadi pada Ibuku, maka aku yakin Ibuku tak akan semudah itu pasrah, setidaknya setelah mengadakan adu argumentasi dan debat yang berkepanjangan. Walau pada akhirnya keputusan tetap ada di tangan pimpinan, tapi Ibuku telah berjuang dengan maksimal untuk memberikan masukannya. Nah, ini yang aku belum bisa, karena sampai sekarang aku merasa 'sungkan' jika harus debat berkepanjangan dengan pimpinan.
Membaca catatan Ibu, aku merasa banyak hal yang harus aku perbaiki dalam diriku untuk meningkatkan kinerjaku di kantor. Untuk Ibuku tercinta, terima kasih banyak telah berbagi pengalaman hidup yang luar biasa bagiku. Itu semua sungguh berarti bagiku... dan aku ingin bisa menjadi wanita setegar Ibuku. Amin...
ijin mengamankan....
BalasHapuskalau pengalaman Ibu q diceritakan secara langsung
BalasHapusIbunya hebat ya mbak..salut untuk kinerjanya dalam bekerja...btw maaf saya baru mampir mbak..inet saya lg lelet benar beberapa hari ini
BalasHapusHebat ya ibunya mbak Reni. masih bisa mengingat masa lalu dan menuliskannya :)
BalasHapusBetul, itu bisa jadi hal yang menginspirasi mbak :)
hebat yah Ibu nya Mba Reni masih rajin menulis.
BalasHapusternyata bakat nge-blog Mba Reni diturunin dari Ibunya (hehehe, cuma bedanya jaman dulu belom ada internet)
ibunya mba Reni suka menulis, andai aja ibujku seperti ibu mba Reni, semoga mba makin kuat ya, Jadikan cacatan itu sebgai motivasi yang penuh makna :)
BalasHapuswah klo ibu saya bukannya suka menulis tapi suka nyanyi
BalasHapussaya juga sangat bangga sama ibu ku
sebuah catatan yang indah dari seorang ibu... aku yakin mbak pasti juga bisa seperti kata sebuah pepatah... buah tidak akan jatuh dari pohonnya... salam kasih...
BalasHapusmaaf mbak... ada yang kurang... maksudnya; buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya...
BalasHapusMemang kupikir Mbak Reni ini orangnya pasrahan, hehehe.
BalasHapusKetegasan itu perlu dalam rangka membela lingkungan dari hal-hal yang dapat mengancam kenyamanan lingkungan tersebut. Aku rasa itu yang dilakukan oleh ibunya Mbak Reni. Kita selalu mikir mengalah itu untuk cari aman, padahal sikap itu belum tentu bikin suasana jadi senyaman yang kita inginkan. Ibunya Mbak Reni membuktikan bahwa bersikap asertif dapat membuatnya memenangkan lingkungan dan bikin orang-orang sekitar jadi sayang kepadanya.
gimana yah mbak rasanya orang ketika hatinya "dongkolnya bukan main?"
BalasHapusseperti habis makan buah salak muda, kecccuuuttt minta ampun.
Salut pada Ibu mbak yang suka menulis catatan keseharian. Dulu saya juga suka, sewaktu kerja di Merak, Banten. Gak tau knapa sekarang menulis cacatan jadi males. Kayaknya perlu dicoba lagi, siapa tahu jadi "buku suci" anak-anak, hehehe....
BalasHapusSungguh sosok seorang Ibu yg pantas untuk dibanggakan, beliau mampu memberikan tauladan yg baik buat anak2nya
BalasHapuscocok dijadikan novel tu mbak... ibu mbak masih kuat ya ingatannya...
BalasHapusWach salut ama ibunya Mbak Reni dan sekarang jadi menurun pada Mbak Reni yg suka menulis,coba aja klo dulu sdh ada blog pasti ibunya Mbak Reni juga akan ngeblog juga hehehe...:D
BalasHapusIbu yang hebat mbak..untuk ibuku , hanya aku yg bisa menceritakannya, karna beliau sudah dulu meninggalkan ku.
BalasHapussalam hangat dari blue untuk mu serta ibumu
BalasHapussalam hangat dari blue
Hebat... salut deh buat ibunya mbak reni..
BalasHapuswahh..sepertinya hoby menulisnya mbak reni menurun dari ibunya ney...
wah, kalah deh ibuku ....
BalasHapusWah ternyata bakat menulis mbak turun nya dari Ibu ya :)
BalasHapusMembaca tulisan Mbak Renny, ana tidak mau meneruskannya. Nangis duluan... hiks.. inget ama Ibunya Ana :(( :((
BalasHapushuaaaa.. beneran nangis... hiks...
Mbak, kalo ibunya ana malah gak bisa baca tulis :(( :(( jadi, ana gak bisa baca kisah hidupnya. Kok Ana nangis mulu sih ke sini...???
hebatnya
BalasHapuscatatannya rapi gitu
dan masih tersimpan baik sampai sekarang
bakat turun temurun :D
BalasHapus