Rasanya akan banyak orang yang sependapat denganku bahwa tak mudah untuk melepaskan diri dari kebiasaan. Apalagi kalau kebiasaan itu menyangkut banyak orang dan telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Hal itulah yang dialami oleh Luther dan Nora Krank seperti yang tertuang dalam novel Skipping Christmas (Absen Natal).
Novel karya John Grisham ini menggambarkan betapa sulitnya seseorang melepaskan diri dari kebiasaan (atau tradisi) pada hari Natal. Ide untuk absen Natal itu datang dari Luther Krank, seorang akuntan, yang merasa bahwa perayaan Natal hanyalah pemborosan besar. Banyak barang-barang yang dibeli tapi menurutnya tak perlu, seperti : kartu-kartu Natal, aneka jenis makanan untuk pesta, aneka hiasan pohon Natal, aneka jenis kado, dsb.
Setelah anak semata wayangnya, Blair, pergi ke Peru Luther seakan punya alasan untuk membebaskan diri dari perayaan Natal. Dia mengajak Nora, istrinya, untuk pergi berlayar ke Kepulauan Karibia. Nora yang awalnya tak setuju berhasil diyakinkan untuk berangkat berlayar pada tanggal 25 Desember.
Mulailah mereka berdua menyisihkan dana Natal untuk keperluan wisatanya itu. Segala hal yang berbau Natal tak mereka lakukan, seperti membeli dan menghias pohon Natal, mengirimkan kartu Natal, ataupun mengadakan dan menghadiri pesta Natal. Bahkan mereka tak memasang Frosty si manusia salju di atas atap.
Apa yang dilakukan keluarga itu menimbulkan reaksi di lingkungannya. Rumah mereka menjadi satu-satunya rumah di Hemlock Street yang tidak memasang Frosty. Padahal setiap tahun Dinas Pertamanan dan Rekreasi akan memberikan hadiah penghargaan untuk daerah yang memasang dekorasi Natal terbaik.
Anak-anak di lingkungan itu memasang poster di halaman rumah Luther yang isinya menuntut dipasangnya Frosty. Kelompok paduan suara gereja beberapa kali sengaja menyanyi di halaman rumah Luther agar Luther tergerak untuk ikut merayakan Natal.
Keadaan menjadi semakin tidak nyaman bagi Luther dan Nora Krank. Mereka seolah menjadi musuh dan orang asing di lingkungan mereka sendiri. Apalagi saat harian lokal memuat foto rumah mereka (yang gelap di antara rumah-rumah lain yang gemerlap menyambut Natal) di halaman utama harian tersebut. Rencana absen Natal itu seolah mendapat tentangan dari banyak pihak.
Namun..., sebuah telepon membuyarkan semua rencana yang ada, hanya sehari menjelang Natal. Segala keributan dan kekacauan mulai terjadi bahkan nyaris berakhir pada bencana. Skipping Christmas adalah sebuah novel yang sangat menyenangkan untuk dibaca. Lucu dan menghibur. Meskipun demikian ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari buku ini.
Terkadang seseorang memang harus bertoleransi dengan lingkungan dan tak bisa memaksakan kemauannya dan pendapatnya pribadi. Yang membuatku terkesan adalah tingginya tingkat kepedulian warga Hemlock Street terhadap lingkungannya. Rasa kebersamaan dan gotong royong digambarkan masih sangat tinggi disana. Selain itu, banyak elemen masyarakat yang secara khusus menghimpun dana (lewat berbagai cara) untuk anak-anak yang kurang beruntung seperti anak-anak yang lumpuh, anak-anak miskin dsb.
Aku berpikir apakah yang digambarkan dalam novel itu memang masih benar-benar ada dan terjadi di Amerika sana? Padahal di negeriku sendiri rasa kebersamaan dan kegotongroyongan itu kian tipis saja. Bahkan kepedulian terhadap sesama makin lama makin menguap entah kemana.
Novel karya John Grisham ini menggambarkan betapa sulitnya seseorang melepaskan diri dari kebiasaan (atau tradisi) pada hari Natal. Ide untuk absen Natal itu datang dari Luther Krank, seorang akuntan, yang merasa bahwa perayaan Natal hanyalah pemborosan besar. Banyak barang-barang yang dibeli tapi menurutnya tak perlu, seperti : kartu-kartu Natal, aneka jenis makanan untuk pesta, aneka hiasan pohon Natal, aneka jenis kado, dsb.
Setelah anak semata wayangnya, Blair, pergi ke Peru Luther seakan punya alasan untuk membebaskan diri dari perayaan Natal. Dia mengajak Nora, istrinya, untuk pergi berlayar ke Kepulauan Karibia. Nora yang awalnya tak setuju berhasil diyakinkan untuk berangkat berlayar pada tanggal 25 Desember.
Mulailah mereka berdua menyisihkan dana Natal untuk keperluan wisatanya itu. Segala hal yang berbau Natal tak mereka lakukan, seperti membeli dan menghias pohon Natal, mengirimkan kartu Natal, ataupun mengadakan dan menghadiri pesta Natal. Bahkan mereka tak memasang Frosty si manusia salju di atas atap.
Apa yang dilakukan keluarga itu menimbulkan reaksi di lingkungannya. Rumah mereka menjadi satu-satunya rumah di Hemlock Street yang tidak memasang Frosty. Padahal setiap tahun Dinas Pertamanan dan Rekreasi akan memberikan hadiah penghargaan untuk daerah yang memasang dekorasi Natal terbaik.
Anak-anak di lingkungan itu memasang poster di halaman rumah Luther yang isinya menuntut dipasangnya Frosty. Kelompok paduan suara gereja beberapa kali sengaja menyanyi di halaman rumah Luther agar Luther tergerak untuk ikut merayakan Natal.
Keadaan menjadi semakin tidak nyaman bagi Luther dan Nora Krank. Mereka seolah menjadi musuh dan orang asing di lingkungan mereka sendiri. Apalagi saat harian lokal memuat foto rumah mereka (yang gelap di antara rumah-rumah lain yang gemerlap menyambut Natal) di halaman utama harian tersebut. Rencana absen Natal itu seolah mendapat tentangan dari banyak pihak.
Namun..., sebuah telepon membuyarkan semua rencana yang ada, hanya sehari menjelang Natal. Segala keributan dan kekacauan mulai terjadi bahkan nyaris berakhir pada bencana. Skipping Christmas adalah sebuah novel yang sangat menyenangkan untuk dibaca. Lucu dan menghibur. Meskipun demikian ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari buku ini.
Terkadang seseorang memang harus bertoleransi dengan lingkungan dan tak bisa memaksakan kemauannya dan pendapatnya pribadi. Yang membuatku terkesan adalah tingginya tingkat kepedulian warga Hemlock Street terhadap lingkungannya. Rasa kebersamaan dan gotong royong digambarkan masih sangat tinggi disana. Selain itu, banyak elemen masyarakat yang secara khusus menghimpun dana (lewat berbagai cara) untuk anak-anak yang kurang beruntung seperti anak-anak yang lumpuh, anak-anak miskin dsb.
Aku berpikir apakah yang digambarkan dalam novel itu memang masih benar-benar ada dan terjadi di Amerika sana? Padahal di negeriku sendiri rasa kebersamaan dan kegotongroyongan itu kian tipis saja. Bahkan kepedulian terhadap sesama makin lama makin menguap entah kemana.
Judul : Absen Natal
Penulis : John Grisham< Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2003 Kategori : Fiksi Tebal : 240 halaman Cover : Sof cover SBN : 979-22-0159-9
Wah novel yg sangat inspiratif ya mbak. Kemaren aku ke toko buku dan ada yg novel yg sangat ingin aku beli tp terpaksa aku tunda karena ada buku lain yg lebih aku perlukan hiks
BalasHapuspertamax gak yaa...???
BalasHapusia juga sih mbak... kalo mau berniat melepaskan diri dari kebiasaan itu memang susah.. adaaa aja tantangannya... but. sinopsinya bagus... jadi penasaran sama bukunya...
kalau melihat film..film..kebersamaan masyarakat di amerika terlihat sangat kental..padahal..mereka terkenal dengan individualistiknya.. sdg negeri kita..yang nilai-nilai kegotongroyongannya tinggi..saat..ini..bablas..entah kemana...
BalasHapussepertinya cerita ini juga masih saya alami bu, coz sejak kecil hingga sekarang sudah berkeluarga, saya memang tidak biasa mengikuti tradisi pesta hari raya idul fitri, bahkan cenderung berdiam diri di rumah untuk menghindari berbagai ajakan liburan. karena saya juga berpendapat sama bahwa budaya hari raya yg berlaku di lingkungan kita ini sangatlah tidak baik, pemborosan, bahkan bertentangan dengan makna ibadah puasa romadhon yg mengajarkan umatnya untuk hidup hemat!
BalasHapussaya penasaran dengan novel tersebut. klo ibu bersedia, bagaimana klo kita tukeran?...
terima kasih atas postingan yang menarik sekali.
salam NgebLoG dari bandung :-)
Wah aku dah lama bgt nih ga baca novel...hiks..
BalasHapusKelihatannya bagus nih buku...
BalasHapusSatu hal, saya setuju bahwa kita sangat sulit lepas dari kebiasaan... saya sudah membuktikan sendiri dalam hari-hari hidup saya hehe
Penasaran tapi gak ada duit mau belinya...
BalasHapusBeliin dong, Mbak :D
Salam sayang dari BURUNG HANTU... Cuit... Cuit... Cuit...
john grisham....... mau2...
BalasHapuskalau dipikir bener juga,,rasa kepedulian sekarang udah semakin tipis. tinggal bertetangga pun gak tau siapa kanan kirinya.....
memang sngat sulit sekali ka..
BalasHapussaya juga kesulitan..
makasih ka..
saya baca Bobos in Paradise juga ada cerita konon di AS ada kota yang masyarakatnya begitu santun sampai mau menghentikan kendaraannya satu jam demi membiarkan penyebrang lewat. jadi penasaran. novelnya boleh juga Mbak.
BalasHapusBerapa harganya Mbak?
BalasHapusKeren reviewnya mbak:-)
BalasHapusmemang susah melepas jika telah menjadi kebiasaan.. asalkan jangan kebiasaan buruk saja :D
BalasHapussaya blm nonton filmnya tu mbak..
endingnya gimana ya? pengen bacaa
BalasHapusAsal jangan kebiasaan buruk aja mb heheheh..
BalasHapusAku salut sama mb Reni...kebiasaannya sangat membangun.
Aku udah lama sekali gak pernah beli Novel mb..paling majalah itu juga jarang2.
wah, menarik juga nih. bakat nulis resensi buku kayaknya
BalasHapussaya belum baca novelnya tapi saya sudah nonton film.
BalasHapusliburan mereka berlayar dan suasana jadi kacau saat putri mereka justru ingin merayakan natal bersama-sama. tapi untunglah tetangganya pada baik semua.
endingnya memang sangat mengharukan, meski di awal film sangat lucu.
wah, tumben john grisham bikin novel seperti itu ya, biasanya kan tidak jauh dari ruang sidang
BalasHapussepertinya bagus ceritanya ya mbak...
BalasHapusboleh minjem?
#nggakmodal
aku juga punya kebiasaan baru neh sejak 3 tahun ini yaitu
BalasHapus.
.
.
.
.
.
.
ngeblog
Atas nama tradisi, sering beberapa orang membela mati-matian meskipun tradisi ini tidak ada kaitannya dengan agama yang kita yakini, bahkan terkadang bertentangan. Ya, saatnya merubah dan meninggalkan kebiasaan yang tidak baik, mulai sekarang,mulai dari hal yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri.Ini memang sulit, tapi bukan hal yang mustahil.
BalasHapusKok nggak ada bocoran ending nya Mbak? hehe..
BalasHapus