Rabu, 09 Februari 2011

Catatan Emha Ainun Nadjib (3)

Satu lagi Catatan Emha Ainun Nadjib dari rencana 4 buah Catatan Emha yang ingin aku publish disini. Catatan pertama dan kedua dapat dilihat di sini dan di sini. Dan, seperti catatan-catatan sebelumnya, catatan ini aku salin dari bukunya Emha Ainun Nadjib yang berjudul : Seribu Masjid Satu Jumlahnya : Tahajjud Cinta Seorang Hamba.

HAL PENDEKAR

Tatkala kututurkan kepadanya ada tujuh tingkat kependekaran, tamuku itu cepat-cepat menyahut "Pastilah tak sebuah tingkat pun yang aku tergolong di dalamnya."

"Pendekar tingkat pertama berada dalam persoalan apakah ia visa bertarung atau tidak," kataku.

"O, tak bisa aku berkelahi," sahutnya, "paling jauh aku belajar bergaul."

"Pada kependekaran tingkat kedua persoalannya tak hanya bisa bertarung atau tidak, tapi jurus atau senjata apa yang ia andalkan."

"Pantaslah orang pergi berguru, bersekolah, lantas pergi ke medan perang persaingan dan pergulatan."

"Tingkat berikutnya mempersoalkan berapa macam senjata atau jurus yang ia miliki."

"Pahamlah aku kenapa orang begitu semangat merintis kekuasaan dan modal yang tak ada batasnya."

"Kependekaran keempat tak mempedulikan apakah seseorang punya satu atau banyak senjata, sebab yang penting seberapa tinggi penguasaannya atas senjata atau jurus yang ia punyai."

"Pasti tak setiap peperangan mengandalkan kejujuran, sehingga soal penguasaan jurus dan senjata itu bisa juga diwujudkan melalui kerekatan pergaulan, koneksi, lobby, atau integrasi dan subordinasi terhadap kekuasaan yang berlaku."

"Kemudian kependekaran tingkat kelima tak menggantungkan diri pada pemilikan jurus dan senjata, juga tak ada urusan dengan penguasaan atas jurus dan senjata; sebab yang penting apakah tangannya bisa dijadikan pedang kapan diperlukan sebagai pedang, atau menjadi cambuk kapan diperlukan sebagai cambuk; dengan kata lain apakah diri sang pendekar itu sendiri senantiasa siap menjadi jurus dan senjata."

"Pendekar semacam itu pasti amat sakti, bisa menghilangkan jejak kakinya, bisa lolos dari pandangan manusia, bisa berubah setiap saat menjadi apa pun saja. Ia amat berbahaya."

"Adapun pendekar pada tataran keenam tidak mengutamakan jurus, senjata, penguasaan diri serta keserbasanggupan; sebab yang penting baginya ialah bagaimana mengenali letaknya di hadapan musuh, atau bagaimana memilih musuh yang dengan sendirinya tak memerlukan segala jurus, senjata dan penguasaannya."

"Betapa harus sangat berhati-hati kita menghadapi pendekar sakti seperti itu."

"Dan akhirnya, kependekaran tingkat ketujuh..."

"Aku tahu!" tamuku memotong, "Ialah orang dungu yang pengenalannya terhadap pertarungan, senjata, jurus, penguasaan, serta musuh-musuh - telah menghilangkan hakikat dari itu semua. Ia tak lagi mengenal perkelahian, karena hal itu tampak olehnya sebagai pemainan kakak-kanak. Ia tak kenal jurus, sebab baginya itu tarian. Ia tak emngenal senjata, sebab baginya itu keindahan sepuhan alam. Ia juga tak mengenal penguasaan atau politik pergaulan, sebab padanya itu persekolahan masa silam. Di mata pendekar yang ini, segala yang tampak hanya cinta."

Semoga ada faedah dan manfaatnya. Terima kasih.

1987, Emha Ainun Nadjib
dalam buku Seribu Masjid Satu Jumlahnya : Tahajjud Cinta Seorang Hamba (hal 133)


12 komentar:

  1. Jadi tingkatan terakhir dari kependekaran itu ternyata cinta. Cinta memang mampu menjadikan seseorang yang tadinya garang menjadi lembut dan memandung hidup ini sebagai sesuatu yang indah

    BalasHapus
  2. ya mbak... sudah nggak jamannya lagi memakai kekerasan. nyambung nggak ya?

    ngomongin soal pendekar, mungkin nggak ada yang bisa nandingin pendekar yang dinobatkan sebagai man of the year 2011 kemarin mbak. Bisa menghilang(keluar masuk penjara tanpa sedikitpun merusak pintu dan menjebol atap) sampai-sampai polisi dan aparat penegak hukum lainnya bertekuk lutut dihadapannya :)

    BalasHapus
  3. semakin tinggi kedewasaan berpikir dan wawasan, Insya Allah menjadikan seseorang lebih arif dalam menghadapi segala hal dan sebaliknya semakin sederhana wawasannya seringkali hawanafsu dan emosi yang dikedepankan

    BalasHapus
  4. Masih tentang Mas Emha rupanya ya.
    Ikutan menyimak kisah ini, semoga kita dapat memetik hikmah yang terkandung didalamnya.

    Salam.. .

    BalasHapus
  5. wooow.... sarat makna yg dalam...
    lanjutkan mbak posting yg ke 4.. hihihi.... ;)

    BalasHapus
  6. kunjungan perdana, mau baca postingan yang sebelumnya dulu ah... ^_^

    BalasHapus
  7. ternyata mbak reni penggemar MH ainun nadjib ya???:D

    BalasHapus
  8. kunjungan perdana,, salam kenal..:D

    BalasHapus
  9. kata demi kata kang Emha memang selalu menakjubkan.. :) gak habis pikir bagaimana ia bisa memperoleh tiap kata itu lalu di satukan dalam sebuah kalimat :) hebat :)

    BalasHapus
  10. aish.. berarti yang ketujuh : pendekar cinta donk!. asal jangan asal main cinta sana sini ajah..

    hemm, kalo saya termasuk pendekar yang mana yaa...

    BalasHapus
  11. Dungu dalam hal politik dan semuanya yang serba tidak jujur. Dan cintalah yang membuat orang2 yang terkolom di jurus ketujuh ini menjadi bijak..
    Waaah, karyanya Emha semakin memikat;

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)